9. Pantai Tak Melulu Soal Laut (1)

84 8 3
                                    

Apa yang kutulis hari ini hanya sekedar keluhan hati yang telah lelah menghadapimu bertubi-tubi.
***
Kenyataannya adalah, aku memang tidak bisa memaksa air yang pasang menjadi surut dengan tiba-tiba. Begitu pula dengan perasaan ini, aku tidak bisa membenci disaat hati memang sedang klimaks pada rasa sayang. Tapi apa boleh buat, diantara dari kita memang sudah saling meninggalkan bukan? Entah kau yang meninggalkan ku, atau aku yang tak bisa menahanmu. Tapi yasudahlah, aku hanya bisa meratapinya dalam-dalam. Meratapi keadaan bintang yang tinggal sedikit, dan menikmati rembulan yang kian habis termakan awan.

Aku berfikir, bahwa saat ini aku mencintaimu seperti desiran ombak. Yang mana disetiap kali aku pergi, selalu ada hal yang mendorongku untuk kembali. Begitulah kata yang terlahir dalam benakku, untuk seseorang yang belum bisa move on.

Tapi, aku kan ingin move on? Jadi aku harus mengubah persepsiku tentang cinta yang seperti ombak itu.

Mungkin saja yang tepat kali ini adalah, aku mencintaimu seperti desiran ombak. Yang mana disaat aku dihempaskan, aku harus rela dan mengikuti gelombang untuk menjauh dari tepian pantai.

Tepian yang penuh dengan pasir putih itu.

Tepian yang penuh dengan kisah bahagia itu.

Tepian yang penuh dengan kegembiraan itu.

Tepian yang, ah sejuta kenangan tersimpan disitu.
***
Aku masih malas untuk berdiri. Entah kenapa aku jadi berkeinginan untuk menjadi atlit lempar batu krikil. Rasanya, setiap batu yang kuhempaskan, akan menggugurkan setiap kenangan yang kembali mencuat.

Aku pun sudah tidak menghitung berapa ratus krikil yang sudah kuhempaskan. Yang jelas, aku suka ketika krikil yang kuhempaskan itu tidak kembali lagi.

Yap, tidak seperti dia, yang sudah menghempaskanku namun dengan enaknya kembali.

Tanpa sadar, aku sudah memerhatikan banyak hal yang ada disini. Mulai dari kursi kayu, kapal nelayan, pohon kelapa, lampu, dan krikil yang terselip pada pasir putih. Hanya sedikit sekali aku membahas tentang air laut. Padahal, bukannya yang melengkapi sebuah pulau itu adalah air laut? Aku pun tersadar, bahwa pulau memang tidak lengkap dengan air laut. Tapi, ketika kita datang ke pulau, yang kita perhatikan tidak melulu soal air lautnya. Ada hal lain seperti yang kusebutkan.

Apakah ini artinya pantai tidak melulu soal air laut?

Haha, lucu sekali aku ini. Baru menyadari hal itu ketika cerita ini sudah sampai bab sembilan. Aku pun menengadah kelangit, meratapi deru kalelawar yang membelah langit. Aku menarik nafas dalam-dalam, dan memejamkan mata.

"Ternyata salah jika persepsiku tentang pantai itu hanya air laut."
Huh.
***

Sudah banyak yang kutinggalkan semenjak aku berpacaran dengan Amira. Teman-teman ku, sahabat-sahabatku, teman kecilku, dan masih banyak lagi. Memang aku akui, aku ini sedikit ceroboh. Pernah Meninggalkan teman-teman lama, dan sibuk mengurusi Amira. Padahal, sebelum ada Amira, mereka lah yang menjadi warna dalam hari-hariku. Aku jadi berfikir, bagaimana dahsyatnya kehadiran wanita yang bisa membuat seseorang meninggalkan teman lamanya. Terdengarnya memang anarkis. Tapi begitulah kenyataannya. Dimana saat sudah punya pacar, teman dinomorduakan, persahabatanpun dikesampingkan. Itu memang bukan hal yang salah, karena itu adalah hal yang lumrah.

Tapi apakah kembali mencari keseruan dengan teman lama saat sudah ditinggal pacar juga hal yang lumrah?

Pertanyaan itulah yang membuatku tersudut sepi. Yang terus meratapi hari-hari yang tak berwarna lagi, dan setiap hari, selalu seperti ini; menunggu malam berganti sembari menenggelamkan kepala dibantal.

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang