Saat malam mulai menampakkan sosoknya keadaan berlangsung seperti biasa. Hanya saja yang membedakan adalah rutinitas Lana dengan Theo, mereka jarang berhubungan via handphone karena kesibukan masing-masing. Tugas yang diberikan oleh guru mereka semakin hari semakin banyak lantaran tingkatan kelas sudah satu tingkat lebih tinggi. Esok hari pun begitu, tak ada yang berbeda sedikit pun sama seperti hari-hari sebelumnya.
Bumi terus berputar mengubah siang menjadi malam, jauh menjadi dekat, dan hari pun terus berganti hingga hari kamis mulai menyapa. Hari dimana Lana dan Dayu bisa asik mengobrol lantaran mapel hari ini terbebas dari rumus juga angka-angka yang mengerikan dan hari ini juga Lana pulang bersama Dayu karena Kila harus pulang cepat karena mengantar keponakannya lomba menari di salah satu pusat perbelanjaan di Surabaya.
***
Waktu pulang pun tiba, Dayu hendak membeli jajanan depan sekolah untuk mereka berdua dan menyuruh Lana menunggunya sambil duduk seorang diri di trotoar depan sekolah karena belum tersedianya bangku tunggu untuk siswa yang menunggu jemputan maupun keperluan lain.
Suara kendaraan yang berlalu lalang di hadapannya membuatnya tidak sadar kalau sedari tadi Theo mencoba memanggilnya tapi karena Lana tidak mendengarnya, dia langsung duduk di sebelah Lana.
"Serius banget, liatin apa sih? Sampe-sampe daritadi dipanggil gak denger." ucap Theo sambil duduk.
"Oh ya?? Sorry hehe," bantahnya.
"Tumben sendiri? Kila sama Dayu mana?" tanya Theo sambil melihat di sekililing.
"Dayu masih ngantre jajan tuh, kalau Kila udah pulang daritadi."
"Oh gitu, terus kamu pulangnya gimana?"
"Kan ada Dayu."
Tak ada jawaban lagi dari Theo, keadann sejenak hening lalu Lana yang kini memulainya.
"Kamu sekarang diomongin guru-guru loh."
"Why? Aku kan gak bermasalah." tukasnya.
"Bukan gitu, guru-guru pada ngomongin kemampuan kamu. Katanya kalo di kelas kamu termasuk siswa yang rajin dan aktif pas pelajaran. Is it true?" tanyanya untuk memastikan rumor yang didapatinya.
"Haha, enggak lah." jawabnya sambil tertawa.
"Theo please!!" tegas Lana.
"Gini ya Lan, bukannya aku mau jadi siswa yang sok rajin tapi ini udah waktunya aku buat berubah."
Lana yang mendengar kata "berubah" rasanya seperti tertusuk seribu jarum, ia takut mendengar kata itu apalagi kata itu keluar dengan manis dari mulut Theo. Dia sendiri masih bingung mengapa ia tak mau mendengar kata itu. Tapi, Lana memberanikan diri untuk bertanya pada Theo.
"Berubah? Dalam hal apa?"
"Ya berubah buat jadi yang lebih baik."
"Gak berubah pun kamu tetep orang yang baik."
Theo tertawa mendengar kata-kata yang polos itu keluar dari mulutnya yang tipis.
"Bukan itu maksudnya." jelas Theo.
Lana masih dibuat bingung dengan teka-teki yang diberikannya hingga Theo dapat menebak kalau seseorang yang sedang ia ajak berbicara saat ini masih belum bisa mencerna apa yang ia maksud. Theo hanya tersenyum sembari menatap wajahnya yang sedang berpikir keras.
"Masih gak ngerti juga?" tanyanya dengan sabar.
Lana hanya menggelengkan kepalanya untuk menjawab Theo.

YOU ARE READING
One Last Hope
Teen FictionSemua orang di dunia ini butuh kejujuran, begitupun dengan Lana. Ia hanya menginginkan kejujuran dari seseorang yang bernama Theo akan isi hatinya. Karena baginya, kejujuran Theo itu sudah lebih dari cukup atas apa yang ia inginkan selama ini. Tapi...