11. Burung Camar Tepi Pantai

89 2 0
                                    

00.45

Sudah terlalu larut untuk sekedar bercengkrama di pinggir pantai dengan kisah semrawut masa lalu. Aku hendak berdiri. Menghentikan aktifitasku yang sedari tadi menjadi atlit lempar batu krikil. Sudahlah, beratus-ratus krikil aku lemparkan, lukanya tetap sama saja. Sakitnya tetap sama saja. Pedihnya tetap sama saja. Lagi pula, kalau aku meneruskan menjadi atlit lempar batu krikil, sudah pasti tidak punya masa depan. Lebih baik aku mengambil kertas dan menuliskan semua kisah ini, kan? Siapa tahu bisa jadi novel dan aku jadi penulis terkenal nantinya, hehe.

***

Aku berdiri sembari sesekali mengepakan celana yang sedikit kotor dengan pasir pantai. Aku mengulet untuk meregangkan otot-ototku yang sedari tadi kaku karena mengulik kisah-kisah itu. Sesekali aku menatap rembulan yang semakin garang sinarnya. Tak lupa juga, penangkaran ikan pari dan kursi kayu yang kulihat seolah dengan lembut kusapa dimalam ini.

Aku mengerang sembari tertawa.

Haha, bodohnya aku. Selalu mengulik masa lalu untuk mengenang kekasih yang telah gugur. Selalu mencari rasa sakit saat sudah seharusnya luka itu sembuh. Selalu mengingatnya disaat sudah waktunya untuk melupakan.

Waktunya untuk tidur. Sudah terlalu larut untuk melanjutkan kenangan ini. Aku yakin juga, langit sudah bosan dengan semua ceritaku. Setiap setahun sekali, aku selalu kesini, dan selalu menceritakan hal yang sama juga. Semuanya pasti bosan. Langit, bulan, bintang, Semuanya pasti menertawakan kebodohanku.

Aku melangkah ke rumah penginapan. Di belakang sana, cahaya bulan masih mengikuti. Tidak jauh dari sana juga, kenangan masih siap menghampiri.

Bodo amat.

Sekali lagi aku menengok kebibir pantai. Mendengarkan sebentar deruan ombak yang menghantam karang. Sebelum akhirnya, aku memutar gagang pintu dan pergi ke kamar untuk meneggelamkan kepala ini sedalam-dalamnya. Mungkin esok, hari akan cerah. Dan aku bisa melihat sekumpulan burung camar yang memaksa ikan untuk keluar dari sejuknya lautan.

***

Dari pertemuan semalam, aku seolah mendapatkan angin segar untuk melanjutkan perjuangan melupakannya. Adit pernah mengalaminya. Pasti juga, dia sudah hafal rasanya. Ya meskipun aku sendiri tidak tau bagaimana cerita asmaranya. Mungkin akan aku tanyakan besok. Sekarang sudah terlalu larut. Lagian juga, mungkin ini cerita pribadi sesorang yang tak layak untuk diubar di depan umum.

Kopi kami sudah habis. Hanya menyisakan ampas-ampasnya saja. Itu tandanya, malam kami juga akan berakhir. Sudah waktunya kami istirahat untuk mempersiapkan kerasnya hari esok. Aku pun turun dari pos dan langsung memberikan salam perpisahan kepada mereka. Mereka membalas dengan tatapan 'semoga akan ada malam seperti ini lagi.'

Aku juga berharap seperti itu, sih. Selamat malam, teman.

***

Senja berganti fajar dipinggiran pantai.

Esoknya, aku memilih untuk sarapan dibawah matahari yang semangat untuk terbit. Lagi-lagi tempatnya memang dibibir pantai. Tempat dimana aku melakukan tujuh puluh persen kegiatanku di pulau ini.

Alam negeri ini memang begitu indah dan kaya. Mau pagi ataupun malam hari, pantai ini tetap indah dipandang mata. Hangatnya mentari seolah menyeruak masuk untuk menghangatkan bekunya hati ini. Desiran ombak yang damai membuat tentram suasana pagi di bibir pantai.

Hai kursi.

Hai perahu.

Hai pohon kelapa.

Hai penangkaran ikan pari.

Hai ombak.

Aku menyapa tanpa suara. Hanya menatapnya untuk memastikan mereka tetap berada disana. Untuk memastikan bahwa kenangan miliku masih tersimpan rapih disana. Karena siapa tahu, tahun depan, aku kesini lagi untuk menyapa mereka.

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang