Chapter 12 : Wonwoo is back!

699 86 1
                                    

Wonwoo is back!
Ya, dia kembali ... gentayangan.

Aku mondar-mandir dengan kesal di kamarku sementara Wonwoo duduk manis di kursi di depan meja belajarku.
“Ara ...” Pemuda itu memanggilku lembut. Suaranya terdengar adem dan menenangkan. Hingga mau tak mau, amarah dalam diriku berkurang.

Aku berhenti mondar-mandir dan menatapnya.Ya ampun, nih hantu makin cakep saja deh sejak terakhir kali aku melihatnya di Rumah Sakit.
“Maaf,” ucap Wonwoo lagi dengan tatapan tulus.
“Jadi... sudah berapa lama kau mengikuti aku?” tanyaku.
“Seminggu,”
Aku sewot.
“Jadi selama seminggu ini kau ... ‘berterbangan’ di sekelilingku?”
Wonwoo terkekeh.
“Aku tak terbang, Ara. Aku cuma mondar-mandir  di sekelilingmu,” jawabnya. Aku makin sewot.
“Setiap hari?”
“Setiap waktu,” Ia menambahkan.
“Termasuk di rumahku? Di kamarku?” Aku kembali merasakan amarahku.
“Di setiap tempat,”
“What?”
“Ups, jangan marah. Maksudku, tidak pada saat kau mandi dan ganti baju. Percayalah padaku. Aku selalu gentayangan di tempat lain kalau kau sedang mandi ataupun ganti baju,” ia menyeringai.
Aku melotot ke arahnya.
“Apa kau juga tidur di kamarku?”
Wonwoo kembali tertawa lirih.
“Hantu tak tidur,” jawabnya.
“Tapi kau di kamarku ‘kan?”
Wonwoo mengangkat bahu.
“Well, hanya rebahan saja kalau kau lagi tidur. Yah, hitung-hitung sambil menjagamu,” pemuda itu nyengir, manis.
“Di mana? bukan di tempat tidurku ‘kan?” tanyaku lagi.
“Di situ,” Ia menunjuk ke arah sofa dekat jendela, tepat di sisi kanan tempat tidurku.
Aku melongo.

Benar-benar tak dapat dipercaya. Pantas saja seminggu ini aku merasakan perasaan aneh di sekelilingku. Ternyata selama seminggu ini aku ditemani hantu gentayangan ini. Mengikutiku kemana saja, bahkan tidur di dalam kamarku.
Astaga, aku sekamar dengan lelaki? Dia bahkan tidur di sampingku?
Oke, dia memang hantu. Tapi tetap saja memalukan kalau dia melihatku mendengkur dan ngiler...

“Kalaubegitu kenapa kau baru menampakkan diri sekarang?” tanyaku lagi.
“Aku takut,” jawabnya.
“Memang hantu punya rasa takut?” tanyaku kesal.
“Maksudku, aku takut kalau kau lupa padaku. Jelas-jelas aku sudah mengucapkan salam perpisahan padamu. Nah, kalau tiba-tiba saja aku muncul lagi, aku takut kau tak ingat lagi padaku,”
Aku mendesah lalu duduk di tempat tidur.
Aku tak pernah melupakanmu, Wonwoo. Ucapku dalam hati.

Kami bertatapan, lumayan lama.
“Jadi, sepertinya bukan aku saja ‘kan yang bisa melihatmu?” Aku kembali membuka suara.
Ia mengangguk.
“Aku juga tak tahu kenapa temanmu itu bisa melihatku,” jawabnya.
“Vernon. Namanya Vernon,” ucapku.  “Apa yang kalian bicarakan?” tanyaku lagi.
Wonwoo mengangkat bahu.
“Tidak banyak. Dia hanya bertanya kenapa aku mengikutimu, dan aku bilang saja itu bukan urusannya,”
Aku manggut-manggut.
“Pantas saja dia mengataimu ‘sialan’,” desisku.
“Dia berbeda, Ara. Aku tak tahu bagaimana menjelaskannya. Tapi, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Dan jujur, aku tak tahu alasannya, aku tak suka dengannya,” Ia menambahkan dengan lebih serius. Aku terdiam.

Ya, aku juga merasa bahwa Vernon berbeda. Ada sesuatu dalam dirinya. Sesuatu yang ... misterius. Aku memang sempat ge-er karena dalam pertemuan kami yang pertama, ia senantiasa menatapku.
Tapi ternyata, yang ia tatap bukan aku, melainkan Wonwoo.
Jika dia bisa melihat hantu, dia pasti punya ‘kemampuan’ lain.
Tapi, aku tidak punya ‘kemampuan’ lain toh bisa melihat Wonwoo. Jadi? Ada apa dengan Vernon?

“Ada sesuatu yang tak beres?” tanyaku lagi. Wonwoo mengernyit.
“Maksudnya?”
“Jenasahmu sudah ditemukan dan dimakamkan dengan layak. Kau bilang, kau sudah bisa pergi dengan tenang. Jadi, kenapa kau masih gentayangan?” tanyaku lagi.
Wonwoo terdiam sesaat.
“Ternyata aku meninggal dengan tak wajar, Ara. Itu yang membuatku gentayangan. Aku tak akan bisa pergi dengan tenang sebelum aku tahu apa yang menyebabkan kematianku,” ia menjawab lirih, tapi serius.
“Maksudmu kau tak ingat bagaimana kau mati?”
Wonwoo menggeleng.
“Bukannya polisi sudah mengatakan kalau kau tersesat, terjatuh ke jurang dan akhirnya meninggal?” tanyaku lagi.
Wonwoo kembali menggeleng.
“Sepertinya tidak begitu, Ara,”
“Tidak begitu? Maksudnya kau benar-benar tak bisa mengingatnya?”
Lagi-lagi pemuda itu menggeleng.
“Memangnya hantu bisa amnesia ya?”
Wonwoo tak menjawab.
“Bantu aku, Ara. Bantu aku mencari tahu apa yang menyebabkan kematianku agar aku bisa pergi dengan tenang,”
Aku mengernyit.
“Bagaimana caranya?”
“Entahlah,” pemuda itu mendesah, bingung. “Mungkin kau bisa mulai dengan mencari tahu siapa saja yang ikut pendakian bersamaku beberapa tahun yang lalu?”
“Itu sudah sekitar 6 tahun yang lalu, Wonwoo,”
“Aku tahu,”
“Itu pasti sulit,” desisku.
“Mungkin kau bisa mendatangi SMA ku untuk mencari tahu,” kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Wonwoo, tapi menarik perhatianku.

Aku terdiam sesaat.
Benar juga. Aku bisa saja datang ke SMA Wonwoo untuk tahu tentang klub pecinta alam mereka. Aku ‘kan juga aktif di klub pecinta alam.

Aku baru saja ingin mengatakan sesuatu ketika aku mendengar jendela kamarku terbuka dan kepala Mingyu menyembul dari sana.
Aku membelalak.
“Mingyu? What are you doing?” Aku berteriak. Pemuda itu cuma tersenyum lalu dengan gesit melompat memasuki kamarku.
“Hai,” ia menyapa. Aku melirik ke arah Wonwoo yang masih duduk manis di kursi. Aku mengibaskan tanganku dengan maksud untuk menyuruhnya pergi. Dan ia mengerti. Karena dalam hitungan detik kemudian, ia lenyap.

Oke, Mingyu memang tidak bisa melihat Wonwoo. Tapi tetap saja aku merasa tidak nyaman jika ada dua orang lelaki – meskipun yang satunya hantu - ada di dalam kamarku!

“Apa yang kau lakukan?” semprotku ke arah Mingyu.
Mingyu hanya melenggang melewatiku lalu menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur.
“Aku bosan di rumah. Ingin main saja ke sini. Kenapa? Tak boleh?”
“Kenapa harus lewat situ? Seperti anak kecil saja,” gerutuku.
Mingyu tertawa.
“Dulu waktu masih kecil ‘kan aku memang sering menyelinap ke kamarmu lewat jendela itu lalu kita bermain kelereng di kamarmu,”
“Itu ‘kan waktu kita masih kecil, Mingyu. Sekarang kita sudah dewasa, masak mau lompat-lompatan lewat jendela? Kan tak pantas,”
“Tak pantas bagaimana? Kita masih teman ‘kan, Ara? Kenapa harus ada yang berubah?”
“Maksudnya...”
“Kenapa belum ganti baju?” ia mengalihkan pembicaraan.
Aku menatap tubuhku sendiri yang masih berpakaian seragam sekolah.
“Belum sempat,” jawabku bohong.
“Ganti baju sana. Aku ingin mengajakmu jalan-jalan,”
“Kemana?”
“Toko buku,”
“Kenapa kau tak mengajak Ye Seul?”
“Dia repot,”
Aku melotot.
“Ow, jadi maksudnya kalau Ye Seul tak bisa, lalu kau mengajakku begitu? Dasar kampret. Memangnya aku ban serep?” teriakku seraya melempar Mingyu dengan bantal. Pemuda itu tertawa.

“Bercanda, Ara. Aku sengaja ingin
mengajakmu. Pacar ya pacar, teman ya teman. Ada waktunya sendiri-sendiri. Nah, sekarang adalah waktunya untuk teman.” Jawabnya.
Aku mencibir.
“Ya sudah, keluar sana. Aku mau ganti baju dulu,”
“10 menit siap ya?”
Aku mendesis.
“15 menit!” teriakku. Aku beranjak ke lemari baju untuk mengambil baju ganti.

“Oh iya, Ara. Yang bicara denganmu di lapangan basket tadi anak baru ‘kan?” Mingyu kembali bertanya.
“Vernon? Ya. Kami satu kelas.” jawabku.
“Aku tak suka dengannya,”
Aku terkekeh.
“Sama, dia juga tak suka denganmu,” jawabku asal jeplak. “Lagipula kau masih normal ‘kan? Kalau sampai kau suka dengan Vernon, Ye Seul pasti bunuh diri,” lanjutku tanpa melihat ke arah Mingyu. “Aku serius, Ara,”
“Aku juga serius,” jawabku asal. Sambil terus mengobrak-abrik isi lemari.

“Ara ...” Nah, panggilan lembut seperti ini yang membuat aku melunak.
Aku menoleh ke arah Mingyu.
“Oke, jadi kenapa kau tak menyukainya?” aku terpaksa bertanya.
“Kelihatannya dia angkuh,”
“Dia memang angkuh. Aku sudah tahu dari pertama kali bertemu dengannya. Lainnya?”
“Dia aneh. Dia menatapmu dengan cara yang berbeda,”
Aku mendesah. Dia menatap Wonwoo, bukan aku! Rutukku dalam hati.

“Terus, apa lagi?” tanyaku lagi.
“Sudah, itu saja,” jawab Mingyu enteng. Aku mendelik.
“Hanya karena itu saja kau tak suka dengan Vernon?”
Mingyu mengangguk.
“Yang jelas aku tak suka dengannya. Titik,” jawabnya lagi.
Aku memutar bola mataku dengan kesal lalu kembali menarik-narik celana jeans dari lemariku.

Lelaki kadang-kadang memang sulit ditebak, kekanak-kanakkan dan menyebalkan.
Wonwoo bilang dia tak suka dengan Vernon, alasannya tak jelas.
Dan sekarang, Mingyu juga bilang bahwa ia tak suka dengan Vernon, alasannya juga tak jelas.

Tiba-tiba saja aku ingin tahu pendapat Vernon tentang Mingyu dan juga Wonwoo.

Ah, whatever-lah! Masa bodoh.

Tepat ketika aku menemukan celana jeans dan t-shirt kesukaanku, tatapan mataku menatap sesosok tubuh yang tengah melayang-layang di luar jendela kamarku. Wonwoo!
Aku berlari ke arah jendela.
“Kau bilang kau tak terbang? Dasar pembohong,” aku berkata tanpa sadar.
Wonwoo cuma nyengir.
Mingyu mengikuti ke depan jendela.
“Kau sedang bicara dengan siapa?” ia bertanya dengan heran. Aku menatapnya dan nyengir.

“T-tidak. Ah, sudahlah. Aku mau ganti baju dulu,” Aku mendorong Mingyu menuju pintu.
Tanpa sepengetahuannya aku kembali melirik ke luar jendela. Dan sosok Wonwoo sudah tak ada.
Ah, dasar hantu...

***

tbc

DESTINY [Sudah Terbit] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang