Serenade Pesantren

17 0 0
                                    

Serenade Pesantren

Setiap subuh, bedug dipukul berirama sesuai nada,dan melodi azan yang mirip rintihan itu mengacak acak udara gersang pesantren miskin di bukit Siduarjo. Sebagai jawabanya, bangkitlah para santri dari asrama kumuhnya, terseok seok menyusuri jalan setapak ke arah satu satunya tempat ibadah pesantren misikin itu. Beberapa dari mereka mengambil wudhu, selebihnya terlelap bisu, mencari makan ternak, mandi serta membuang hajatnya masing masing

Aku pikir ini tak pantas disebut pesantren. Kata temanku, pesantren daerahnya – Daerah Wonogiri. Itu sangat pantas dengan adanya kebun-kebun, pohon rindang, udara yang sejuk serta pengajaran agama yang berbau alami. Juga pesantrennya bagus dengan bangunan sederhana yang berbau natural. Lah pesantrenku? Kumuh tak terurus, daun kering berserakan di mana-mana, tak berada di tempat sejuk pun. Namun kuakui, pengajaran agama di sini sangat kental. Diajarkan tentang sesuatu yang tak pernah terpikirkan sewaktu belum mondok. Apa aku terlalu banyak mengeluh? Apa mungkin yang karena umurku baru genap 6 bulan di sini?

"Buyung, kau ambil lah rumput di ladang. Kerbau-kerbau di sana menggeliat dari tadi karna lapar." Seorang pak tua yang disebut ustaz menunjuk-nunjuk kerbau yang memang saat itu menggeliat. Aku mengangguk – patuh

Satu satunya pendukung kehidupan, terletak pada berternak serta berkebun di pesantren ini. Segala kasak-kusuk, bisik kerling, sampai ke isu politik, seluruhnya bermula di tempat yang bernama asrama, di subuh dan senja hari, tatkala santri saling bertemu untuk mengambil air, bercakap cakap, ataupun berzikir. Selebihnya yang ada hanya keganasan belaka.

Kau tahu kan manusia mempunyai sisi malaikat, dan sisi iblis? Semuanya lumrah di sini.

Segala sisi dari pesantren ini aku tidak suka. Rasanya aku ingin terbang menuju dunia luar yang dipenuhi orang-orang sukses. Aku ingin seperti mereka. Apalagi banyak orang di kampungku mengundi nasib di jakarta. Hasilnya? Mereka pulang dengan sekarung uang di dalamnya. Aku ingin ke jakarta. Mengundi nasib di sana, bermain dadu kehidupan di sana.

" Aku mau pindah!."

"Hei, apa yang baru kau katakan?" Seorang petani yang rumahnya tak jauh dari pesantren mendengar aku bergumam.

"Eng.. bukan apa apa pak." Aku bergidik ketakutan. Bukan karena apa apa. Hanya saja aku merasa tidak enak jika ada yang mendengar gumamanku.

"Kemarilah.." Aku menyudahi memotong rumput. Parang aku taruh di atas tanah. Dan mendekat ke petani tua itu. "Apa tujuanmu ke pesantren?".

"Mencari ilmu dan bisa hidup mandiri"

"Sudah kau mendapatkan?" Aku menggeleng. "Mungkin kalau hidup mandiri, aku sudah bisa." Kakek tua itu tersenyum.

Jujur saja, aku ke pesantren miskin ini karena suruhan almarhum Ayahku. Pernah ia berpesan sebelum izrail mencabutnya. Mencari kebenaran itu banyak rintangannya. Ayah mau kamu mondok di tempat ayah dulu. Itu pesan terakhir, dan akhirnya bayang dibawa terbang melayang. Tenang.

Padahal, aku bukan anak yang biasa disebut bandel. Aku anak rajin yang patuh pada orang tua, walaupun agak pemalas. Awalnya aku tidak ingin pergi setelah dijelaskan oleh ibu semua tentang pesantren ini. Kumuh, dan tak terurus. Mungkin karena aku orang punya. Tapi, hatiku luluh ketika aku menemukan kotak kecil kenangan ayah di pesantren itu. Dan isinya masih sangat kuingat sampai sekarang. Mungkin itu yang membuatku menancapkan hidupku kini di pesantren.

Sedikit ada keterpaksaan dalam batin, meski hatiku tetap menerimanya. Mungkin cukuplah dengan mencari ilmu dan hidup mandiri yang aku harus cari di sini. Mungkin itu juga permintaan ayahku – Harus mencari ilmu dan hidup mandiri.

Negeri Tanpa JamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang