Benda harum berwarna merah muda menyambut penglihatannya siang ini, seharusnya ia bisa menikmatinya, tapi tidak hari ini. Riani berjalan cepat melewati bunga-bunga sakura yang sedang bermekaran. Meski Jepang sedang musim semi, tapi Riani belum terbiasa dengan udara di Jepang yang lebih dingin dibanding Indonesia. Sebelumnya, ia tidak menyangka akan pergi ke negara ini.
Sebelumnya juga, ia berjanji tidak akan pergi meski untuk menyambung mimpi. Tapi, dirinya kalah. Pertimbangannya juga tentang bagaimana dengan mimpinya, bukan hanya tentang masa lalunya.
"Riani! Cepatlah!" Teriak wanita bermata sipit yang mengenakan jaket berbulu.
Riani segera melepas jaketnya, duduk di depan meja rias, menghadap pantulan wajahnya di cermin. Dengan sigap, wanita tadi mengotak-atik rambut Riani.
"Sepuluh menit lagi. Ku mohon!" Pria berkacamata itu memelas pada fotografer. Orang yang akan melakukan pemotretan dengan Riani harus datang terlambat, dan Riani yakin orang itu adalah manajernya. Riani mengamati pemandangan itu, fotografer bahkan tidak marah harus menunggu sepuluh menit lagi.
Riani mengalihkan pandangannya, memandangi bayangannya di kaca jendela. Dress panjang melebihi kakinya, jatuh sampai ke lantai yang dilapisi kain putih, dengan warna putih tulang yang menggantung elegan di tubuhnya. Ia mengelus dress yang dikenakannya, ini sesuai seleranya.
"Tidak perlu pakai heels, fotografer minta kau senatural mungkin." Jelas Naomi, ia membenahi rambut Riani yang digelung. Naomi memoleskan lipstik berwarna coktu di bibir Riani. Ia mendesah. "Wah, ini riasan terbaikku."
"Dan aku model tercantik yang kau rias bukan?" Canda Riani.
"Ha. Ha. Lucu." Sahut Naomi datar membuat Riani mendengus sebal. Sesaat kemudian, Naomi melangkah mundur ketika fotografer bertepuk tangan sambil berseru pada seluruh kru. Tanda pemotretan akan segera dimulai.
"Duduklah! menghadap kesana!" Fotografer berusaha mengarahkan Riani. "Aku akan ambil dari samping, silangkan kakimu! Ya, benar. Lihat kesana!" Perintah fotografer itu. Riani menuruti semuanya dengan baik, tentu saja.
"Hey! Cepatlah! Kenapa berhenti?" Suara manajer tadi membuat Riani menoleh. Fotografer dan manajer berkacamata tadi menarik lengan pria tinggi tegap yang juga memakai kacamata. Riani tercenung.
"Jun? Hey?!"
Jun? Riani mengernyit. Hal yang ia takutkan muncul di tempat yang tidak terduga, sosok Putra dengan nama Jun terpaku menatapnya dalam jarak enam meter. Ia sudah mendengar Putra berada di Jepang, tapi ia tak pernah menyangka Putra berkelut di bidang ini.
"Ya. Pegang jasmu! Ya, bagus seperti itu!" Seru fotografer yang puas melihat gaya Jun. "Riani, tundukkan sedikit wajahmu! Sedikit saja! Ya, bagus."
"Oke." Ucap fotografer itu sambil memeriksa hasil jepretannya. "Pemotrerannya selesai. Terima kasih." Ia membungkuk.
"Terima kasih." Sahut seluruh orang di ruangan itu, termasuk Riani.
"Kerja bagus! Istirahatlah dulu!" Manajer itu merangkul Jun. Riani belum bisa mengalihkan pandangannya, ada rasa canggung untuk menyapanya. Lamunannya buyar saat Naomi memanggilnya. Di ruang rias tadi, Riani kembali memandangi bayangannya di cermin.
"Kau sangat cocok dengan gaun ini, kalau saja harganya murah akan kubelikan untukmu." Ujar Naomi sambil menggantung dress itu di dinding.
"Aku hargai niatmu." Cibir Riani membuat Naomi tersenyum lebar.
"Oh, kemarilah! Akan ku bantu." Ucap Naomi tiba-tiba. Naomi menghambur ke arah pintu saat melihat Jun berdiri diambang pintu. Jun menatap Riani yang baru saja menoleh. Mereka sama-sama terdiam, sampai akhirnya Jun melambai dan tersenyum ramah pada Riani.
"Woy!"
Riani sempat terdiam. Sapaan khas itu. Sapaan yang selalu ia dengar saat SMA dulu. Ia tersenyum lebar. "Woy!"
**
Suara ranting yang saling bergesekan terkena tiupan angin, seperti melodi yang menambah cerah cuaca. Meski sedikit terlambat, akhirnya Riani bisa menikmati harum bunga sakura yang sedang bermekaran. Ia terduduk di bangku di bawah pohon sakura. Ia sempat tergelak dalam hati, rasanya seperti dalam drama. Riani menoleh, ia lupa sekarang ia sedang bersama siapa.
"Bagaimana kabarmu?" Riani memulai pembicaraan.
"Ya, seperti ini. Aku sangat baik, bagaimana denganmu?"
"Ya, aku juga baik." Sahut Riani kaku. Cuaca cerah musim semi hancur karena atmosfer aneh yang menyeruak dari kedua orang itu. Mereka sama-sama terdiam, dalam diam, otak Riani kembali memutar bagaimana kejadian saat SMA dulu. Saat ia diam-diam menyukai Putra, saat ia diam-diam cemburu melihat Putra berpacaran dengan Ani, sahabat Riani.
"Kamu sudah tidak berhubungan dengan Ani lagi ya?" Pertanyaan Putra membangunkan Riani. Ia pun menggeleng. Mereka putus hubungan, sejak Ani tau bahwa Riani pun menyimpan rasa pada Putra. Permasalahan yang sepele memang, tapi cukup untuk meretakkan persahabatan Ani dan Riani.
"Sebentar lagi dia akan menikah." Jelas Putra.
Riani tersentak. "Be-benarkah? Wah, aku ikut senang. Semoga kalian bahagia."
"Siapa?" Sela Putra membuat Riani menoleh.
"Ha?"
Putra tertawa. "Bukan. Dia tidak menikah denganku." Lagi, Riani selalu dibuat terkejut oleh pernyataan Putra. "Bukannya aku akan menikah denganmu?" Putra menyeringai.
Riani mendengus. "Jangan menggodaku!" Dalam hati ia gugup setengah mati mendengar ucapan Putra.
Putra terkikik. Ia membenahi duduknya, matanya menerawang jauh ke depan. Di antara cahaya hangat matahari, kelopak bunga sakura jatuh diterpa angin. Riani dan Putra sama-sama terdiam, mereka sibuk menikmati indahnya bunga sakura.
"Apa kamu ingat?"
"Hm?"
"Dulu, kamu gak sadar kan aku deketin?"
Riani terdiam. Ekspresinya berubah, sedetik kemudian ia menoleh dan tersenyum lebar. "Aku terlalu polos atau.."
"Gak peka." Sela Putra, ia melirik Riani sekilas. "Gara-gara kamu gak peka, aku justru jadiannya sama Ani."
Riani mengernyit. "Hey! Jangan bawa masa lalu. Aku tidak suka."
Putra tergelak. "Maaf-maaf. Aku hanya mengenangnya."
Riani tersenyum, ia menunduk menatap sepasang heels-nya yang berdampingan dengan sepatu sport milik Putra. "Ya, jika diingat-ingat memang sedikit membawa sesal."
"Sebenarnya pun, sampai sekarang aku masih menyesalinya." Bisik Putra, tapi masih bisa Riani dengar dengan jelas.
Riani menghela nafas, hatinya terasa begitu nyaman bisa mengungkapkan ini semua. "Ya, aku juga."
Putra tersenyum. Ada seribu makna dibalik secuil kalimat itu. Ia mengerti, dan dalam hati ia bersorak yakin, Riani pun sama. Pelan namun pasti, sudut bibir Riani terangkat manis.
**
Kritik dan saran yes ^^ terima kasih buat yg mau repot2 baca :-)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
RomanceKumpulan cerpen pertama yang aku publish 😊 Diberi judul Like a Rainbow karena kehidupan itu kan bermacam-macam, seperti warna pelangi. Pengalaman, kejadian, kesedihan, kebahagiaan, dan kenyataan setiap orang berbeda-beda. Cara menghadapinya pun ber...