13. Pietro

39 1 1
                                    

"Kakek, ketika silvanium ditemukan, semua orang pasti berbahagia, kan...? Sebelumnya kan semuanya primitif, setelah bencana besar, benua yang bergerak, dan banyak sekali orang mati. Kan berkat adanya silvanium, kita bisa membuat mesin-mesin canggih lagi."

Oruz mendengar suara kecilnya bertanya penasaran. Dirinya, duabelas tahun lalu duduk diatas pangkuan kakek sambil melihat buku bekas berisi gambar-gambar hewan dan tumbuhan yang telah punah. Ada hewan besar dengan gigi yang disebut gading mencuat, dengan telinga sebesar tampah. Ada hewan seperti beruang, hitam dan putih. 

"Menurutmu begitu...?" tanya kakek.

"Iya. Pasti semuanya bahagia. Kecuali nacht. Mereka kan jahat. Kata Giz dan Kirga, nacht suka menculik anak-anak, karena mereka tidak senang kalau orang-orang bahagia. Makanya mereka muncul." Oruz kecil membolak balik halaman buku itu. "Kayak ini, nih. Nacht pasti bentuknya seperti ini. Giginya besar." 

"Jadi menurutmu bentuk nacht seperti hiu...?" Kakek tergelak. "Menyeramkan sekali kalau begitu." 

"Dengan roda dibawah kakinya, lalu ada mesin jet supaya dia bisa mengejar dengan cepat." Dengan yakin, Oruz kecil mengangguk. "Menurut kakek, nacht seperti apa...?"

"Kenapa kau ingin tahu nacht seperti apa, Oruz...?"  Kakek kini memiliki kilatan mata yang pernah dilihatnya, didalam dirinya sendiri ketika berkaca. 

"Ayah." Suara itu datang dari ayah. Oruz masih terlalu kecil untuk mengenali ekspresi yang terganggu dan suara menegur itu. "Oruz, cukup dongengnya. Kau harus tidur."

"Ah, Ayah." Oruz merengut. "Ayah nggak asyik."  

"Oruz." 

Oruz sayup sayup mendengar suara perempuan. Semakin jelas ketika suara itu memanggil namanya. Suara Kiran.

"Bangun, Oruz." Kiran membungkuk diatas wajah kakaknya, sehingga rambut panjangnya tergerai di wajah Oruz. "Bukannya kau harusnya berangkat kerja...?"

"Kir...Kiran, rambutmu.." Oruz melepehkan helaian-helaian rambut dan bangkit duduk. "Aku masih cuti." 

Kiran memandanginya dengan heran, lalu beranjak merapikan kertas-kertas yang berserakan diatas kasur, dan beberapa berjatuhan kebawah ranjang. "Kenapa berantakan sekali, sih..? Ibu akan mengomel lho, kau sedang mengerjakan apa...? Sejak dari Cresen, kau jadi sibuk sendiri."

"Jangan...!" 

Kiran menengadah kaget mendengar suara keras Oruz dan genggaman tangan kakaknya agar ia berhenti melihat isi kertasnya. Oruz segera sadar suaranya lebih terdengar seperti bentakan, melihat wajah Kiran yang memucat. Adiknya ini sangat lembut, bahkan gebrakan pintu saja cukup membuatnya panik. 

"Maaf, aku bukannya membentakmu...tapi jangan, biar kubereskan sendiri, oke..?" Oruz turun dari ranjang dan memunguti sendiri kertas-kertasnya. Kiran berdiri memerhatikan dan Oruz berharap ia tidak menyimpulkan apa yang dituliskannya diatas kertas-kertas itu.

"Oruz, itu ikat rambutku." Suara protes Kiran terdengar. "Pantas saja kucari-cari tidak ada..."

"Duh, maaf ya, Kiran." Oruz menyadari ia tidur dengan rambut masih terikat, belakangan ini ia selalu jatuh tertidur larut malam setelah menuliskan rencana-rencana pencarian dan seringkali ketiduran dengan pakaian lengkap. 

"Oruz...!!!" suara cempreng Lala terdengar mendekat. "Pacarmu datang...!" 

"Oruz punya pacar...?" Kiran malah menyahuti seruan itu dengan serius. Oruz tidak memperhatikan, ia tergesa berdiri dan melangkah ke kamar mandi untuk mencuci muka, sementara sayup terdengar ibu menegur Lala untuk tidak berteriak sembarangan dan Kiran yang mengikutinya sambil bertanya-tanya. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SilvaniumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang