11. Arosia

76 1 2
                                    


Galilei punya sebuah ruangan kecil disebelah ruang kerjanya. Tak ada yang diizinkan masuk ruangan itu, bahkan adik-adiknya sekalipun. Kali ini, ia duduk disana. menghadap sebuah meja tinggi dengan dua guci bertutup, dan sebuah lukisan besar terpampang. Galilei duduk bersimpuh memandang lukisan itu dengan tatapan kosong. Ada lima wajah tergambar disitu, yang dilukis ketika usianya 17 tahun, Runa 10 tahun, dan Audrey 5 tahun. Lukisan sebuah keluarga yang lengkap dengan orangtua di sisi kiri dan kanan mereka. Ruangan ini dulu milik ayah, tempatnya meletakkan abu kremasi ibu. Sekarang tempat itu milik Galilei, setelah ayah meninggal bertahun-tahun lalu dan abunya bersanding dengan ibu. Hingga usianya kini mencapai 29 tahun, ia selalu datang ke ruangan ini dan mengabaikan kesibukannya barang beberapa menit setiap hari.

"Ayah...ibu..." ujarnya lirih. "Aku baru saja pulang dari pertemuan bulanan kerajaan Arosia. Dulu ayah sering mengajakku ke kerajaan, berkeliling ibukota Centurion, menceritakan tentang benua Arosia yang meskipun paling kecil, tapi paling kaya. Ini adalah kedatanganku yang kesekian kali sejak aku menjadi kepala laboratorium pusat silvanium. Ayah pasti tahu, sepuluh pimpinan kota di benua ini datang, melaporkan apa yang mereka sudah kerjakan, hambatan yang mereka temui...dan sebagainya....Begitu pula aku..."

"Aku benci para walikota yang berbohong bahwa kota yang dipimpinnya baik-baik saja...mereka menutup kebobrokan yang sebenarnya. Seharusnya, Yang Mulia Raja Carius Sivanna lebih baik bertanya pada gelandangan kota, mereka bisa lebih jujur dari petinggi-petinggi busuk itu. Mereka sama seperti dulu, Ayah...mereka masih mencoba menjatuhkan kita..."

"Mereka, para walikota itu masih berusaha menelanjangi kita...mengaitkan laboratorium pusat dengan masalah mereka...tentang kenapa tidak ada ekspansi pembukaan tambang...tentang bagaimana silvanium tidak dikembangkan lebih jauh....tentang monster yang menghambat produksi bahan mentah silvanium di Elgaf...."

"Mereka bilang bahwa sebagai laboratorium pusat yang mengatur segala aktivitas terkait pengolahan silvanium, kita harus menanggulangi semuanya....tapi, ayah, kita sendirian. Pimpinan pengelola tambang menolak menutup tambang dan membiarkan kita mencarinya sendiri....Sebagian dari mereka bahkan tertawa dan menganggap itu mitos." Galilei terkekeh. "Aku tahu, sebagai wilayah terdekat dengan Elgaf, laboratorium pusat harus menjadi yang paling pertama menanggulangi itu...Aku sudah mengajukan proposal kepada kerajaan melalui walikota...tapi tidak pernah ada jawaban. Otoritas kerajaan begitu kuat sampai kita tidak bisa kemana-mana tanpa seizinnya. Sedangkan banyak sekali orang mengincar posisiku. Mereka akan menjatuhkanku untuk dapat berdiri disini. Mereka akan senang jika aku gagal. Maka dari itu mereka diam. Mereka seperti burung bangkai yang mengikuti menuju kematian dan mematuki kita saat jadi bangkai...."

"Tapi, ayah, aku selalu ingat apa kata ayah..." Galilei tersenyum pada wajah Ganimeda yang terlukis. "Tentang tidak pernah menyerah, tidak berhenti bekerja, menggunakan apapun yang kita punya untuk mencapai puncak...Aku menemukan harapan, seorang Lacadruss..."

"Tapi tidak semua dari anak ayah bertekad kuat sepertiku, yah, Audrey masih terlalu kecil untuk mengerti, ia masih sering melakukan kesalahan-kesalahan....Ayah dulu terlalu lembut padanya. Aku kini bertanggung jawab mendisiplinkan Audrey, dan aku melakukannya....Andai kaki Runa tidak lumpuh akibat kecelakaan itu, Ia akan bersinar sangat cemerlang sebagai tangan kananku. Audrey belum bisa sehebat Runa...."

Galilei berdiri, mendekat ke lukisan. Air matanya bercucuran.

"Ayah...apakah aku sudah jadi anak yang baik...?"

Tidak ada jawaban selain hembusan pendingin ruangan. Galilei tersendat seperti anak kecil.

"Ayah...katakan padaku, katakan kalau aku adalah anak yang baik..."

SilvaniumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang