Aku, Sebuah Akhir

36 0 1
                                    


Aku, Sebuah Akhir

Sekiranya orang orang tahu, aku masih di sini. Berdiri di atas jembatan tua yang entah sudah berapa dekade umurnya. Menunggu bersama angin berwajah pukat. seketika dapat kau tahu bahwa angin berwajah pucat pukat itu bukanlah sesuatu dapat menggambarkan hati muram. Bahkan masam. Tidak selamanya suasana hati diatur tuhan bukan? Kita bisa melukisnya sendiri, dengan pena yang dipunya. Hanya saja kau perlu mencari tinta yang pas untuk suasana yang ingin kau lukis.

Sambil menunggu, mungkin lebih baik aku bercerita. Tentang penjelajahan waktu yang aku tunggangi. Bersama kesaktian yang aku miliki, tanpa terkecuali. Jangan kau kira aku ini makhluk abadi yang dicium mobil takkan mati. Sama halnya manusia biasa seperti orang orang yang berhalulalang di sana. Mempunyai mata, hidung dan telinga. Hanya saja, sebelum ruhku dimasukkan kedalam rahim yang bernama ibu. Gumpalan dagingku diberi cahaya hitam oleh takdir. Mewariskan apa yang ditemurunkan oleh ibu.

Kau pasti sudah tahu cerita tentangku. Seorang anak yang dilahirkan dengan ari-ari membungkus tubuh. Yang perlu berhati-hati untuk memotongnya, jika saja terjadi kesalahan, aku bisa meledakkan tubuhku sendiri secara otomatis. Adalah aku orang yang kebal terhadap parang dan belati. Adalah aku yang ditakdirkan lahir untuk membuat ibu mati. Orang gila di kota pun ia ayahku

Jika kau tak tahu tentangku, tak apa. Sudah kubilang aku hanya ingin bercerita di dinginnya pukat ini. Sambil menunggu.

Baiklah akan kuceritakan secuil tunggangan kecilku terhadap waktu. Cerita biasa saja, yang mungkin membosankan

Aku yakin keajaiban dapat terjadi di mana saja. Di hidup seorang pahlawan, seorang pengemis, bahkan hidup yang telah melayang. Keajaiban datang kepadaku. Tapi, menurutku hanya sebuah keberuntungan. Walau dua kata itu diartikan dengan hal yang tak pasti.

" Kau lihat, orang tak berkecukupan itu beruntung mendapat kekasih bak putri raja"

" Mungkin karena mantra dan guna-guna?"

" Bisa saja"

Cih! Percakapan orang-orang bodoh yang berada dekat trotoar, tertuju padaku. Mereka tidak tahu bahwa aku bisa mendengar segala hal. Suara kaki lipan di belakang pintu itupun aku dengar. Memang benar kata orang-orang itu, aku mendapat kekasih bak putri raja yang jelita, yang berdada busung bercahaya. Ini sebuah keajaiban atau keberuntungan?

Pernah suatu ketika wanita berdada busung bercahaya itu menghempaskan tubuh ke kepala kereta. Namun aku menangkapnya dengan kecepatan angin yang kubisa

" Bila kau pun harus berputus asa, berfikirlah semua akan berakhir, Tersenyumlah!" Kata kataku membuatnya tersentak kaget. Ia menatap dalam mataku. Tatapannya membuatku jatuh dalam kehangatan. Ia tersenyum, senyumnya seperti menenteng rembulan. Entah magnet apa yang menempel saat itu, kutub utara terasa begitu menyatu dengan kutub selatan. Menempel begitu saja hingga aku bercumbu dengannya malam itu. Dia benar-benar mencintaiku! Sebuah keajaiban?

Pernah suatu ketika ada kertas jatuh dari langit bertuliskan Nikmat manakah yang dapat kau dustakan? Pesan dari tuhan ternyata.

Setelah berhari hari bermalam bersamanya. Ia berpamit untuk pulang ke negeri seberang. Ia berjanji untuk kembali untuk menemuiku. Untuk bermalam lagi denganku ditemani malam tanpa nada kesedihan. Ia berjanji tak akan mencari kekasih selain aku. Aku mengangguk. Ciuman terakhir ia beri. "Apa kau mau menikah denganku sepulang dari negeri seberang?" Aku tak yakin akan jawaban yang keluar. Ia sangat menyukai ciuman. Namun, sungguh, aku tak yakin jika ia menyukai pernikahan

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 19, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Negeri Tanpa JamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang