EMPAT

62 4 2
                                    

Ia terkesiap ketika sepasang tangan putih dan mulus mencengkramnya dari belakang, membuatnya reflek berbalik dengan sedikit kasar, sehingga Cia terdorong dan jatuh.
Seorang gadis manis dengan rambut panjang terurai berjaket loreng itu mengaduh kaget. Dari ujung kaki sampai ujung kepala di perhatikannya gadis itu. Sepertinya tidak mungkin gadis itu adalah gadis petualang seperti pada umumnya. Keningnya tampak berkerut memandang Cia. Pria itu kemudian menjulurkan tangannya yang langsung disambut Cia dengan penuh semangat.

"Sedang apa kau di sini ? Ah, maksudku kenapa kau ada di sini ? " tanyanya. Dari raut wajahnya jelas ia heran melihat seorang gadis rumahan berada di tengah gurun pasir ini.

Pria itu memang tampan, tapi tatapan tajam mengintimidasinya sangat tidak Cia sukai.

" Ku ceritakan pun kamu mungkin nggak akan percaya. Mau tetap ku ceritakan ?" balas Cia.

"Lebih baik kau ceritakan saja yang mungkin tidak ku percaya itu daripada aku menyangka kau adalah seorang siluman atau jin penunggu gurun pasir ini" pintanya dengan memiringkan kepala dan berkacak pinggang. Perlahan Cia mundur beberapa langkah. Takut. Ia pun mulai menceritakan semuanya dari awal, sampai akhirnya kenapa ia bisa terdampar di gurun pasir ini.

" Jadi... Maukah kamu menolongku keluar dari sini ?? Aku ingin pulang .. Aku ingin bertemu mereka, orangtua ku.. " matanya yang awalnya hanya berkaca-kaca, kini seperti bendungan yang rubuh. Ia mengeluarkan semua kekecewaan, ketakutan dan kesedihan yang tertahan selama ini di depan pria itu.

"Terus saja menangis sampai air matamu habis dan kau dehidrasi" ucap pria itu dengan ketus.
Cia pun pelan-pelan menenangkan diri lalu mengusap air matanya. Diperhatikannya wajah Cia dengan seksama, sampai yang diperhatikan menjadi kikuk.

"Wajahmu kacau, tadinya aku pikir kau ini siluman gurun pasir." pria itu berbalik pergi.
Cepat-cepat Cia mengambil handphone miliknya. Ada pantulan wanita seperti Suzana di sana. Mata sembab dengan mascara dan eyeliner luntur menambah lengkap kekacauan wajahnya.
Cia mengusapnya segera dan menyusul pria itu dengan langkah besar.

***

Sore pun menjelang. Matahari terbenam membuat pasir berubah warna menjadi pink kemerahan.
Cia menubruk punggung pria itu karna ia tiba-tiba berhenti.

"Kita menginap di sini" ucap pria itu sambil menurunkan ranselnya. Cia menurut saja. Bertemu dengan pria ini saja sudah sangat ia syukuri. Ia tidak akan merengek, mengeluh apa lagi membantah.
Pria itu mengambil botol minum dari kantong ranselnya, meneguknya lalu memasukkannya kembali. Cia memandangnya dengan lekat.
'Jangankan nawar minum, nengok aja nggak! Pelit !!' bathin Cia.
Dan seakan bisa membaca pikiran Cia, pria itu menoleh padanya.

"Ada 'aturan tiga' di sini. Kita bisa bertahan hidup 3 menit tanpa oksigen, 3 jam tanpa panas, 3 bulan tanpa makanan. Tapi tidak untuk air. Jadi berhematlah." tukasnya.

Cia hanya mampu mengangguk. Ia lalu mengulurkan tangannya untuk berjabat.

" Cia. Siapa namamu ? Apa kamu seorang Backpacker ? " pria itu membalas jabatan tangan Cia.

" Kay. Apa hal itu penting saat ini ?" ia lalu melepaskan tangannya.

" Kay ? Kayu ? atau Kayak ? " Cia sepertinya tampak penasaran. Pria itu memicingkan matanya tanda ia gusar diselidiki.

" Kayes." ujarnya lalu berbalik dan menutupi wajahnya dengan topi.

" Aku nyaris tidak percaya kutukan seperti itu ternyata masih ada di jaman canggih ini," Kay membuka suara.

" Aku juga awalnya nggak percaya. Takdir mengerikan ini terjadi padaku. Lalu kamu, kenapa berpergian sendiri ? Mau bunuh diri ?" tanya Cia.

" Bunuh diri ya ? Kiasan yang pas," ujarnya tersenyum sinis. Tiba-tiba saja wajah Kayes berubah serius. Ia meletakkan jari telunjuknya di bibir. Dari ekor matanya, Cia bisa melihat ada sesuatu yang bergerak mendekat ke telinganya. Cia tersentak seketika. Jantungnya berdegup kencang.
Dengan sigap Kayes menarik sebuah pisau lipat di saku ranselnya dan menancapkannya di perut seekor laba-laba.
Cia segera bangkit dan berlompat-lompat bergidik ngeri.

"Ia toh tidak menggigitmu," ujar Kayes masih sambil mengobrak-abrik isi perut laba-laba itu dengan pisaunya.

"Iya, tapi nyaris aja!" balas Cia.

ELs Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang