Kadal Cicak

66 5 2
                                    



Kadal Cicak

Aku seekor kadal. Biasa bertengger di atas daun kelor, dan terkadang di daun daun lebar lainya. Sungguh, aku tak menyesal di lahirkan sebagai seekor kadal. Walau makananku hanya nyamuk dan lalat. Aku tak pernah mengeluh pun. Seperti inilah kehidupan yang tuhan beri padaku. Ketentuan tuhan takkan pernah di ganggu gugat bukan? bisa saja ruh yang baru tuhan ciptakan, di masukan ke dalam tubuh kucing, anjing, kunang-kunang, atau manus­­ia. Itu ketentuan yang kekal. Dan tuhan menaruh ruh ku ke dalam jasad seekor kadal. Sudah takdir.

Aku hanya punya sepenggal cerita tentang kebahagiaan. Tidak kurang, tidak lebih. Kau tahu? Kebahagiaan sangat mahal harganya, bukan? Aku pernah melihat melihat seekor kucing yang rela mengejar tikus sampai-sampai kakinya terkilir. Dan ketika dapat, kucing itu bahagia. Pernah juga melihat seorang manusia yang membeli rumah besar dari hasil cucuran keringatnya, dan ia sangat bahagia. Begitulah kebahagian, dibayar dengan harga mahal. Meski terkorban keringat darah sekalipun.

Namun ada juga versi tentang bahagia dengan harga murah. Sederhana. Itupun jika kau menyukainya. Pernah dengar lelucon tentang kancil si pencuri? Banyak anak kecil yang senang bahagia dengan dongeng itu, sampai-sampai ada saja yang sakit perut kesenangan mendengar dongeng kuno itu. Dongeng bodoh sederhana yang memikat kebahagiaan. Apa harus dengan harga mahal mendengar dongeng itu? Tidak, bukan?

Versi tentang kebahagiaan bisa di pilih oleh masing-masing makhluk, kau tahu? Karena tidaklah keinginan satu dengan yang lain sama. Entah kau ingin bahagia dengan mahal, atau sederhana. Itu sama saja. Sama-sama menimbulkan kebahagiaan. Tak peduli kau perlu mengocek harga sekalipun.

Versi kebahagiaan yang akan kuceritakan kali ini bisa dibilang mahal, juga sederhana. Karena ada kesederhanaan dan kesusahanya mendapat kebahagiaan di cerita ini. Cerita tentang persahabatan. Yang masih kulakukan sampai sekarang. Ya, semua orang butuh sahabat. Terlebih jika kau punya masalah atau sebagainya. Kau perlu pundak sahabatmu ketika sedih. Dan kau perlu senyuman sahabatmu ketika bahagia.

Ini cerita tentang persahabatan antara aku, dan cicak. Seekor kadal dan cicak. Aneh? Ya, memang bergitu aku. Terlahir untuk ini mungkin, banyak yang mengatakan begitu. Namun anehnya diriku tak seperti kisah renkarnasi anak idiot itu. Tentu saja aku lebih darinya. Aku hanya seekor kadal biasa, yang aneh. Yang bersahabat dengan cicak.

Rumah. Adalah tempat dimana cicak tinggal. Dan aku, di semak-semak taman bunga dekat perumahan. Dan kau tahu apa artinya itu? Sangat susah untuk bertemu dengannya. Jika di hitung, aku biasa dua bulan sekali menemui cicak – sahabatku.

Mungkin ia butuh sandaran hidup, bukan sebagai kekasih. Melainkan sahabat. Barangkali aku sangat senang saat ia meminta jawaban ingin menjadi sahabatnya atau tidak.

" Dal, kamu mau yah jadi sahabat aku?"

Aku jawab apa? Iya!

Ya, meski berjauhan seperti ini setidaknya aku punya sandaran hidup. Sahabat bukan berarti kekasih. Ia lebih mirip dengan seorang pelawak ketika senang, dan seorang psikiater ketika sedih. Cicak sangat suka bercerita tentang semua. Tentang dirinya maupun keluarga, bahkan pacarnya sendiri pun.

Hai kadal, aku harap kau ke rumahku. Adamu, membuatku tenang. Bahagia.. 

Itu sepenggal surat dari cicak yang diberikan merpati untukku. Sudah pasti aku akan menuju ke rumahnya yang berada di perumahan. Memang, jika aku dan cicak tidak bertemu. Ia pasti mengirimkan surat yang akan dikirimkan oleh burung dara. Dan hari ini terjadi

Dengan bekal seadanya, aku pergi menuju rumah – perumahan. Perjalanan jika di ukur dengan panjang tubuhku mungkin bisa mencapai ribuan kali lipat, itu takaran tubuh seekor kadal. Beda cerita jika di ukur dengan panjang tubuh manusia. Bisa berpuluh kali lipat mungkin. Tak kupedulikan jarak yang ada, jika sesampainya disana dan melihat senyum indah sahabatku, itu sudah terbayar lunas atas keringat yang banyak kucucurkan.

Negeri Tanpa JamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang