Aku melompat kearah Gavin, dia meringis dan menggerutu sebal yang selalu aku tahu namun aku tidak mengubris gerutuannya. Dia kekasihku dan kami sudah menjalin hubungan tiga bulan, itu adalah waktu yang sangat lama bagi seseorang yang belum pernah pacaran. Sekali lagi, aku memperhatikan wajah Gavin yang kini dia sedang membaca komik, dia begitu serius dan sesekali dahinya berkerut. Tangannya yang dia biarkan jatuh di sisi buku membuat ku semakin gemas.
"Gavin!" Aku mencuil hidungnya, dia mendongak dan menatapku seakan merasa terganggu.
"Kamu bisa diam nggak sih?!" Ucapnya dengan ketus, aku langsung terdiam. Dia kembali memfokuskan pandangannya ke arah buku komik itu, dan aku hanya memperhatikannya dalam diam. Ada perasaan marah, senang, jengah, dan sedih,
"Aku ngerasa hubungan kita datar aja, nggak ada peningkatan, kamu yang selalu sama dunia kamu sendiri." Ungkapku sambil memainkan kedua jari ku yang bertumpu di atas meja.
Gavin kembali menatap ku dengan menyipit kan kedua matanya, "Aku lupa siapa yang mengejar dan meminta sebuah hubungan." Ucap Gavin yang seakan menjadi telak bagiku, aku mengigit bibirku pelan.
"Jadi, aku harus ngapain?" Aku bertanya di antara ke bingunganku, dengan menatap tepat di ke dua matanya.
Gavin diam, dia menutup komik yang tadi dia baca, setelahnya langsung berdiri dan meninggalkan aku yang penuh dengan kebingungan atas hubungan yang aku jalani dengannya. "Gavin!" Aku berseru yang hanya mendapat sebuah desus an nafasnya.
Aku membuat bibirku menjadi satu garis, ternyata pacaran cuma banyak makan hati. Bohong, aku merasa terbohongi dengan adanya akun relationship goals yang pada nyatanya itu sama sekali tidak bekerja di hubungan ku dan Gavin. Tapi, aku melihat ke sisi ruangan cafe ini dan menemukan beberapa pasangan yang hanya bisa aku tatap iri. Ya, relationship goals memang adanya ada dan tergantung yang menjalaninya saja. Aku mengirim pesan Line untuk Gavin.
Dara: Aku sore ini pergi ke gramed, kamu mau ikut?
Aku mengetuk kan jari di meja dan menghisap minuman ku yang baru saja datang, lagi-lagi tidak ada balasannya. Cih, di baca saja tidak, apalagi di balas. Makin kesini, hanya aku saja yang berperan, tidak ada Gavin. Dia hanya mengikuti dan marah, apakah bisa di katakan marah? Ketika Gavin lebih sering melengos dan menatap ku seakan aku adalah kutu beras yang harus di buang.
Dulu, aku memang sangat gencar mendekati Gavin. Dia yang berstatus sebagai murid pindahan, tentu saja aku mengambil kesempatan dengan iming-iming menjalin pertemanan. Semakin jauh, aku semakin kagum dan terpesona dengan apapun yang dia lakukan dan karna rasa ingin tahu untuk menjalin hubungan itu bagaimana, aku menanyakan pada Gavin apakah dia mau menjalin hubungan lebih dari teman. Awalnya dia menolak tetapi aku terus memaksa. Aku tahu, aku yang salah karna memaksakan semuanya dan lihat sekarang? Aku tertawa hambar menggelengkan kepala.
"Dara?" Hampir saja aku terperanjat ketika mendapati Rizki yang sudah duduk di depan ku dengan kepala yang dia maju kan, sehingga aku bisa merasakan nafasnya menerpa wajah ku.
"Rizki!" Aku berseru balik dan tersenyum sumringah kearah nya, "Lo ngapain disini?"
"Tuh, gue lagi bareng temen." Dia berkata, aku mengangguk mengerti dan melihat kearah beberapa orang yang sedang mengobrol yang aku tau itu ialah teman-teman Rizki. "Lo ngapain disini sendirian? Gavin mana?" Tanya nya dengan kernyitan.
Aku mengangkat bahu, "Nggak paham gue sama temen lo yang satu itu."
Rizki terkekeh pelan, "Kenapa nggak putus aja?"
Aku menggelengkan kepala keras. "Gue udah terlanjur, gimana ya. Gue bakal pertahanin hubungan ini, kecuali kalau dia yang minta putus."
"Bodoh. Gue bingung sama kalian berdua. Kalau Gavin emang nggak ada perasaan ke elo," Aku melotot sebal dengan pernyataan itu "Kenapa dia nggak mutusin lo dari jauh hari." Rizki diam sebentar tampak berfikir, "kalau gue jadi Gavin, udah lama lo gue putusin." Imbuhnya lagi yang langsung aku pukul.