Bab 8: Pasang Atau Surut, Semua Ada Waktunya

72 4 3
                                    

"Memilih secangkir kopi atau segelas coklat panas saat hujan adalah pilihan yang sulit. Sesulit memutuskan untuk berhenti atau tetap mencintaimu."

***
Kalian mau tau rasanya merenung sendirian di tepi pantai seperti ini? Rasanya itu tergantung apa yang direnungkan. Kalau merenungkan hal-hal yang indah, pasti rasanya seperti menyeruput cappucino yang masih panas. Tapi kalau merenungkan hal-hal yang menyakitkan sepertiku, rasanya tak lebih pahit dari kopi tubruk. Ya, kurang lebih seperti itu rasanya.

Aku memutuskan untuk kembali duduk diatas pasir putih. Beberapa kali aku mengggenggam asal pasir putih yang ada disekitarku. Ini dilakukan diluar kesadaranku. Mungkin ini hanya gerak refleks. Kalau dapat pasir putih, aku hempaskan lagi. Tapi kalau dapat batu kerikil, aku tak sungkan menimpuknya ke laut. Aku mencoba melempar batu itu sejauh-jauhnya. Seperti halnya aku ingin melemparkan kenangan ini. Iya, Sejauh-jauhnya.

Beberapa kali timpukanku berhasil menyentuh air. Menimbulkan suara yang khas dari krikil yang tenggelam. Tapi, banyak juga kerikil ku yang hanya mendarat di pasir. Lagipula, jarak dua belas meter bukan jarak yang dekat bukan? Aku rasa itu hal yang wajar.

Aku seperti mengingat sesuatu lagi. Sesuatu yang sebenarnya hampir hilang dalam ingatanku. Aku teringat saat kerikil ke 27 ku menembus air. Aku mengingat sesuatu...
Ya, sesuatu..

Tentang air. Atau lebih tepatnya Pasang surut air....
***

Terima kasih ya, karena kamu sudah berhasil membuatku terjaga malam ini. Kau telah membuat malamku tersita dengan lamunan liar ku ini. Semua itu, karena kamu. Karena SMS yang malam ini baru kau kirim.

Sudah berminggu-minggu handphoneku dipenuhi jaring laba-laba. Itu karena tidak ada satupun chat yang datang padaku, dan malam ini, kau rusak sarang laba-laba berdebu itu.

Kau datang seenaknya tanpa permisi. Tanpa mengetuk pintu hati yang masih terluka ini. Kau datang seenaknya, tanpa menyiram salam pada hati kering ini. Dan dengan ringan kaki pula kau bawa kata-kata rindu itu kembali.

Kau tau? Untuk saat ini, kata rindumu bukanlah air yang mampu membasahi keringnya hati ini. Karena bagiku, kata-kata itu hanya seperti kobaran api. Yang dengan mudahnya membakar sesuatu yang kering.

Kau hebat. Iya kau hebat! Sudah membuat kering hati ini, kau bakar pula. Apakah seperti itu kau memperlakukan sebuah hati tempat dulu kau tinggal?

Aku bukannya marah kau katakan rindu itu padaku. Tidak, aku tidak marah sama sekali.

Tapi aku kecewa.

Anak kecil juga tau kan, kalau marah dengan kecewa itu beda? Hehe.

Kau tau, saat ini aku sedang bersusah payah untuk pergi dari dirimu. Aku sedang mencoba untuk mencabut paksa akar cinta yang pernah tertanam dan tumbuh. Aku sedang berusaha melakukan itu, tapi kau rusak dengan kata-kata rindu yang begitu menyeruak kedalam hatiku.

Tak perlu aku jelaskan lagi kan seperti apa rasanya? Yang jelas, aku mencoba menjauh tapi kamu yang kembali datang. Kamu yang memutuskan tapi kamu juga yang pertama kali berkata rindu. Aku bingung dengan pola pikirmu. Kau pikir, hati ini seperti terminal yang bisa kau singgahi dan tinggalkan seenak hati. Yang bisa kau datangi seperti pengamen sore dan bernyanyi dengan lagu-lagu rindu? Sedangkan sebelumnya kau sudah porak-porandakan hati (terminal) layaknya preman yang tidak dapat uang jatah? Seperti itulah kau anggap hati ini yang tak lebih dari sebuah terminal?

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang