Lemparan kerikil kecil di jendelaku merusak acaraku mengasihani diri sendiri. Aku butuh semenit penuh untuk kembali ke dunia nyata.
Ada lemparan lagi dan aku menjulurkan leher dari tempat tidur.
Mina dan Sana berdiri di depan rumahku. Mina memanggilku dengan suara teredam, memintaku turun.
Aku bangkit, berjalan ke jendela dan menyentakkannya sampai terbuka.
"Ayo turun, kita akan bersenang-senang," Teriak Sana, suaranya terdengar lebih keras.
"Malas," kataku, melambai menyuruh mereka pergi. "Pulang saja deh. Aku lagi sedih. Nanti kalian ketularan."
"Jangan coba-coba ya," kata Mina. "Kau sudah menelpon dan bilang bahwa kau sedang krisis. Kami sudah datang sekarang. Turunlah kemari. Kita akan bersenang-senang."
"Malas."
"Kau pasti kembali ceria. Sumpah."
"Tidak mau, terimakasih."
Mina memutar bola mata. "Cengeng banget sih. Ayo, Sana."
Mereka lenyap dari pandanganku dan beberapa detik kemudian bel pintu berbunyi.
Obrolan ala orangtua samar-samar terdengar dari lorong--Eh ada Sana dan Mina--yang menyebalkan, Sana dan Mina memilih untuk menanggapinya.
Obrolan bernada ceria itu membuatku makin sebal dan bertambah sebal sampai-sampai aku rasanya ingin berteriak ke bawah, "Hei, orang sedih yang ingin kalian hibur ada di atas sini nih!"
Akhirnya dua pasang kaki menaiki tangga. Mina yang masuk duluan kemudian Sana muncul di belakangnya.
"Ya ampun, kau tahu?" Katanya, menyibak rambut dari leher sambil mengipas-ngipas wajah. "Tadi Jimin sunbae di pukulin nenek-nenek sampai babakbelur gara-gara mimpi jorok di bus."
"Aku rasa dia perlu psikiater," kata Mina. "Dia hampir sampai ke titik di mana ia akan dikira gila."
"Benar," Kata Sana. Dia menoleh padaku.
Aku menatapnya tajam. Kami kan bukan berkumpul untuk membahas topik seberapa mesumnya Jimin sunbae atau seberapa pantasnya dia masuk rumah sakit jiwa.
Sana lalu duduk di pinggir kasur. Sementara aku berbaring serta menyandarkan kepalaku di pangkuan Mina. Ia membelai rambutku, awalnya hati-hati, lalu lembut menyenangkan.
"Jadi apa yang terjadi?" Tanyanya.
Aku tidak menjawab.
Aku ingin bercerita, sekaligus tidak ingin.
Krisisku parah sehingga kalau aku bersuara, tangisku akan meledak.
"Oh, tidak," kata Sana. Ekspresinya menunjukkan ekspresi yang tergambar di wajahku. "Oh, ya ampun."
Mina berhenti membelai rambutku. "Apa ini masalah dengan Jungkook?"
Aku mengangguk.
"Kau sempat bertemu dia?" Kata Sana.
Aku menggeleng.
"Apa kau sempat bicara dengannya?"
Aku menggeleng lagi.
Sana dan Mina berpandangan, kurasa ada komunikasi rahasia di antara mereka. Mina menyenggol bahuku dan menyuruhku duduk.
"Katakan saja pada kami," katanya.
"Aku bodoh sekali," bisikku.
Sana menepuk pahaku, seakan berkata, kami di sini. Tidak apa-apa.
Mina mencondongkan badan ke depan dan menyandarkan dagu ke lututku.
"Pada zaman dulu kala...." pancingnya.
"Pada zaman dulu kala, Jungkook dan aku masih pacaran," kataku merana. "Aku sayang padanya, dia sayang padaku. Lalu aku mengacaukan semuanya."
"Peristiwa Taehyung sunbae," kata Sana.
"Kami tahu," kata Mina, menepukku beberapa kali untuk menghibur. "Tapi itu kan seminggu yang lalu, apa krisis barunya?"
Mereka menungguku menjawab.
Mereka menunggu lebih lama.
"Aku mengirim pesan pada Jungkook," aku mengaku.
"Tidak," kata Mina. Ia membentur-benturkan dahi ke lututku.
"Kupikir kau memberinya waktu untuk menyembuhkan luka," kata Sana. "Kau kan bilang hal paling baik yang bisa kau lakukan adalah menjauh, sekalipun itu super sulit. Ingat, kan?"
Aku mengangkat bahu putus asa.
"Dan bukannya ingin membuatmu kecewa, tapi kupikir Jungkook sekarang jalan dengan Irene unnie," kata Mina.
Aku melotot padanya.
"Maksudku, tidak, pasti tidak," Mina melarat. "Lagi pula kalian kan baru putus seminggu. Tapi Irene unnie mengejar Jungkook kan? Dan sepertinya yang kita tahu, Jungkook tidak menyuruhnya menjauh."
"Tapi kan Jungkook tidak suka noona-noona," kataku.
"Itu kan dulu, bisa saja sekarang sudah berubah," kata Mina.
"Kupikir Irene unnie balikan dengan Taehyung sunbae," kata Sana.
Aku menghela napas.
"Ingat kan, Irene unnie membangga-banggakan diri sehari sebelum ia resmi diangkat menjadi manager tim basket sekolah? Dia bercerita berulang-ulang bahwa dia akan sering menemui Jungkook latihan."
"Kupikir dia hanya berusaha membuat Taehyung sunbae cemburu."
"Kita memang berpikir begitu," kata Mina, "tapi siapa yang tahu itu rencana sungguhan..."
"Ahh," kata Sana. "Paham. Jungkook bukan cowok yang senang membuat 'rencana' kecuali dia benar-benar serius."
"Aku tidak mau Jungkook membuat 'rencana' dengan siapa pun termasuk Irene unnie."
Sana menghembuskan napas lewat hidung. "Apa aku boleh bilang sesuatu yang tidak ingin kau dengar?"
"Lebih baik jangan."
"Dia tetap bakal bilang," kata Mina.
"Aku tahu," jawabku "Aku cuma berharap dia jangan bilang apa-apa."
"Gara-gara hari ini," kata Sana. "Hari ini seharusnya kau dan Jungkook merayakan satu tahun jadian kan?"
Aku diam.
"Ya, pasti gara-gara itu. Hari jadi membuat orang-orang yang sudah putus tiba-tiba sangat kesepian dan kembali merasakan sakit hati."
"Kemarin," aku mengaku.
"Sebenarnya kemarin hari jadi aku dan Jungkook."
"Jadi soal pesan yang kau kirimkan padanya itu," kata Sana dengan nada jangan-melenceng-dari-masalah. "Isi pesannya apa?"
Aku menggeleng. "Terlalu pedih."
"Bilang saja pada kami," desak Mina.
Aku turun dari tempat tidur. "Tidak mau. Tapi aku bisa menunjukannya dan kalian bisa membacanya sendiri."
.
.
.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Not Over; Jjk [Completed]
ФанфикKamu dan Jungkook putus karena kesalahan bodohmu. Kamu menyesal, lalu apakah Jungkook mau menerimamu lagi? Inspired: Love Is Not Over, BTS & The Patron Saint of Pigs, Lauren Myracle