GADIS KECIL KORIDOR FAKULTAS EKONOMI

281 6 2
                                    

(1)
Seorang gadis berkaki mungil berkejaran dengan bayangnya sendiri.
Ia berlarian sendiri di koridor kampus di sore hari.
Suasana begitu sunyi, tiada apapun mengiringi

Sore itu sang gadis terlihat sangat gembira.
Ia tak lagi menangis seperti minggu pagi; yang juga di sini.
Ia begitu riang bernyanyi-nyanyi.
Andai saja dia tahu daun kering di tamannya sedang gugur menyudahi peran.

(2)
Tadi pagi, kujumpai lagi gadis mungil yang kemarin berkejaran dengan bayang; berkejar pada waktu yang sudah terhenti: mati.

Ia tak lagi bersenda dengan bayangnya sendiri.
Ia lagi termangu, duduk di atas batu.
Kali ini, parasnya terlihat sendu; mungkin rindu.
Mungkin ia tengah rindu dengan daunan pohon yang kemarin gugur; dan kemudian mati.
Sepertinya nafas zaman sudah mengabarkan duka itu padanya.
Kini ia menangis: karena rindu.

(3)
Hai gadis kecil. Apa kabarmu? Apa kau akan terus terduduk di ujung koridor kampus ini? Lihatlah! Di seberang sana rumpun bambu bergoyang; merayu-rayu. Apa kau tak ingin berlarian di selanya? Sedang ciut angin terdengar begitu mesra. Bangkitlah! Jangan tertunduk saja: sambil terduduk.
Aku tahu, daun kering yang gugur waktu itu sangat berarti bagimu. Namun, apakah hanya karena itu kau mengabaikan semesta yang begitu mendamba senyum simpulmu?

(4)
Pagi ini aku sendiri berdiri memangku sepi.
Berteman secangkir kopi, kulayangkan angan padamu: dara kecil.
Mau sampai kapan kau meratapi kepastian?

Ingatlah, meski waktu telah mati; untukmu.
Daun itupun juga sudah ambyar; dihujam hujan di terik kemarau.
Aku tak ingin mendengar suaramu yang parau.
Aku hanya mau merungu gurau.
Gurau lugu dan hentak kaki mungilmu.

(5)
Aku menghampirimu lagi: gadis kecil berkaki mungil.
Bersama dengan luruhnya malam di tengah fajar yang riuh, tiba-tiba aku ingin bersemuka denganmu.
Lantas, aku melenggang menuju tangga yang biasanya kau ajak ngobrol itu.
Sepi. Kau di mana?
Aku melongok rumpun bambu: kau tak ada.
Aku duduk di atas batu: juga tidak ada.
Tanpa dinyana: terbisik sendu suaramu di gendang kiri telingaku.

(6)
Di setiap lorong kita jumpai belokan. Lalu jalan kembali lurus. Kita menuju belokan yang lain. Lantas lurus lagi. Tidak ada apa-apa. Gadis kecil itu pun tidak lagi berlarian atau menaikturuni tangga. Ia juga tak duduk di batu. Tak ada kudengar tangisnya di sela angin di rumpun bambu. Lorong itu kosong kini. Tidak ada sesiapa. Hanya belokan-belokan yang barangkali ingin membawa kita tersesat:pada Kekosongan.


SesajakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang