Aku, Patung Dalam Pemahaman

105 3 2
                                    



Aku, Patung dalam pemahaman.

Seperti yang kau tahu cerita tentang orang gila di kota. Orang gila yang di usir dari desanya karena berbuat ulah. Orang gila yang berbaju kumuh, dekil, dan bau. Namun, di samping semua itu aku tahu ia sedang memikul dua pertanyaan. satu sudah terjawab. Tinggal satu.

Mengapa aku bisa mengetahui tentang dirinya? Tentang orang gila yang tidak berguna itu. Yang kesana kemari membuat orang jijik. Bahkan tiap ia berjalan di depan orang lain, mereka menutup hidungnya. Bau. Kau tahu? Sekarang ia lebih parah dari sebelumnya. Ia berdansa kian kemari berharap orang banyak melihatnya,namun namun nihil. Ia juga memakan banyak tikus di kota, sampai-sampai kota ini bersih dari tikus. Pernah suatu hari kulihat tikus hidup berhadapan dengannya, secepat kilat ia lari terbirit birit sampai ia tak peduli kalau kaki kirinya patah. Menyeramkan!

Padahal kata nenekku, dulu orang gila itu adalah orang yang ramah. Menyenangkan nan bijaksana. Seperti dongeng-dongeng raja adil di luar sana. Katanya. Ah, entah. Cerita tentang orang gila itu akan ku lanjutkan nanti. Karena akupun ingin mendapat jawaban kedua dari pertanyaan orang gila itu. Sekarang ini cerita tentangku. Aku.

Aku adalah anak dari dukun beranak. Bukan ayahku. Tapi ibu. Segala ilmu kesaktian merapat pada dirinya untuk di pinang. Suara yang ia keluarkan dapat membuat rumpunan bambu bergoyang, laut yang ramai berubah menjadi tak beriak. Bahkan dapat membuat kumpulan capung menghentikan sayapnya karena tersegan. Hebat! Ia mempunyai jiwa malaikat sekaligus iblis. Mungkin karena itulah segala ilmu dapat kekal dalam tubuhnya.

Jika kau mengetahui ibuku. Pasti tahu akan diriku yang lahir dari rahimnya. Mungkin jika aku terlahir sebagai seorang hawa, aku akan mewariskan paras cantik dan segala ilmu kesaktian ibu. Hanya saja, kau tahu aku terlahir sebagai adam. Aku terlahir dengan ari-ari menutup tubuhku. Kau tahu kan artinya apa? Desaku percaya jika seseorang lahir dengan ari-ari menutup tubuhnya, orang itu akan kebal dari berbagai jenis senjata tajam seperti pedang, parang, maupun belati. Mungkin itulah tanda dari kesaktian ibu.

Kesaktian ibu hanya berakhir ketika aku lahir. Kata ayah, ibu sedang bersama tuhan. Mati. Mungkin semuanya begitu. Terlahirnya hadir untuk pergi. Terlahirnya hidup untuk mati. Terlahirnya aku untuk kepergian ibu. Takdir.

" Aku tidak sabar melihatmu menunjukan sesuatu pada dunia." Bisik ayah di telingaku. Aku masih ingat itu! Bahkan aku bisa merasakan sakitnya ketika ari-ariku di potong. Aku juga masih ingat orang yang menyapahku selama dua tahun. Itu adik ayah. Entah, aku bisa merasakan semua ketika aku lahir. Mungkin aku mewariskan kesaktian ibu. Inikah yang namanya kesaktian?

Aku lima tahun. Ayah pergi. Meninggalkanku dirumah kakek dan nenek. Membiarkan dua orang sekarat itu mengasuhku. Biarlah, umur mereka tak akan lama lagi. Nanti juga ayah kembali melihat jasad dua orang sekarat itu. Mengapa aku bisa tahu? Karena aku melihat jelas berapa lagi sisa usia mereka.

Sebelum dua orang sekarat itu mati. Mereka mengajarkan aku tentang solat, puasa, dan mengaji. Ketika aku bertanya " Untuk apa aku melakukan semua hal itu?" mereka pasti menjawab " Untuk tuhan" Entah siapa tuhan, mungkin orang sangat penting yang akan kutemui nanti. Ketika sujud dalam solat, aku merasa sedang menghormati sesuatu. Hatiku tentram. Ketika puasa dari sebelum fajar datang hingga senja tiba, aku merasa segar tak seperti biasa. Ketika megaji pun hatiku bergetar dan terasa ada bumbu cinta di dalamnya. Cinta? Apalah cinta. Aku tak terlahir untuk cinta. Lihat saja ayahku yang meninggalkanku. Hirau. Tak ada cinta.

Barangkali aku merasa berbeda dari sebelum ayah meninggalkanku. Hatiku hanya tentram. Namun tak ada cinta. Hingga pada waktunya tiba. Makhluk raksasa berbadan besar melebihi gunung dengan tongkat di tangan kanannya datang ke rumah kakek dan nenek. Menarik bayangan mereka dalam tubuh. Lalu pergi.

Negeri Tanpa JamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang