Takdir? Aku tak mengerti. Baru seminggu setelah masuk sekolah seperti biasa, aku jatuh sakit. Demam tinggi ini menggangguku, mengganggu aktifitasku, mengganggu sekolahku.
Semuanya langsung berubah. Aku tidak bisa menjalankan aktifitas seperti biasa. Jangankan untuk berjalan dan berangkat sekolah, memegang handphone dan memberi kabar untuk diapun, aku merasa kesulitan.
Itulah celakanya. Itulah yang membuat ku bingung, ini hanya kebetulan, atau memang sudah takdir.
***
Menurutnya, aku menghilang. Ditelan antahberantah tenggelam kedalam lautan; tidak ada kabar sejak tiga hari terakhir.Aku memang tidak sempat mengabari dia dan mengatakan bahwa aku jatuh sakit. Lagi-lagi karena tubuhku serasa tak punya tulang untuk bergerak. Untunglah, aku tidak sampai dirawat di rumah sakit. Hanya cukup mengkonsumsi obat dari dokter di poliklinik dekat rumahku.
Menghilangnya diriku ini, memang membuat sebuah tanda tanya besar untuknya. Hari kedua, dia datang ke kelas dan menanyakan keberadaanku ke Rendy. Lantas ia menjawab bahwa aku sedang sakit. Itupun kabar dari wali kelas, dan wali kelas dapat kabar dari orang tuaku.
Wajahnya langsung murung. Aku tidak melihatnya, hanya diceritakan oleh Rendy yang sepulang sekolah langsung menjenguk ku.
"Dia kemana? Kok gak ikut jenguk?" Tanyaku heran.
"Gak tau Ndre, tadi waktu balik sekolah, gua nyoba nyari dia. Niatnya pengen gua ajak buat jenguk Elo. Tapi gua gak ketemu sama dia. Gua cari ke kelas, juga udah kosong. Ketemu juga sama si jihan, kata dia, si Amira udah pulang." Jawab Rendy. Ada yang aneh dari nada bicaranya. Pada kalimat terakhir, nadanya seperti menyembunyikan sesuatu. Tapi tidak mau dikatakan.
"Dia pulang duluan? Sama siapa?" Selidik ku penasaran.
"Hmm.. Enggak tau, Ndre."
Aku tau dia bohong. Sudah ketebak. Mudah sekali mencirikan dia sedang berbohong. Biasanya matanya tak fokus pada satu arah saat berbicara. Seperti menyembunyikan sesuatu.
"Bohong." Ketusku, "Jawab yang jujur, gak ada rahasia-rahasiaan!" Ketusku sedikit kesal.
Rendy menarik nafas. Melirik ku yang masih lemas sedang duduk di sofa, "Dia pulang duluan. Entah, karena apa, tapi kata Jihan, dia pulang bareng sama cowok itu."
"Cowok itu? Apa maksudnya?"
"Adik kelasnya."
"Adik kelasnya?" Jantungku serasa dihujam.
"Iya, yang waktu itu pergi bareng ke kantin." Kata Rendy apa adanya.
"Yang waktu itu?" Aku tambah tersentak.
Hah. Aku tak bisa berkata-kata. Penjelasan Rendy sudah cukup membuat lidahku serasa patah.
Gak percaya.
Opini itu bahkan masih melekat dipikiran ini. Gak mungkin dia pulang bareng cowok lain disaat aku sedang sakit. Tapi, apakah Rendy bohong? Apakah Jihan juga berdusta?
Tidak mungkin!
Rendy teman baikku, Jihan teman Dekat Dia. Tidak mungkin salah satu diantara mereka berbohong hanya untuk membuat kabar yang mampu menusuk jantungku.
Kepada siapa aku harus percaya? Ah, sudahlah. Ku raih ponselku, mengetikan beberapa angka dan melakukan panggilan singkat. Tak usah ditanya aku menelpon siapa, yang jelas, menelpon dia!
"Silakan tinggalkan pesan." Balas suara dibalik telepon itu.
Sial! Aku mengutuk-ngutuk dalam hati, pasti hapenya sedang tidak aktif.
Tunggu, sedang tidak aktif atau sengaja tidak diaktifkan?
Panggilan itu kuulangi sekali lagi. Tapi kali ini, suaranya ku laudspeaker.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories
Teen FictionSemuanya tentang kenangan. Tempat ini, bintang ini, bulan ini, semuanya punya cerita masing-masing. Jelas, aku masih ingat dengan semua yang ada disini. Alasannya adalah, karena tempat ini mempunyai kenangan soal dia. Indanhya duduk sambil merenung...