Bab 7: Disana, Cahaya Lampunya seperti Lebih Baik

39 5 3
                                    

Sebenarnya jarakku dari bibir pantai tidak sejauh dua belas meter. Aku hanya menduga-duga saja dari tadi. Habisnya, di pulau romantis seperti ini, siapa peduli dengan jarak koordinat? Mereka hanya peduli pada kesenangannya masing-masing. Entah kesenangan apa yang mereka cari, aku juga tidak paham betul. Tapi yang aku pernah rasakan, berdua di tepi malam melihat senja berganti, itu memang tidak ada gantinya. Apalagi sampai menikmati bulan malam bersama, ah. Jadi sakit, kan aku mengingatnya. Hahaha.

Saat malam seperti ini, pulau ini terasa sekali bedanya. Gelap. Ya emang malam itu gelap!

Tapi bukan itu, gelap yang kumaksud disini adalah jarangnya penerangan. Jadi, banyak sekali tempat gelap di sebelah sana. Aku juga tidak paham betul mengapa demikian. Entah karena kondisi alam, atau memang sengaja dijadikan tempat untuk sepasang kekasih bersandar di tengah gelap itu? Hah. Sudahlah. Kalaupun aku cari tau sekarang, yang ada aku dicurigai sebagai orang gila karena ke tempat itu tidak membawa kekasih.

Tapi bicara soal tempat gelap itu, aku belum pernah kesana. Yang aku ingat, setelah selesai bermain air dua tahun lalu, aku ingin mengajaknya kesana. Tapi ia menolak dengan alasan terlalu gelap. Lagipula, dia merasa tidak enak dengan orang tuanya.

Oh iya, lupa kuberitahu, mungkin kalian merasa bingung kenapa aku boleh mengajak anak gadis pergi ke pulau kan? Jawabannnya adalah karena berlibur kesini adalah kado ulang tahun yang diberikan oleh orang tuanya. Dan kebetulan, aku diajak juga. Jadi ya, sebenarnya aku tidak berangkat berdua, tapi ikut rombongan orang tuanya dia. Hahaha.

Aku menggenggam tangannya sembari membantunya keluar dari air. "Jadi, mau ke tempat itu gak?" Tanyaku sembari menunjuk area sudut sana.

"Hm, enggak deh, kita cari tempat lain aja." Jawabnya tanpa berfikir.

"Kemana?"

Kali ini dia nampak berfikir. Melirik keadaan sekitar sembari menaruh telunjuknya di depan dagu. "Oh iya aku tau!" Katanya sembari menjentikan jari ke atas. "Disana, tidak terlalu gelap, dan cahaya lampunya lebih baik!"

Cahaya yang lebih baik? Tak apalah, aku hanya mengikut. Dia memimpin, dan aku mengekor. Dan Saat sampai tempat yang dimaksud, aku hanya berdehem.

"Nampaknya cahanyanya juga tidak terlalu baik."
***
Amira POV

Hari ini, jujur aku juga ngerasa hal yang aneh. Bahkan, bukan cuma hari ini. Tapi beberapa hari belakangan ini. Maksudnya, hari-hari setelah kita putus.

Iya sih, aku juga tau kalo hubungan ini gak bakal bisa dipertahanin. Karena kita udah saling gak nyaman. Kita udah sering cari-cari masalah, kita malah sering memperbesar masalah yang kecil.

Aku ngerasa dia berubah. Udah gak kayak dulu lagi. Tapi, dia juga ngerasa kalo aku berubah. Dan, jadi bingung, siapa sebenarnya yang berubah.

Belakangan sebelum putus, hubungan kita terasa hambar. Dan sialnya, disaat seperti ini Rehan datang sebagai orang baru dalam hidupku. Entah apa makanan sehari-harinya, dia datang dengan penuh kharismatik. Sekejap tempat Andre dihatiku pun mulai tersingkir.

Semua berawal dari pertama kali kita saling sapa, tepatnya saat kami ke kantin waktu itu. Kami mengobrol banyak dan aku semakin luluh dibuatnya. Ya, aku tau disaat seperti ini memang akulah yang ke geeran menanggapinya. Tapi itulah yang ku rasakan. Kenyamanan dengan orang baru saat Andre sudah mulai membosankan.

Malam harinya, dia mengirimkan pesan lewat line untuk menyapa. Ya awalnya sih dia bertanya soal keperluan yang harus dibawa esok hari. Tapi, semakin lama topik obrolan kami semakin tidak jelas. Dan bodohnya, aku juga meladeninya. Obrolan kami menjadi tidak karuan. Membahas apapun yang ingin kami bahas.

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang