Masih sepuluh meter dari bibir pantai. Tapi posisiku sudah berubah. Aku masih belum pernah melihat langsung ikan Pari. Tapi pecutan ekornya, sudah kurasakan perihnya. Terasa memar bagian hati. Akibat perpisahan itu.
Sudah cukup aku melirik penangkaran ikan pari itu. Sudah cukup kepedihan yang aku rasakan saat mengenangnya. Sekarang, aku ingin melihat sesuatu yang lain. Sesuatu yang mungkin bisa membuatku sedikit melupakan racun ekor pari itu.
Aku mundur beberapa langkah. Sekitar dua meter. Kini jarak ku sekitar dua belas meter dari bibir pantai. Jarak ku terhadapnya? Entahlah berapa puluh mil kilometer.
Malam semakin larut nampaknya. Disini, hampir berbeda dengan di rumah. Kalau di rumah semakin malam malah semakin sepi, disini sepertinya semakin ramai.
Banyak pasangan yang menjalin kasih atau sekumpulan rombongan keluarga yang bermain di tepi pantai ini. Aku tak heran, karena dua tahun lalu aku pun melakukannya.
Huh. Aku melirik kesekitar. Makin ramai. Dan entah kenapa aku jadi benci keramaian. Bukan, bukan keramaian yang aku benci. Tapi tempat yang ramai seperti ini.
Ya memang, semua tempat disini mengandung luka untukku. Bahkan keramaian ini.
***Berita putusnya hubunganku langsung menyebar cepat keseluruh antero sekolah. Bukan hal aneh memang, karena kata orang, Dia adalah sosok yang famaous di sekolah kami. Jadi ya, pasti ada banyak orang yanf mestinya bertanggungjawab atas menyebarnya berita ini. Tapi yasudahlah, buat apa ditutup-tutupi? Toh memang sudah putus, buat apa dibohong-bohongi? Buat apa berbohong sedangkan aku sendiri benci dengan yang namanya berbohong.
Tiga hari setelah hubunganku putus, aku masih merasakan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Kini, rasanya hari-hariku sepi. Setiap pagi, tak ada kabar darinya, dan setiap malam, tak ada kata manis yang dikirimkannya.
Aku masih meratapi kehilangan itu. Aku tau, ini adalah patah hati. Dan yang seharusnya orang patah hati lakukan pun, aku sudah tau.
Tapi tak semudah teori. Mengobati patah hati tak semudah teori yang berkata harus begitu dan begini. Semuanya terasa berat. Semuanya terasa sakit.
Setiap kali ku mengingatnya, yang ada hanya nafas sesak dari luka yang masih baru itu. Setiap kali ku mencoba melupakannya, yang ada hanya pertanyaan, 'kenapa kita harus berpisah?'
Jika ditanya apakah aku menyesali perpisahan itu? Aku tidak tau jawabannya.
Yang jelas, sekarang aku belum ikhlas dia pergi. Jika aku adalah tanah, mungkin sakitnya itu seperti sebuah pohon yang dicabut secara paksa hingga lepas. Yang membuat tanah itu porak-poranda karena akar cinta yang memang tumbuh begitu kuat.
Tapi apakah perpisahan ini salah? Aku pikir tidak! Tidak sama sekali. Karena percuma saja kalau dipertahankan. Cepat atau lambat perpisahan itu akan terjadi. Lah bagaimana tidak? Kalau Salah satu dari kita ada yang sudah tidak nyaman!
Tiga hari setelah putusnya hubunganku, aku menemukan keramaian yang aku benci. Pagi hari, hampir seluruh anak kelasku menggerubungi mejaku dan mengintrogasi.
Rata-rata pertanyaannya adalah soal apakah aku benar-benar putus? Dan apa alasannya?
Demi kerang ajaib. Mereka tidak punya hati! Mereka terus memaksaku untuk menceritakan semua kejadiannya. Dan itu berarti memaksaku untuk terus mengingat dia, bukan? Jadi sudah tau kenapa aku benci keramaian seperti ini? Karena mereka menggangguku! Memaksaku mengingat dia disaat aku berusaha untuk hidup tanpanya.
"Cukup!" Bentak ku saat semua pertanyaan itu sudah memenuhi isi otak ku.
Mereka langsung terdiam. Tercengang dengan bentakanku. Dan sekarang, tidak ada lagi yang mau bertanya. Semua menjadi hening seketika.
Dan, hanya Rendy lah yang menegerti. Sosok sahabat terbaikku. Yang mengerti segala kondisiku. Dia tau apa yang sedang aku rasakan. Dan kemudian membubarkan gerombolan itu sembari berkata, "Jangan ganggu dia dulu, nanti biar gue yang ceritain semuannya." Kata dia dengan tenang. "Yasudah, sekarang bubar dulu." Entah jimat apa yang dipakai, gerumulan itu langsung pergi tanpa meninggalkan pertanyaan lagi.
Dan dari situlah, aku mulai tidak suka dengan keramaian. Karena menurutku, itu hanya menganggu.
***Angin ini berhembus sepi. Daun yang jatuh itu berteriak perih. Aku bisa merasakannya. Sakitnya sebuah daun yang jatuh saat masih ingin bersama. Karena akupun merasakannya. Jatuh dan rapuh disaat sedang sayang-sayangnya.
Aku tidak keluar kelas. Hanya duduk diatas meja agar penglihatanku bisa melebihi jendela. Jendela yang membawaku kedalam alunan melankolis, dan melihat daun yang masih terus berguguran.
Sekejap aku memejamkan mata merunduk, dan kembali mengingatnya. Hanya kutukan-kutukanlah yang ada dipikiranku saat itu.
"Mana janjimu saat dibawah pohon kelapa? Dan kini, kamu pula yang pergi. Apakah sepahit itu manisnya sebuah janji?"
Tapi di tengah tundukanku, aku merasa bahuku disenggol pelan. Namun aku belum menoleh. Dua kali, baru aku menoleh. Ternyata mereka datang lagi; gerombolan yang tadi pagi kuusir. Mereka menyentuhku pelan.
"Ndre, gua udah denger semua ceritanya dari Rendy. Sorry, kalo gua ganggu, tapi gua disini mau bantu Lo." Kata salah satu dari mereka. Ujo namanya.
"Bantu? Bantu apa? Bantuin gue sembuh dari patah hati? Ah elah, paling yang keluar cuma kata-kata puitis Lo doang. Gak guna Jo, gak guna.." Gerutuku dalam hati. Entahlah, aku menjadi benci semua orang yang ingin mencampuri urusanku. Padahal, mereka adalah temanku sendiri.
"Maksudnya, Jo?" Kataku sedikit malas.
"Semua itu gara-gara adek kelas itu kan? Tenang, kalo lo minta buat dikasih pelajaran, biar kita yang turun. Enak aja, masih baru disini udah belagak gitu." Jawab Ujo penuh amarah. Tapi amarahnya untuk membantuku.
Aku tertawa. Statement macam apa itu? Hendak memukuli orang yang tidak salah? Hah. Bodoh.
"Gak perlu, Jo. Makasih Lho, tapi itu gak perlu. Dia gak salah. emang hubungan gua aja yang udah seharusnya pisah. Cepat atau lambat, kalo kondisinya gini, pasti bakal putus juga.
"Tapi Jo..." Ucapannya terputus.
"Gak perlu. Oh ya, Sorry. Gua hargain kalian sebagai temen gua, tapi tolong, jangan campurin urusan gua dulu. Gua lagi pengen sendiri."
Syukurlah, mereka mengerti.
***Dan dari patah hati yang kualami, aku belajar bagaimana seharusnya menghadapi hal demikian. Mau sedih, nangis, bahkan mengurung diri, gapapa. Itu hal yang wajar.
Mau nangis sampe lupa caranya nangis, gak masalah. Karena siapa tau, luka itu emang bener-bener parah.
Tapi satu yang harus gue lakuin. Gue boleh melakukan hal-hal itu untuk meluapkan patah hati ini. Namun jangan lupa,
Gua juga berhak bahagia. Gua juga berhak bahagia walau tidak bersamanya. Dan ini, cuma masalah waktu, entah sampai kapan Gue bisa bahagia lagi. Bahagia walau gak bersamanya, bahagia dengan lembaran baru dalam hidup ini.
Tapi untuk saat ini, sungguh, keramaian ini menggangguku!
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories
Teen FictionSemuanya tentang kenangan. Tempat ini, bintang ini, bulan ini, semuanya punya cerita masing-masing. Jelas, aku masih ingat dengan semua yang ada disini. Alasannya adalah, karena tempat ini mempunyai kenangan soal dia. Indanhya duduk sambil merenung...