Apa Rasa Buah Itu?

25 0 0
                                    


Apa rasa buah itu?

Setelah tiga pria itu mengejarku. Aku pun menerimanya, menerima dirinya menjadi pacarku. Walau sebenarnya tak ada cinta dalam diriku, hanya dirinya. Betapa tidak! Tiga tahun ia mengejejarku, memberi senyum tiap fajar, dan memberi perhatian lebih padaku. Mungkin lebih baik aku mengiyakannya. Menjawab dengan lantang bahwa aku bersedia menjadi pacarnya. Meski dalam hatiku tak ada cinta. Bukankah sakit rasanya jika cinta tak berbalas? Aku tahu betapa perihnya itu, seperti kau diberi upah kecil padahal kau bekerja mengorbankan nyawa. Dan aku mencintai pria yang ada dalam foto di dompetku. Pria berkacamata itu.

" Ya, aku mau jadi pacar kamu." Ku berikan sunggingan senyumku. Senyuman paling manis yang sebelumnya belum pernah kuberikan padanya. Karena aku tak ingin ia kecewa dalam ruang bernama HAMPA

" Terimakasih." Ia memelukku, sambil menyeka air mata gembiranya. Ini pernah terjadi di masa laluku. pelukan yang sama, nada yang sama, dan perasaan yang sama. Tak ada cinta. Maaf Salman aku tak bisa mencintaimu. Meskipun aku sangat terpaksa, tapi hatiku. Hatiku memilih pria berkaca mata itu.

" Boleh aku mengantarmu pulang?" Ia memegang pundakku dan menatap dengan ketulusan yang nyata. Betapa baiknnya ia. Aku mengangguk.

Kau bodoh Sasha!. Hatiku menggerutu. Tak ada wanita yang tidak jatuh hati pada Salman. Tampan, cerdas, tinggi, dan berperangai baik. Terlebih dari isu yang beredar ia tipe orang yang tak mudah menyerah. Pantas saja tak menyerah mengejarku selama tiga tahun. Bukan waktu yang sebentar, bukan? Tapi tak ada sebesit cinta pun untukya.

Kau bodoh sasha! Ini sama saja akan lebih menyakiti Salman! Wahai hati, tolong diamlah. Tutup mulutmu. Aku tahu ini akan menyakiti Salman. Tapi sama saja jika aku menolak Salman akan menyakitinya juga. Ia sudah tiga tahun mengejarku, merebut hatiku. Mungkin menurutku lebih baik menerimanya. Meski hatiku tak bisa direbut olehnya.

Tapi, bukankah lebih baik jujur dari pada...Diam!

Salman benar-benar mengantarku pulang. Ia melambaikan tangannya sambil melontarkan senyumnya. Maaf salman aku tak terpikat.

Seusai salman pergi menginjak gas mobilnya. Dari sebelah barat datang ayah dibonceng motor oleh Pria berkaca mata itu? Ali! Mengapa ayah bersama Ali? Aku mengerutkan kening. Aneh, seharusnya ayah datang sore hari, bukan siang seperti ini. Hey lihat! Tangan ayah pun diperban dengan balutan yang terlihat baru.

Rasa hati yang berdebar dicampur dengan rasa panik. Aku tak tahu menjadi seperti apa, seperti ada rasa pedas dalam manis. Mungkin. Ini yang kurasakan!

"Ayah kenapa?"

"Tadi jatuh dari motor, mungkin karena kelelahan. Untung ada Ali yang membantu ayah ke rumah sakit." Ayah menepuk pundak Ali. Mereka berdua tersenyum.

Aku memeluk ayah "Beristirahatlah kalau lelah. Aku tak mau kehilanganmu. Cuma ayah keluarga satu-satunya yang kupunya." Ayah berbalas memelukku. Tak peduli Ali melihatku. Aku lebih mencintai ayah daripadanya. Meskipun hatiku tergambar Ali

" Aku pergi ya Om" Ali mengangkat tangannya, bermpamitan untuk pulang. Aku bisa melihatnya dari sini. Pancaran wajah ali memang terlihat begitu sempurna. Bagaimana tidak, kulit nya putih langsat, berkaca mata, dan kumisnya terlihat tipis. Badannya juga kekar, tubuhnya wangi dan rambutnya teracak dengan rapih. Oh tampanya.

" Kau mau langsung pulang? Tidak mau mampir dulu di rumah om? Tuh ada Sasha bisa nemenin kamu" Aku menyikut Ayah dengan wajah merah semu, malu. " Aw, Sakit." Ayah mengaduh. Kami berdua seperti membuat lelucon ringan, karena telah membuat Ali tertawa kecil.

Negeri Tanpa JamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang