Chapter 10 : Surprise

599 85 2
                                    


Setelah memarkir sepeda motor kesayanganku di garasi, aku segera berlari ke dapur dengan langkah panjang. Udara panas sepanjang siang ini membuatku membutuhkan sebotol air dingin, segera.
Aku membuka kulkas, meraih sebotol air minum, menuangkannya ke gelas, lalu menghabiskannya dengan hanya sekali teguk!

“Astaga, pelan-pelan, sayang. Masak anak perempuan cara minumnya arogan begitu?”
Eomma muncul, entah dari mana. Aku menatapnya, lalu nyengir.
“Haus sekali, Eomma,” jawabku sambil meletakkan gelas di tanganku ke atas kulkas.
Eomma cuma geleng-gelang kepala.
“O iya, eomma punya kejutan untukmu,” ucapnya.
Kedua mataku melebar.
“Kejutan?”
Eomma mengangguk.
“Apa? Aku ‘kan tidak sedang ulang tahun,”
Eomma tersenyum.
“Lihat saja di kamarmu,”
Aku bersorak girang lalu berlari riang ke kamarku. Aku suka kejutan!

Kira-kira apa kejutannya? Sepatu baru? Tas baru? Novel baru? Aduh, Eomma membuat orang penasaran saja.

Aku membuka kamarku dengan buru-buru dan menyeruak dengan antusias. Kedua bola mataku segera melakukan scanning ke seluruh penjuru kamar dan ...
Seorang pemuda ganteng tengah duduk dengan santai di atas tempat tidurku sambil membolak-balik majalah olah ragaku!

“Mingyu?” aku nyaris  memekik.
Dia mendongak, menatapku, lalu tersenyum.
“Kejutan,” jawabnya.
Aku melongo.
“Kejutan? Maksud eomma yang disebut kejutan itu ... kau?” tanyaku lagi.
Mingyu mengangguk. Ia bangkit, menaruh majalahku kembali di rak lalu mendekatiku.
“Memang kau tak terkejut?” ia bertanya.
Aku mengerjap.
“Kenapa kau ada di sini?” tanyaku.
“Aku bahkan kembali tinggal di rumah sebelah,” Mingyu menunjuk ke luar jendela, ke arah rumah di sebelah rumahku.

“Hee?” aku makin melongo. Sumpah, ini tiba-tiba sekali.
“Pelukan dulu dong. Aku rindu sekali denganmu,” Mingyu merentangkan tangannya dan sebelum aku sempat berkata-kata ia memelukku erat.
“Senang sekali akhirnya bisa berkumpul denganmu lagi. You’re really my best friend,” ucapnya, di telingaku.

“Berkumpul ....  lagi?” aku mengulang kalimat tersebut. Perlahan aku menarik diri dari pelukannya lalu menyuruhnya duduk kembali di tempat tidurku.
“Cepat cerita apa yang terjadi atau aku terpaksa menendang bokongmu,” perintahku. Mingyu meringis.
“Woa, tak sabaran sekali ya?” omelnya.
“Cepat!” teriakku seraya meletakkan tas ranselku ke meja.
Mingyu menatapku lalu terkekeh.

“Seperti yang sudah aku bilang beberapa waktu yang lalu, ayahku kembali ditugaskan di Korea dan kami sekeluarga ikut kembali lagi ke sini. Dan aku resmi pindah ke sekolahmu, mulai besok,” jawabnya.
Aku ternganga.
“Kita satu sekolah?!!” teriakku. Pemuda itu mengangguk.
“Lalu ... rumah sebelah? Bukankah ayahmu sudah menjualnya?”
Mingyu menggeleng.
“Rumah itu hanya disewakan. Karena sewanya sudah habis, ya kami tempati lagi. So, sekarang kita jadi tetangga lagi,” Mingyu berucap dengan antusias.
Aku manggut-manggut.

“Kenapa kau seperti tak bahagia, Ara?”
Aku tertawa.
“Bahagia. Aku hanya merasa kepanasan saja. Oh iya, selamat ya karena kau dan Ye Seul resmi berpacaran,” ucapku.
Mingyu tersenyum ceria.
“Gomawo, ini semua juga berkat dirimu ‘kan?”
“Sudah bertemu dengannya?”
Mingyu mengangguk. Dan aku sempat kecewa. Aku kira, akulah orang pertama yang akan menerima kejutan dengan kepulangannya. Tapi..
Ya iyalah Mingyu bertemu dulu dengan Ye Seul, ‘kan dia pacarnya? Kalau aku? Well, aku hanyalah sahabat...

“Kemarin sore aku berkunjung ke rumahnya,” jawabnya.
Aku melotot kesal.
“Kenapa dia tak cerita kalau kau sudah kembali ke Korea?”
Mingyu tertawa.
“Jangan marah. Aku yang melarangnya memberitahumu karena aku yang ingin memberi kejutan sendiri padamu,” ia membela. Aku memutar bola mataku dengan kesal.
“Jangan marah, Oke?” pemuda itu mencubit pipiku dengan gemas. Aku meringis.

“Iya, iya, aku tak marah lagi,” teriakku. Mingyu terkekeh.
“Jadiii... kau satu kelas dengan Ye Seul?” tanyaku kemudian setelah Mingyu melepaskan cubitannya. Ia mengangguk.
Tentu saja Mingyu satu kelas dengan Ye Seul. Ye Seul pasti sudah mengatur untuk bisa satu kelas dengannya. Ah, tiba-tiba saja aku kembali kecewa...

Mingyu bangkit.
“Sampai ketemu besok ya,” ia mengacak-acak rambutku lalu beranjak meninggalkan kamarku sebelum aku sempat berkata-kata lagi.

***

Untuk pertama kalinya, hari itu aku ke sekolah dengan tak bersemangat. Hanya dengan memikirkan bahwa aku satu sekolah dengan Mingyu, lalu ia satu kelas dengan Ye Seul, berpacaran dengannya, sebangku dengannya, bermesraan dengannya...
Dadaku sesak.
Heol, aku pasti sahabat yang jahat karena mencintai pacar teman sendiri...

“Tumben telat? Biasanya ikut membantu pak satpam membuka gerbang ‘kan? Hehe ...” Dongjin, sahabat satu kelasku, menyapaku ketika kami berpapasan di depan pintu gerbang. 
“Aku bangun kesiangan.” Jawabku asal. Padahal yang sebenarnya adalah, aku sengaja berangkat lebih siang. Aku hanya ingin menghindari Ye Seul dan Mingyu, karena aku tahu mereka berangkat ke sekolah bersama-sama.

Ketika memasuki halaman sekolah, aku merasakan situasi yang ‘berbeda’. Situasi ini sama persis ketika sekolah kami kedatangan guru magang baru beberapa waktu yang lalu, Junghan Seonsaengnim, yang mempunyai tingkat kegantengan di atas rata-rata.

Para gadis heboh dan para pemuda hanya melongo menyaksikan kehebohan mereka.
“Ada apa?” tanya Donjin sambil melihat ke sekeliling tanpa menghentikan langkah kakinya, begitu pula denganku. “Aku juga tak tahu.” Jawabku.

“Ada murid baru. Ganteng sekali.” Ja Eun, yang tiba-tiba saja sudah berada di belakang kami, menyahut.
Dongjin meringis, jijik.
“Ganteng? Ew.... Paling juga lebih ganteng aku,” ucapnya dengan nada kesal.

Tentu saja dia kesal. Selama ini dia ‘kan terkenal sebagai pemuda sekaligus anggota tim basket paling keren di sekolah kami. Dan gelarnya sebagai murid terkeren sempat  pindah ke tangan Jeonghan seonsaengnim ketika beliau datang ke sini.
Tapi setelah anak-anak tahu kalau Jeonghan seonsaengnim sudah menikah, gelar pemuda terkeren, kembali lagi ke tangan Dongjin.

Nah sekarang, tentu dia khawatir kalau gelar terkeren akan terbang dari tangannya lagi karena ada murid baru yang – kata Ja Eun – ganteng sekali...

Aku tersenyum tipis. Murid baru itu pasti Mingyu. Dan menurutku, Mingyu memang lebih ganteng dari Dongjin!
“Sepertinya kau harus siap-siap lagi kalau gelar pemuda terkeren akan pindah ke tangan - murid baru – itu,” ucapku.
“Huh, itu tidak mungkin,” jawabnya kesal seraya menyisir rambut hitamnya dengan jemarinya. Jujur, Dongjin memang keren. Tapi kalau dibanding Mingyu, dia kalah telak. Haha ...
“Ara benar kok. Kata anak-anak yang lain, murid baru itu memang ganteng sekali!” Ja Eun kembali menambahkan. Aku ngakak ketika melihat ekpresi Dongjin yang makin jelalatan karena kesal.

Kami berjalan beriringan menuju kelas kami sambil mendengarkan Ja Eun mengoceh tentang – betapa gantengnya murid baru itu - tentunya berdasarkan cerita anak-anak yang lain karena Ja Eun sendiri juga belum melihatnya secara langsung.

Langkah kami menuju kelas terhenti ketika kami melihat sekumpulan kaum hawa tengah bergerombol di depan kelas kami. Dengan jejeritan mereka mengerubungi kelas kami bak lalat. Melongok ke dalam kelas lewat pintu dan juga jendela. Astaga ...
“Ada apa ini?” Aku dan Dongjin bertanya hampir bersamaan.
“Ya tentu saja mereka ingin tahu murid baru itu,” jawab Ja Eun.
“Heh?” Aku dan Dongjin menoleh ke arah gadis itu, bersamaan.
“Iya, murid baru itu ada di kelas kita, Ara,” Ja Eun berucap dengan mata berbinar.
Aku mendelik.
Apa Mingyu membohongiku? Bukannya dia bilang dia ada di kelasnya Ye Seul?

Aku memutar kepalaku dan ganti menatap ke arah kelas Ye Seul yang berada beberapa blok dari kelasku.
Sama.
Kelas itu juga sama ramainya seperti kelasku. Beberapa anak perempuan nampak bergerombol dengan antusias mengerubungi kelas tersebut. Hanya saja, tak sebanyak yang sedang bergerombol di depan kelasku.

“Bukankah murid baru itu ada dikelasnya Ye Seul?” aku spontan menunjuk kelasnya Ye Seul dengan jari telunjukku.
“Iya, satunya ada di kelasnya Ye Seul. Dan satunya lagi ada di kelas kita, Ara! Tapi kata anak-anak, yang ada di kelas kita lebih kereeeenn....” Ja Eun kembali memberikan penjabaran dengan gaya antusias seperti orang yang hendak nonton konser musik kesukaannya.
Aku melongo.
“Memang murid barunya ada berapa?” tanyaku.
“Dua,” Ja Eun menjawab cepat.

Aku dan Dongjin berpandangan. Pemuda itu nampak pucat.
“Mati aku!” teriaknya.

***

to be continued

DESTINY [Sudah Terbit] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang