2 : Elgaf

118 14 13
                                    

"Kakek tahu bagaimana ceritanya kota Elgaf ini bisa menjadi kota tambang??"
Malam itu Oruz melakukan rutinitasnya yang biasa : sehabis makan malam dan mengerjakan pekerjaan sekolah, ia akan melompat ke pangkuan sang kakek dan menagih cerita baru.

Berbeda dari anak anak lain, Oruz tidak menyukai dongeng peri atau kisah kisah indah pada umumnya. Ia suka sejarah, ia suka kisah kisah yang membuatnya berfikir. Untuk ukuran anak usia 8 tahun, Oruz amat berbeda.

"Apa tadi??" kakek mengalihkan pandangannya dari gelas kopi yang sedang ia nikmati. "Kota ini...?"

"Iya. Kenapa kota ini bisa jadi kota tambang???"
"Hmmm...." sang kakek mengusap dagu. "Dahulu....50 tahun yang lalu kita hidup seperti orang purba, kembali pada ketergantungan alam dan kebaikan bumi. Tidak ada energi, bahan bakar, segala sumber daya bahkan alam tak bisa sepenuhnya kami gunakan...."
Oruz menopang dagunya, seperti yang biasa dilakukannya jika tertarik pada sesuatu. Ia tahu diam diam ayahnya, Hazad ikut mendengarkan.

"Lalu kakek buyut kita, seseorang bernama Silver Laccadruss berkelana hingga gunung Papireth untuk mencari buruan. Menjelang malam ia menyalakan obor, cahayanya menerangi bebatuan gunung tempatnya duduk, dan kau tahu apa yang terjadi??"
Oruz menahan nafas, menggeleng.

"Cahaya...." kakek menyapukan tangan diudara dengan gaya dramatis. "Dinding bebatuan itu memantulkan ribuan cahaya kelap kelip sperti bintang yang merespon satu sama lain. Begitu indah....dan Silver menduga...inilah energi. Ini bukan sekedar permata biasa. Silver lalu mengambil kapak untuk mencungkil sebongkah yang kemudian dilemparnya kedalam api. Api menyala merah, lebih terang dan panas. Sejak saat itu, semua berubah. Industri mulai kembali dihidupkan. Orang orang di belahan dunia lain mulai mencari batuan itu di pegunungan. Meski itu hanya satu satunya energi besar selain matahari dan alam, kita mampu menggunakannya dengan baik sehingga era primitif pun berakhir..."

"Kakek bilang, sejak 50 tahun lalu. Memangnya sebelumnya bagaimana?? Kenapa manusia primitif??"

"Kamu tahu skybike yang suka dibicarakan orang orang itu??"
"Tahu. Itu kan kendaraan mahal yang bisa terbang di langit dengan sangat cepat!"
"Kita dulu punya yang seperti itu. Jauh lebih canggih, malah. Sebelumnya kendaraan seperti itu bernama motor yang hanya berjalan di darat. Pada tahun 2045 ditemukan motor terbang yang mampu melintasi satu negara. Masih banyak lagi contohnya. Kau tahu holophone??"
"Tahu!! Itu kan alat yang bisa memunculkan sosok orang yang ingin kita ajak bicara hanya dalam sekali tekan...!"
"Ratusan tahun lalu ada alat bernama handphone, batangan yang bisa menghubungkan kita via suara. Semakin lama berkembang menjadi holophone canggih yang bahkan mampu mengirimkan benda fisik."

"Kereeen...!! Bagaimana bisa ?!"

"Itu...ya...karena sejatinya semua benda terbuat dari atom dan...." kakek kelihatan bingung sendiri. "Sudahlah. Pokoknya begitu."

"Lalu apa yang terjadi dengan semua itu...?"

"Semua berubah karena manusia. Kita terlalu serakah, terlalu rakus dan menggerogoti segala sumber daya yang ada tanpa sadar suatu saat semua itu akan habis. Ditambah lagi keadaan bumi yang semakin rusak, pertikaian antar manusia terjadi dimana mana. Peperangan tak bisa dihindarkan. Ditambah lagi....bencana besar....mengguncang dunia ini 150 tahun lalu. Semuanya berubah begitu cepat, hampir separuh populasi manusia habis. Kita perlu perubahan. Manusia yang selamat mencoba memulihkan keadaan dan mengubah sistem dunia ini. Dan, tentu saja, belajar dari kesalahan untuk tidak jadi manusia serakah."

Oruz merenung mendengar cerita itu. "Apakah sekarang dunia baik baik saja? Apa kita bakal ada perang lagi??"

"Semua tergantung padamu, pada generasi baru. Mau dibawa kemana dunia ini."

"Benarkah katanya dulu dunia ini sangat indah dan hijau?? Benarkah katanya banyak hewan menakjubkan seperti...hamrau...?"

"Harimau, maksudmu?" kakek tertawa. "Ya, Oruz. Dunia dulu sangat indah. Andai kamu bisa melihatnya."

"Apakah nanti silvanium akan membahayakan kita??"

"Waktunya tidur, Oruzgan sayang." suara lembut Ellia membuat Oruz merengut. "Sedikit lagi, ibu...."

"Ibumu benar. Teruskan saja besok, kakek mau istirahat, iya kan?"
Sayang sekali Hazad mendukung istrinya. Oruz manyun, tapi ia menurut juga. Ia mencium pipi kakeknya dan mengucap selamat tidur. Kaki kecilnya melangkah mengikuti Ellia menuju lantai dua tempat kamarnya berada.

Di ruang makan kini hanya ada Hazad dan kakek. Hazad mengawasi putranya dengan senyum sebelum menoleh pada ayahnya itu.

"Ayah, kudengar Jasim tetangga kita tidak kembali dari tambang sejak dua hari lalu. Ia tidak singgah kemanapun, kata keluarganya."

"Oh ya....? Kasihan keluarganya. Mereka mencarinya kemana??"

"Ke segala tempat yang mungkin dikunjungi. Ayah kan tahu Jasim tidak suka mampir mampir."

Kakek mengangguk sejenak.

"Ayah..." panggil Hazad dengan nada bimbang. "Tidakkah ayah pikir sebaiknya ayah berhenti bekerja di tambang??"

"Kenapa mendadak kau bicara begitu...?"
"Orang orang mulai membicarakan Nacht. Makhluk penghuni Nacht Zone yang ada dibalik pegunungan Papireth. Sudah banyak penambang yang hilang bukan??"

"Kau mengkhawatirkan aku, ya?"
"Ayah." Hazad memohon. "Aku memang tak percaya gosip. Tapi aku tahu bekerja di tambang berbahaya apalagi untuk orang setua ayah. Ayah bisa membantuku di bengkel bersama Eshan. Atau bermain bersama Oruz dan Kiran."

Kakek tersenyum menatap putra bungsunya itu. Matanya menyiratkan kelembutan namun juga mengandung tekad yang tak bisa dikalahkan.

"Jangan khawatir, Hazad. Aku baik baik saja."

Zagan Laccadrus sudah merasakan banyak hal yang menyakitkan. Baginya, menambang silvanium bukan pekerjaan. Namun juga pencarian. Segala pengetahuan yang ia ceritakan pada cucunya, Oruzgan, hanyalah sedikit dari apa yang telah ia pelajari.

Dan silvanium adalah rasa penasarannya yang kesekian, apalagi bersangkutan dengan kota mati itu.

Nacht Zone.

Ampuuun padahal cuma segini tapi capek tah.

Makasih yang sudah baca ampe sini.

Left your vomment please :)

SilvaniumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang