Sembilan

528 41 1
                                    

-First Boyfriend-

*Alen's POV*

Kenapa setiap cowok yang nyaris banget jadi sahabat gue selalu nembak gue? Kenapa kalau gue udah deket sama cowok ujung-ujungnya harus pacaran? Emangnya status 'pacaran' itu perlu?

* * *

Ada sedikit rasa penyesalan setelah gue mengambil keputusan kemarin.

Gue sedikit menyesal karena flashdisk ini masih ada di tangan gue.

Gue nggak punya keberanian untuk mengungkapkan.

Tapi gue juga berpikir kalau hal itu nggak perlu gue lakukan dan akhirnya gue sendiri yang termakan perasaan gue.

Gue langsung teringat akan nasihat mama gue dulu sebelum gue masuk SMP.

Jangan pacaran dulu, nanti kalo putus jadi galau terus ga fokus belajarnya, kamu jadi menurun prestasinya.

Gue memang nggak putus dari siapa-siapa sih. Tapi tetep aja gue jadi murung. Apa sebaiknya gue jangan jatuh cinta lagi?

Pagi itu gue tiba-tiba dapat BBM. Lampu notifikasi handphone gue kedip-kedip di dalam kamar gue yang masih gelap.

"Hey, Len"

Gue agak terkejut melihat nama yang mengirim BBM gue.

Dia masih inget sama gue? Kirain udah lupa. Batin gue sambil menatap display name BBM nya.

Jafar baru aja BBM gue.

Alen : "Hai. Masih inget lo sama gue"

Jafar : "Iya lah, Len. Masa gue lupa sama siswi terpendek di kelas"

Alen : "Wah, ngajak ribut"

Jafar : "Gue bener kan? Paling lo nggak tinggi-tinggi"

Alen : "Lo gimana sih, baru ngajak ngobrol langsung ngejek orang"

Jafar : "Iya Len becandaaaa. By the way, lo pagi ini ada acara nggak?"

Alen : "Nggak tuh, kenapa nih?"

Jafar : "Oh. Kalau nggak ada, gue mau ngajak lo lari pagi bareng. Gue lagi jogging di komplek rumah lo nih"

Ketika gue pengen jawab "Boleh" tapi mama gue manggil gue untuk bantu dia bikin sarapan.

Alen : "Yah, mama gue minta bantuin bikin sarapan"

Jafar : "Yaudah deh. Hmm, kalau ketemuan nanti gimana? Di mall atau di deket-deket sini gitu? Gue pengen lihat lo sekarang kayak gimana"

Alen : "Tau sendiri mama gue tuh nggak bolehin gue jalan sama cowok"

Jafar : "Hmm, ribet ya. Yaudah, kapan-kapan aja. Gih bantuin mama lo"

Alen : "Ok, see ya "

Jafar : "Yup"

* * *

Pada bulan Juli, setelah melewati liburan musim panas, akhirnya gue menginjak bangku kelas 9 SMP. Ada beberapa temen gue dari kelas 8 yang kebetulan sekelas dengan gue. Salah satunya bernama Abdi. Sejak masuk ke kelas 9, entah kenapa cowok yang satu ini mulai sering BBM gue. Gue pun merasa nyaman aja berbincang sama Abdi. Gue dan Abdi sama-sama suka main game dan kebetulan gue memang suka banget main game laki-laki, jadi terkadang gue nyambung kalau ngobrol sama Abdi.

Hampir setiap hari Abdi recommend gue untuk nonton video-video walkthrough game Play Station favoritnya. Dia selalu tanya gimana tanggapan gue mengenai game itu. Lama kelamaan gue pun nggak ngobrol hanya melalui aplikasi BBM aja. Abdi pun sering banget bercanda dan ngobrol tentang game di kelas.

Sampai suatu hari..

 Abdi : "Alen, gue mau ngomong deh"

Alen : "Ya ngomong aja lah, di"

Abdi : "Gue ngerasa lo itu beda dari yang lain. Jarang banget gue nemu cewek yang suka game cowok"

Alen : "Lo muji gue nih? Kalau gitu makasih"

Abdi : "Iyaa, dan ada lagi yang mau gue omongin"

Alen : "Apa?"

Abdi : "Lo itu tipe cewek yang gue suka. Len, lo mau nggak jadi pacar gue?"

Gue terdiam untuk beberapa saat.

Kenapa setiap cowok yang nyaris banget jadi sahabat gue selalu nembak gue? Kenapa kalau gue udah deket sama cowok ujung-ujungnya harus pacaran? Emangnya status 'pacaran' itu perlu?

Alen : "Kenapa harus pacaran, di? Emangnya apa salahnya kalau kita jadi sahabat aja?"

Abdi : "Gue cuma nggak mau lo jadi milik orang lain"

Alen : "Gue nggak tahu mau ngomong apa"

Abdi : "Lo nggak harus jawab sekarang kok, Len"

Karena gue bingung mau jawab apa, gue langsung keluar dari aplikasi BBM tanpa membaca BBM dari Abdi. Selama beberapa hari gue menggantung pertanyaan Abdi. Sampai akhirnya Abdi menagih jawaban gue.

Abdi : "Jadi, gimana Len?"

Gue emang suka sama Abdi, tapi sebagai teman gue. Dia asik dan sama-sama suka game kayak gue. Tapi apa harus gue pacaran sama Abdi.

Kemudian gue mikir, lagipula itu cuma status aja apa masalahnya? Gue kan nggak pacaran yang sampai berduaan di tengah kuburan malem-malem.

Apa salahnya gue nyoba. Batin gue

Alen : "Ok, gue terima"

Abdi : "Serius?!"

Alen : "Iya, tapi pake syarat. Nggak usah nulis status kayak orang pacaran. Nggak usah update status di facebook, jangan panggil gue pake kata 'ay' atau 'sayang' atau 'yank' atau apalah. Kita biasa aja"

Abdi : "Ribet ya. Tapi ok lah"

Sejak hari itu, gue dinyatakan 'Pacaran' sama Abdi. Meskipun itu hanya status, gue merasa beda. Karena gue belum pernah pacaran sama sekali, gue merasa nggak tenang dan bersalah karena bohongin mama gue. Abdi udah bilang ke gue kalau gue nggak perlu kasih tahu orang tua gue tentang gue pacaran dengan Abdi. Tapi gue nggak pernah berbohong sama mama dan papa gue. Mungkin pernah sekali atau dua kali, tapi gue selalu merasa sangat bersalah setiap kali gue berbohong.

Sejak hari itu, Abdi jadi lebih sering BBM gue. Awalnya gue enjoy aja obrolan gue dengan Abdi. Toh orangnya asik dan nggak membosankan. Tapi gue mulai merasa nggak nyaman beberapa hari kemudian setelah jadian. Beberapa hari maksud gue adalah dua hari setelah jadian. Abdi selalu nanyain alasan kenapa gue bales BBMnya telat. Gue harus jelasin kenapa dan lama-kelamaan gue merasa terkekang. Gue bukan tipe orang yang selalu buka aplikasi BBM dan ngajak ngobrol pacar. Gue lebih suka browsing dan menulis cerita original hasil imajinasi gue sendiri.

Gue selalu berkata sama diri gue sendiri kalau pacaran itu hanya status. Gue belum membohongi mama gue dengan pacaran sama Abdi, karena gue nggakmelakukan hal-hal yang biasanya orang pacaran lakukan. Contohnya jalan berduaan, pergi berduaan, pegangan tangan, malem-malem pergi berdua. Gue nggak melakukan hal-hal itu.

Tapi dalam kurun 5 hari belakangan gue jadi murung. Rasa bersalah gue yang berlebihan mengambil alih pikiran gue. Meskipun hanya status, gue nggak bisa kayak begini terus.

Baru 5 hari setelah jadian, gue memutuskan untuk putus dengan Abdi.

Gue yang mutusin dia dengan alasan gue belum siap berpacaran. Gue udah berusaha bilang kalau dia tetap jadi sahabat gue. Gue udah bilang kalau gue berharap dia tetap suka ngobrol sama gue seperti biasanya. Tapi perilakunya berubah semenjak gue putusin.

Abdi jadi jarang ngobrol sama gue. Setiap kali gue tatap, dia memalingkan mukanya. Gue merasa bersalah juga udah mutusin Abdi. Gue jadi menyesal karena udah menerima permintaan dia sejak awal. Seharusnya gue nggak terima. Gue juga nggak mau permainin perasaan orang lain.

Gue berusaha melupakan 5 hari itu.

Gelar "Pacar pertama" gue udah di tangan Abdi yang hanya berlangsung selama 5 hari.

Aduh, Alen.

* * *

Vote dan commentnya ditunggu yaa :) masih butuh banget kritik dan saran dari kalian para readers :D



AlenovelaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang