Chapter 14 : Cenayang

636 85 3
                                    


Apa boleh buat. Acara pentas seni akhirnya dibatalkan karena insiden ambruknya atap bagian tengah aula. Kata pak tukang, kayu penyangganya memang sudah lapuk. Maklum, aula itu adalah bangunan lama.

Untungnya aku tak terluka karena insiden itu. Sebaliknya, banyak yang bersimpati padaku karena aku nyaris saja menjadi korban, luluh lantak tertimpa atap gedung.

Dan Vernon, ia dianggap pahlawan karena berhasil menyelamatkanku.
Semua orang seakan sepakat bahwa itu adalah aksi penyelamatan yang ‘normal’.
Jadi kronologi versi mereka adalah, Vernon memasuki aula, menyaksikan atap aula nyaris ambruk, lalu cepat-cepat mendorong tubuhku dan ... selamatlah aku!
Begitulah.

Tapi, tidak! Mungkin mereka tak tahu, tapi aku menyadari bahwa aksi penyelamatan itu tak ‘normal’.

Teman-teman jadi senewen karena khawatir. Wonwoo juga. Mingyu juga.
Sehari setelah insiden itu, setelah aku istirahat di rumah, Wonwoo tak berhenti mondar-mandir di kamarku dengan wajah cemas. Ah, hantu bisa cemas juga ternyata...

“Sudahlah, bisakah kau berhenti berjalan kesana kemari? Kau membuatku pusing,” gerutuku sambil menarik selimut menutupi tubuhku. Wonwoo mendesah.
“Astaga, Ara. Aku tak berani membayangkan kau nyaris saja tertimpa atap gedung? Andaikan saja aku ada di sana untuk menyelamatkanmu, oh Ya Tuhan,”
Aku terkekeh.
“Aku selamat dan baik-baik saja. Lagipula kalau kau di sana, kau tetap tak bisa apa-apa. Kau tak bisa menyentuhku, atau menyentuh barang apapun di dunia ini, ingat?”
Dan Wonwoo tetap saja menatapku dengan wajah cemas.

Dan Mingyu, alamak, dia malah parah. Sehari ini dia sudah menyelinap ke kamarku lewat jendela untuk yang ke sekian kalinya cuma untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja. Setiap aku memarahinya ia selalu saja nyengir tanpa dosa.
“Just make it sure that you’re still okay,” jawabnya enteng sambil menyelinap kembali keluar jendela dan pulang ke rumahnya. Dan bisa dipastikan, 15 menit kemudian dia bakalan balik lagi ke kamarku!
Ohmaigatt....

***

Aku sengaja menunggui Vernon sepulang sekolah. Tepat ketika bel pulang berdentang, aku segera berdiri di samping bangkunya agar dia tak keburu ngacir.
“Aku ingin bicara. Di sini, atau di tempat lain?” tanyaku to the point.

Vernon melihat sekelilingnya. Ia mendesis kesal lalu merapikan alat-alat tulisnya.
“5 menit,”  jawabnya pendek.
“Terima kasih,” Ucapku tanpa ragu.
“Untuk apa?”
“Karena kemarin kau udah menyelamatkanku,”
“Akhir-akhir ini aku sudah menerima ucapan terima kasih dari banyak orang karena telah menyelamatkanmu. Tambah satu lagi darimu sepertinya tak masalah. So, aku terima ucapan terima kasih darimu. Cukup?” Vernon menatapku sekilas lalu kembali merapikan buku-bukunya.

“Darimana kau tahu kalau atap gedung itu akan ambruk?” tanyaku.
“Kebetulan saja,” ia menjawab cepat.
Aku terkekeh sinis, dan itu mampu membuat Vernon mendongak dan menatapku.

“Itu bukan kebetulan. Kau pasti sudah tahu kalau atap gedung akan ambruk. Ya ‘kan?” ucapku lagi.
Ekpresi Vernon tampak datar. Aku menatap ke sekeliling untuk memastikan bahwa hanya ada kami berdua di ruang kelas ini. Dan setelah memastikan itu, tatapanku kembali ke arah pemuda bermata coklat di hadapanku.

“Vernon, anak-anak lain mungkin tak tahu. Tapi aku menyadarinya. Kisah singkatnya adalah, kemarin kau berada di tempat lain, entah di mana, lalu kau menyadari bahwa atap gedung itu akan ambruk sehingga kau berlari sekuat tenaga ke aula --- kau terengah-engah ketika memasuki tempat itu, ingat? --- Dan itu membuktikan bahwa keberadaanmu di aula bukanlah kebetulan,”
Tak ada jawaban.
“Apa insiden kemarin membuatmu gegar otak? Jika ...”
“Kau cenayang ‘kan?” potongku sebelum ia sempat melanjutkan kalimatnya.
Tatapan kami terkunci.
Hening sesaat.
Vernon melipat tangannya di atas meja tanpa melepaskan tatapannya dariku. Masih tatapan yang angkuh tapi tenang.
“Kau harus ke dokter untuk memeriksakan kepalamu,” ucap pemuda itu kemudian.

Aku tak tersenyum mendengar sindirannya.
Tatapan kami terus terkunci satu sama lain.
Dan aku tak gentar sama sekali.
“Perlu ku jelaskan detailnya, tuan cenayang?” sindirku ganti.
Aku bersedekap dengan angkuh.

“Well, kalau begitu aku akan dengan senang hati menjelaskannya padamu agar kau tak menganggap aku mengalami gegar otak. Kau bisa melihat Wonwoo. Sebetulnya itu bukan hal luar biasa karena beberapa orang juga bisa mengalaminya secara kebetulan, termasuk aku. Tapi, yang luar biasa adalah kau bahkan bisa berkomunikasi dengannya tanpa terlibat komunikasi verbal. Dan kau punya kemampuan untuk melihat masa depan, melihat sesuatu yang akan terjadi di masa mendatang. Itu terbukti dari insiden kemarin dimana kau mendapat pemberitahuan ---" Aku membentuk tanda kutip pada kata pemberitahuan dengan jari-jariku, “--- bahwa atap gedung itu akan runtuh menimpaku sehingga kau datang ke aula untuk menyelamatkanku,” tegasku.
Tak ada jawaban atau sanggahan.

“Apalagi kemampuanmu?” tanyaku dengan penuh nyali.
“Telepati? Telekinesis? Teleportasi?” tanyaku lagi.
Vernon meluruskan kakinya di bawah bangku lalu menyandarkan punggungnya di kursi, kedua tangannya masih bersedekap di dada dengan angkuh.
“Jadi, kau ingin melihat kemampuanku yang lain?” ia bertanya.
Ah, akhirnya ia mengakuinya!
“Apa?”
“Yakin kau tak takut?” pertanyaannya bernada intimidasi.

Aku terkekeh sinis.
“Memangnya apa kemampuanmu hingga bisa membuatku takut? Aku bahkan berteman dengan hantu. Ya ‘kan? Apa kau seorang serigala, vampir, atau apa? Aku tak takut dengan hal-hal semacam itu,” jawabku.
Vernon tersenyum sinis.
“Sesuatu yang benar-benar kau takuti,” jawabnya, lirih, tapi tegas ...
Dan aku kembali terkekeh.

“Memang apa yang kutakuti? Well, mungkin aku memang takut dengan orang yang bisa membaca pikiranku. Dan sepertinya itu sesuatu hal yang tidak mungkin bahwa kau bisa .....” kata-kataku terhenti.
Aku melotot.
Membaca pikiran?” Kalimat itu meluncur dari bibirku tanpa sadar.
“Kau bisa membaca pikiranku?” suaraku nyaris tertelan kembali ke tenggorokan.

Vernon hanya tersenyum.
Aku menelan ludah.
Ini tidak mungkin!
“Mungkin,” jawab Vernon.
Aku kembali melotot.

Dia membaca pikiranku?

“Yup, aku membaca pikiranmu.” Ia kembali menyahut.
Astaga, orang ini mulai membuatku takut...
“Kau benar. Dan memang sudah semestinya kau takut padaku. Jadi ....” ia bangkit dari kursi lalu meraih tasnya kemudian kembali menatap ke arahku.
“Berhentilah menggangguku. Dan jangan pernah terlibat hal apapun denganku, terutama untuk pembicaran-pembicaraan tak penting seperti ini. Oke?” ia beranjak.
“Dan ___” ia berhenti sesaat di ambang pintu lalu kembali menatapku yang masih berdiri bengong.

“Terima kasih karena di hari pertama kita bertemu, kau memuji mataku yang indah, kau mengatakan aku tampan, dan kau juga mengatakan bahwa namaku keren, begitu juga dengan diriku. Semua itu ada di dalam pikiranmu ‘kan? Dan aku bisa mendengar semuanya.” ucapnya.

Aku sempat menangkap senyuman curang di bibir Vernon sebelum pemuda itu kembali melangkahkan kakinya meninggalkan ruang kelas, meninggalkanku.

Aku melongo.
Alamak!!
Dia benar-benar membaca pikiranku!!

****

tbc.

DESTINY [Sudah Terbit] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang