Chapter 16 : Clue

666 92 1
                                    


Sejak pernyataan cinta mendadak dari Mingyu beberapa waktu yang lalu, hubungan kami sedikit renggang. Kami saling menghindari satu sama lain. Seperti ada kesepakatan tak tertulis di antara kami bahwa kami sama-sama butuh ruang untuk merenung dan berpikir.

Sekarang aku tahu bahwa Mingyu mencintaiku, tapi dia tak perlu tahu bahwa aku juga mencintainya ‘kan?
Dan jujur ini menyakitkan. Bahkan lebih menyakitkan dari sekedar tahu bahwa ia berpacaran dengan sahabatku.

Tapi sekali lagi, bahwa kami juga seolah sepakat bahwa tak ada dari kami yang boleh mengambil langkah apapun. Maju juga tidak, mundur juga tidak. Karena kami sadar bahwa jika ada di antara kami mengambil sikap, situasi akan semakin rumit. Kami yakin bahwa pengambilan sikap, apapun itu, hanya akan melahirkan kesalahan fatal!

Jadi, biarlah semua apa adanya. Seperti sedia kala. Jika ada yang berubah, biarlah waktu yang menentukan kemana hati kami harus mengambil keputusan ...

Lamunanku buyar ketika aku merasakan seseorang menyentuh lenganku. Aku menoleh, dan Vernon sudah berdiri di sampingku. Rupanya ia menyentuh lenganku dengan sikunya.

“Mukamu yang suntuk itu lebih menyebalkan dari muka pak satpam yang sedang marah-marah,” ia menunjuk ke arah pak satpam yang sedang marah-marah ke beberapa anak yang memarkir sepeda motornya di tempat yang salah. Aku mencibir.

Sekarang Vernon juga hafal kebiasaanku. Ketika aku lagi suntuk, aku memang selalu ‘melarikan’ diri ke atap gedung, dan karena dia cenayang, dia bisa dengan mudah menemukanku.

“Kau sedang tak membaca pikiranku ‘kan?” semprotku.
Ia menggeleng.
“Benarkah?”
Vernon mendesah.
“Benar. Nih, lihat saja sendiri,” pemuda itu kembali berpaling dan kami bertatapan. Aku menatap ke arah mata coklatnya dan mata teduh itu terlihat ... terang memukau. Oke, aku percaya padanya.

Ha, kadang aku sendiri tak percaya dengan apa yang ku jalani dengan Vernon. Percayalah, sekarang persahabatan kami berjalan dengan amat baik. Kadang aku sendiri mengira bahwa Vernon yang sedari awal dingin dan angkuh, akan sangat sulit di ajak bersahabat. Tapi ternyata, aku salah.

Persahabatan kami mengalir begitu saja, sangat alami. Dan aku benar-benar bersyukur pada Tuhan karena dia pemuds yang menyenangkan dan perhatian. Semakin hari kami semakin akrab. Dan hal yang luar biasa adalah, sekarang aku makin sering melihatnya tersenyum dan tertawa. Sungguh itu sebuah anugerah.

Yakinlah, senyum itu juga makin sering membuatku klepek-klepek! Haha...

Kami juga mulai sepakat tentang beberapa hal. Termasuk soal membaca pikiran. Karena kami sudah bersahabat, kami sepakat soal privacy. Vernon bersedia untuk tidak lagi membaca pikiranku seenak jidatnya. Dan ia membagi rahasianya padaku. Jika ia sedang membaca pikiran seseorang, warna matanya akan menjadi coklat gelap. Tapi jika tidak, maka mata indah itu akan berwarna sesuai warna aslinya, coklat terang yang memikat.

Lagipula, ia mengatakan bahwa membaca pikiran seseorang benar-benar menyedot energi. Ia pernah mengatakan bahwa ia sempat jatuh pingsan setelah membaca pikiran seseorang.

“Waktu itu kau sempat membaca pikiranku, kenapa kau tak jatuh pingsan?” tanyaku waktu itu. Dan Vernon hanya mengangkat bahu tak mengerti.
“Aku sendiri juga tak tahu. Biasanya setelah membaca pikiran seseorang, energiku tersedot habis. Tapi denganmu, entahlah, semua terjadi begitu saja. Tak seburuk biasanya,” itu jawabannya.

Dan aku tak menanyakan lebih lanjut tentang perbedaanku dengan orang lain itu, karena Vernon pun mati-matian tak tahu alasannya.

Dan percayalah, selain rasa was-was (yang terkadang kurasakan), bersahabat dengan seorang cenayang ternyata banyak manfaatnya.

DESTINY [Sudah Terbit] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang