We

6.1K 110 7
                                    

Yura menutup pintunya dengan keras, nafasnya memburu karena emosi. Dibuangnya tas branded itu ke sembarang tempat, ia terduduk di depan pintu sambil meremas rambutnya.

"Aku bisa jelaskan. Kita bisa melakukannya bersama, Yura?" Matthew menggedor-gedor pintu apartemen Yura. Tapi, si pemilik rumah bergeming.

Matthew menyerah, ia menghela nafas panjang sambil menunduk, siapa yang akan terima jika dibohongi kekasihnya sendiri? Dan ini keselahannya karena menyembunyikan hal besar ini dari Yura, ia pikir Yura akan bisa menerimanya, tapi ternyata, Yura menolaknya dengan keras. Coat hijau tua Matthew terasa ditarik-tarik dari bawah, matanya melirik bocah laki-laki yang masih berumur lima tahun di sampingnya.

"Aku lapar." Suara kecil itu mampu menyembuhkan kecamuk Matthew.

Matthew tersenyum lebar, ia berjongkok, menyamai tinggi bocah itu. "Kau mau makan apa? Mau makan daging panggang?"

Dan bocah itu mengangguk manis sambil tersenyum lebar. Senyumnya begitu mirip dengan Matthew. Matthew menggendong putra semata wayangnya itu, bercanda dan tertawa di sepanjang jalan, melupakan masalahnya dengan Yura yang selama ini menggantikan tempat Nina di sisinya.

"Ayah, apa wanita itu membenciku?" Rayn berkata dengan mulut penuh makanan, karena uang Matthew hanya sedikit, akhirnya mereka memilih membeli makanan di pinggir jalan.

"Tidak, sayang. Dia hanya sedikit kelelahan."

Rayn mengangguk. "Dia cantik. Tapi, cengeng, kata Ibu anak cengeng itu akan jadi jelek."

Matthew tersenyum. "Apa kau rindu Ibumu?"

Rayn mengangguk sambil memainkan makanan di mangkuknya. Matthew mengelus kepala putranya, setelah bercerai, ia baru tahu ternyata Nina tengah mengandung anaknya, dan penyesalan itu pun sekarang tidak ada artinya. Nina sudah bahagia dengan suami barunya, setiap dua minggu sekali, Rayn akan ikut dengannya. Meski hanya sehari dua hari, tapi itu cukup untuk menyembuhkan penyesalannya.

Matthew melirik Rayn, bocah itu memanyunkan bibirnya, sesekali ia menguap malas, matanya menyipit karena menahan kantuk. Matthew tersenyum, dengan bersama anak ini, dunianya lebih indah. Mungkin ini, yang membuat banyak pria sangat bangga menjadi seorang Ayah.

"Kau mengantuk?" Tanyanya, dan Rayn mengangguk lucu.

"Ayo! Superman! Kita terbang ke pulau kapas." Matthew menggendong Rayn dengan semangat.

"Aku Batman, Ayah!" Rayn protes disela-sela ia menguap.

"Yeah! Batman, waktunya istirahat oke?" Matthew setengah berlari, berpura-pura tengah menerbangkan Batman kecilnya. Langkah Matthew berhenti di persimpangan jalan, Yura berdiri dengan wajah acak-acakan. Menatapnya sayu dengan mata sembap.

"Biarkan aku yang menidurkannya." Ujarnya.

Matthew terdiam, matanya melirik Rayn yang tertidur di pundaknya. Ia berjalan mendekati Yura, berusaha menata kata-katanya agar tidak lebih menyakiti wanita itu.

"Kau.. maksudku, aku akan tidur di sofa."

Yura mengangguk, lalu ia berjalan mengekor di belakang Matthew. Mereka berjalan menuju rumah Matthew, tidak terlalu jauh namun cukup lama untuk Matthew terus berterima kasih dalam hati. Ia tahu, pilihannya tidak salah, Yura adalah wanita baik-baik. Matthew menepuk-nepuk punggung Rayn, ia tersenyum tipis.

"We'll be a great family, right?"

**

Gaje kah? >_< maklum baru pertama kali publish. Kritik dan saran diterima :-) terima kasih.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang