Cahaya Bulan

8.9K 171 8
                                    

Cahaya bulan perlahan meredup, bayangan yang menemani Adam malam ini tertutup awan yang melintas menutupi bulan purnama. Kini hanya alunan gitarnya yang menemani, di bawah pohon rindang, malam Minggu Adam terasa kelabu. Ia terduduk di trampolin usang milik Sarah, gadis kecil yang sekarang tumbuh dewasa dan berubah menjadi begitu cantik. Mereka satu sekolah sejak kecil, tapi Adam yakin, Sarah tidak mengenalinya.

Lirik-lirik lagu mengalun indah dari mulut Adam, matanya tak lepas dari jendela kamar rumah yang ada di sebelah rumahnya. Lampu kamar Sarah belum padam, si pemilik kamar belum tidur. Adam tersenyum-senyum sendiri, sejak mengenal Sarah, ia langsung jatuh cinta, meski Adam kecil belum mengerti apa itu cinta, semakin tumbuh dewasa maka semakin tumbuh pula pemahaman dalam dirinya, Adam kecil dan Adam dewasa, memang jatuh cinta pada Sarah.

"Cahaya bulan menusukku dengan ribuan pertanyaan.. yang takkan pernah ku tau jawaban itu.." Adam menghela nafas.

"Selamat tidur Sarah." Bisiknya, ia menghentikan alunan lagunya. Mengucapkan selamat malam saat lampu kamar Sarah padam. Tapi, tubuhnya enggan beranjak, matanya masih betah menatap jendela kamar itu, hanya jendela kamarnya.

"Besok potong rambut." Ujar Adam sambil melangkah gontai. Ia akan rindu trampolin cinta Sarah.

**

Adam merapikan rambut cepaknya, ia tersenyum puas lalu menyodorkan selembar uang sepuluhan ribu pada tukang cukur. Ia berjalan melewati kerumunan orang di trotoar, pikirannya berbincang dengan benaknya. Adam si pecundang bodoh yang naik kelas karena belas kasih gurunya, tidak punya hal yang bisa ditonjolkan kecuali lesung pipit yang dimilikinya sejak lahir. Tidak pernah lulus tes untuk mengikuti OSIS, tidak terkenal, dan hanya mengenal segelintir orang yang nasibnya tak jauh berbeda dengannya, dan yang kini biasa ia sebut dengan teman seperjuangan.

Setelah lulus SMA, ia memilih untuk masuk militer. Meski sebelumnya tidak percaya diri, keberuntungan menyambut dan ia pun bisa bangga menyebut dirinya pembela negara tercinta, Republik Indonesia. Langkah kakinya melambat, saat matanya menemukan ciptaan Tuhan yang begitu indah, tengah bermain gitar di trampolin cinta, Sarah. Lagu yang semalam ia nyanyikan, kini berganti mengalun indah dari bibir Sarah.

"Lagunya.." Ucapan Adam terhenti saat Sarah terkejut melihat kedatangannya. "Lagunya lebih bagus kamu yang nyanyiin." Adam meringis.

"Maaf. Tadi.. aku.." Gelagapan, Sarah melempar gitar itu sembarangan.

"Oh gak apa-apa. Beneran. Sumpah, gak apa-apa beneran, kok. Mainkan aja gitarnya lagi, gak apa-apa. Beneran deh!" Adam melambai-lambaikan tangannya.

Tiba-tiba Sarah terkikik, membuat dunia Adam seperti tersiram air berwarna pelangi. "Aku Sarah." Sarah mengulurkan tangannya.

Adam meringis. "Udah kenal kok."

"Setiap malam, aku jadi pendengar setia kamu loh!" Lagi, Sarah tersenyum.

Adam melongo. "Jangan bilang kamu dengar semuanya." Adam berucap tanpa sadar.

"Apa? Dengar apa?"

Adam gelagapan. "Enggak. Maksudnya, jangan bilang kamu dengarin suara cempreng aku."

Sarah tertawa. "Suara kamu bagus kok."

Adam seperti melayang, tanpa sadar ia tersenyum bodoh. "Ah, iya."

Senyumnya belum juga pudar, saat Sarah berpamitan dan melambai ke arahnya. Seperti gayung bersambut, meski hanya berbincang sebentar, ini seperti hadiah untuknya sebelum pergi.

**

"Perlahan sangat pelan hingga terang kan menjelang, cahaya kota kelam menyambut mesra sang petang, disini ku berdiskusi dengan alam yang lirih.."

"Kenapa gak jadi penyanyi saja? Suara kamu bagus, Mas." Celetuk Aryo, junior Adam.

"Sudah tua gak mungkin laku." Adam mengelus kumis tipisnya.

"Baru 25 tahun udah merasa tua, Mas. Semangat pembela negaranya mana, Mas?" Seru Aryo disambut tawa Adam dan beberapa temannya yang lain.

"Dam!" Teriak seseorang dari kejauhan. Adam menyipitkan matanya. Pria berkalung ID Card dengan kacamata melambai ke arahnya. Adam berdecak pinggang, ia menghampiri pria itu. Semakin dekat sudut bibir Adam mulai terangkat, ia tersenyum lebar.

"Wah, jadi wartawan?" Adam membaca ID Card milik pria itu.

"Kamu justru jadi Kapten." Goda Teguh, teman seperjuangannya.

"Ah, Kapten apanya? Cuman pasukan biasa. Doakan saja!" Adam menepuk lengan Teguh.

"Aku gak sendiri loh, Dam. Ada rekan satu tim ku, ada Sarah juga." Teguh tersenyum penuh arti, ia mengerling ke arah kerumunan orang di kejauhan. Mata Adam mengikuti pandangan Teguh. Lagi, matanya menyipit, sedetik kemudian, matanya membelalak tak percaya saat Sarah dan beberapa orang lainnya berjalan ke arahnya.

"Apa kabar?" Sarah tersenyum. Adam pun ikut tersenyum, ia memperhatikan Sarah dari atas ke bawah, bertahun-tahun berlalu, ternyata debaran jantungnya belum juga hilang saat melihat Sarah.

"Kamu jadi wartawan? Hebat kamu."

"Ah, biasa saja. Teguh justru jadi senior aku." Sarah mengerling ke arah Teguh yang tersenyum lebar.

Adam terkikik. Lalu berbagai pertanyaan di kepalanya berputar, apa Sarah sudah menikah? Apa sedang menjalin hubungan dengan seseorang? Apa?

"Kamu.. sudah menikah?"

Adam melongo. "Ha?" Sarah mendahuluinya bertanya.

"Otak sedengkulmu masih ada to, Dam?" Logat Jawa Teguh kambuh, ia geleng-geleng kepala melihat sifat Adam yang tidak berubah.

"Aku tinggal dulu." Teguh menepuk bahu Adam, lalu meninggalkan mereka berdua.

Adam melirik Sarah. "Kamu sudah menikah?"

"Mau. Tapi, masih menunggu. Soalnya, belum tau dia gimana." Sahut Sarah.

Adam terpaku, Sarah punya kekasih? "Ah, mana ada yang nolak kamu, Sar?"

"Siapa yang tau? Hampir tiap malam, aku selalu dengarkan lagu-lagunya. Kadang juga, ucapan selamat malamnya. Tapi, sampai sekarang dia gak bilang apa-apa sama aku."

Adam mengernyit. Lagi, otak sedengkulnya butuh waktu lama untuk bereaksi. "Adam Hanafi?" Ia mengangkat kedua alisnya, dan Sarah mengangguk pelan.

Sudut bibir Adam terangkat. "Pengecut ya? Justru wanitanya yang berani mengatakannya."

"Kenapa begitu?" Sarah mengernyit.

"Karena yang disukai pengecut itu terlalu cantik, kayak bidadari. Mana berani menatap wajahnya yang kayak cahaya bulan? Silau."

Sarah tersenyum. Pria itu sama sekali tidak berubah sejak pertama ia melihat Adam, saat mereka masih kecil.

**

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang