Kanye

18.4K 138 2
                                    

Menjadi siswi mutasi memang tidak mudah. Pindah, adapatasi, di bully, yang terus berputar dan takkkan berhenti. Tapi di usiaku saat ini aku akan menceritaknnya lebih rinci. Tahun ini adalah kepindahanku yang tak seharusnya kualami. Tak ada seorang temanpun disisiku, aku tidak terlalu kuat untuk menahan bebanku sendirian. Aku tak pernah mempercayai orang yang datang padaku dengan alasan ingin jadi temanku. Memang kadang terdengar sangat tulus, tapi aku mengerti apa yang akan ia lakukan untuk salam perpisahan. Ia akan menjadi musuh terbaik.

Dia berkhianat, ia berteman hanya karena merasa kasihan, bukan saling membutuhkan, Aku lelah, tapi yang bisa kulakukan adalah menunggu kapan orang tuaku akan dipindahkan lagi. Sejujurnya, jika orang tuaku mengizinkan, aku lebih baik tinggal sendirian di rumah lamaku, kota kelahiranku, mungkin teman baikku. Jika dia masih mengingatku, kurasa pilihan terakhirku adalah hal yang paling tidak memungkinkan. Aku pun sedikit lupa dengan wajah, nama, bahkan dimana mereka sekarang. Pilihanku saat ini adalah menjalani semuanya dengan sangat putus asa.

Bicara memang mudah, kenapa tidak dilawan saja? Melawan siswa asli hanya akan mendapat masalah. Aku tidak suka mendapat masalah. Jika aku mendapat masalah, maka aku memilih untuk tidak bersekolah. Tapi orang tuaku takkkan mengizikanku home schooling.

Hidup yang merepotkan.

Aku tak bisa melampiaskannya pada siapapun, aku tak punya adik atau kakak kandung. Setiap pulang sekolah, yang kudapati di rumah hanyalah kesunyian. Tidak ada sapaan, bahkan jawaban salam. Ibuku juga sudah menyiapkan makan siang untukku. Tidak ada pembantu, aku tidak suka orang lain merawatku selain orang tuaku. Aku lebih baik sendiri, daripada dengan pembantu. Lagipula aku bisa melakukan semua pekerjaan di rumah sendiri.

Lebih dari satu akun sosial media yang aku punya, mulai dari facebook twitter, blogger, yang kugunakan untuk menjadi bagian dari social media. Aku bahkan tak pernah tertawa saat teman social mediaku melawak, aku hanya membalasnya singkat "hahahahahaha, lucu sekali."

Terkadang juga kutambahkan emotikon pacman, padahal aku tidak tertawa sama sekali. Hatiku sudah beku, tak punya siapa-siapa, hanya orang tuaku yang sibuk sendiri. Dulu aku hanya bisa menangis, sekarang air mataku juga telah tiada. Aku lelah untuk menangis.

Sekarang aku sudah kelas tiga sekolah menegah pertama. Harusnya saat ini aku punya banyak teman, dan punya masa remaja yang cukup indah. Kurasa aku takkan bisa melewati masa remajaku dengan indah. Sekarang yang perlu kucapai adalah lulus dengan nilai terbaik. Meskipum aku mengerti saat aku mendapatkan nilai terbaikpun orang tuaku tidak akan peduli.

***

Alarm berdering, aku mematikan alarmku lalu bergegas ke kamar mandi. Setelah semua rapi, aku bergegas turun ke lantai satu. Aku yakin ayah atau ibuku sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali. Kami punya kunci rumah masing-masing, "yang terakhir berangkat yang mengunci rumah" itulah yang dikatakan ayahku saat pertama menempati rumah ini.

Aku tak pernah menjawab apa yang dikatakannya, lebih tepatnya aku malas menjawabnya. Berjalan ke halte menunggu bis tujuan ke sekolah. Bis datang, aku langsung naik, dan mencari tempat duduk yang biasa kutempati. Biasanya tempat itu masih kosong, tapi hari ini ada satu orang yang sudah menempatinya, seragam sekolahnya juga mirip denganku. Aku menatap sekelilingku, tidak ada tempat duduk kosong selain di sebelah laki-laki yang menduduki tempatku biasanya.

Seperti biasa, jika aku tak mengenalnya aku tak akan menyapanya. Aku langsung duduk, tanpa menyapanya.

Lagipula dia memasang earphone di telinganya, dan sekarang dia sedang mengahadap jendela. Kurasa dia tidak akan terganggu. Aku membuka novel yang baru kubeli kemarin sore, kubaca untuk mengusir kebosananku menunngu sampai di halte depan sekolahku.

Kumpulan OneshootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang