Aku, Hidup senang

120 3 2
                                    


Aku, hidup senang

Pada fajar di tahun 4099, aku terlahir kembali ke dunia ini sebagai seekor lebah. Aku keluar dari telur berselimut sutra yang dibuat oleh entah siapa disana. Tubuhnya sama denganku, hanya saja lebih besar. Aku Berjalan keluar sarang ketika sudah mantap untuk bisa terbang , menuju lubang cahaya di ujung sana. Kusaksikan sinar terang mentari semakin menyengat. Berbeda dengan ketika aku hidup dulu. Gedung-gedung disini pun sudah sangat menjulang tinggi mengais langit. Kendaraan-kendaraan berlalu lalang menggunakan tenaga gravitasi mungkin. Karena yang aku lihat, semua kendaraan benar-benar mengapung. Seperti awan di langit.

Aku benar-benar tak lagi mengenali kota ini. Kota di mana bertahun-tahun lampau, dalam kehidupanku yang lain, aku pernah begitu mencintainya.

Dulu aku memang sangat berharap, aku ingin dilahirkan kembali di kota ini, tidak lagi sebagai bocah dungu yang sering di ejek atau di lempari kotoran. Aku tak pernah mengerti, kenapa dulu orang-orang di kota ini begitu senang menggangguku. Seharusnya ganggu saja orang gila baru di kota ini. Yang memang terlihat lucu bila di ejek. Bila kau mengejek, ia akan mengejar. Sama seperti permainan bocah, kejar-kejaran.

Mungkin pikir mereka, aku lebih dungu dari orang gila itu. Lihat saja aku. Bocah idiot yang sering mengelap ingus dengan tangan. Bekasnya masih terlihatpun di pipi. Atau mungkin, memang aku yang bisa membuat senang di mata mereka?

Tentang aku sebagai orang dungu. Itu tak sepenuhnya benar.

"Jika satu telur di tambah lima telur. Berapa semuanya?"

"Tiga.." Jawabku sambil melihatkan empat jari terangkat

Seisi kelas tertawa

"Kalau satu kacang di tambah dua kacang?"

"Tiga.." Jawabku sambil melihatkan empat jari terangkat

Mereka semua kembali tertawa. Aku ikut tertawa. Salah satu dari mereka ada yang mengatakan "Orang dungu sepertimu tak pantas hidup" Perkataan itu bahkan tak membuatku sakit. Aku hanya menghiraukankanya. Membiarkan semua orang mengejekku.

Aku tak seperti orang gila di kota itu, yang bila di ejek langsung mengejar. Marah. Tentang perasaan, aku selalu bertanya-tanya. Apa itu perasaan? Apakah aku mempunyainya?. Kata perempuan sebangkuku, perasaan itu semacam: marah, senang, bahagia, dan cinta. Aku tak pernah merasakan hal seperti itu. Waktu aku tertawapun, aku hanya mengikuti orang-orang. Tak ada rasa bahagia di dalamnya.

Mungkin itulah mengapa aku di sibut idiot. Aku jadi benci tentang menjadi diriku sendiri. Menjadi bahan injakan banyak orang. Di remehkan, di permalukan. Layaknya pelacur berdada rata. Tak berguna. Sampai suatu hari saat itu aku bertanya pada ayah tentang binatang yang aku pun belum tahu namanya,

" Ayah itu apa?". Kataku sambil memasukan jari ke mulut

"Itu Lebah"

" Aku mau menjadi lebah. Dia hebat. Bisa terbang ke angkasa tanpa batas."

" Berarti kau harus siap untuk bisa memberi hidup orang menjadi manis. Lebah membuat madu dengan tanganya sendiri dan di berikan untuk semua makhluk yang menginginkanya. Menjadi lebah itu tugas mulia" Ayah berbicara panjang lebar. Aku tak mengerti.

Aku hanya berfikir kala itu. Betapa menyenangkan jadi lebah. Aku sering bertemu dengan binatang yang di sebut lebah itu. Di taman bunga, di pohon belimbing, dan di pekarangan hutan. Aku juga sering mendengar teman-temanku berbicara tentang madu yang di hasilkan lebah. Katanya sangat manis, karena di buat dengan tangan-tangan mungil mereka. Kurasakan, betapa orang-orang lebih menyukai lebah ketimbang diriku yang tak berguna. Yang di pandang sebelah mata, tak punya reputasi

Negeri Tanpa JamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang