DELAPAN

43 2 2
                                    

Ke empat anak manusia itu berjalan menyusuri gurun pasir yang begitu gersang. Peluh membasahi mereka. Terik begitu menusuk mata. Sampai rasanya ingin berjalan sambil menutup mata.
Kayes tiba-tiba berhenti.

"Ada yang punya eye shadow ? " tanyanya. Tara, adik Kinos, yang sedari tadi jalan sambil memperhatikan sosok ganteng tapi misterius itu sangat bersemangat ketika ditanyai.

"Ah, aku punya !" seru Tara.

Ia mengeluarkan sebuah make-up brand ternama miliknya dan memberikannya pada Kayes. Pria itu membukanya, dan mencari sebuah warna di sana. Dengan kasar jarinya mengusap eye shadow berwarna hitam dan menggosoknya ke area mata dan alisnya. Tak ia hiraukan suara pekikan tertahan Tara melihat eye shadow kesayangannya di obrak-abrik seperti itu.

'Untung ganteng..' batin Tara. Ketiganya tertegun. Heran. Bingung.

"Supaya apa ?" tanya Kinos.

"Karna tidak ada arang, kita pakai eye shadow saja. Ini bisa mengurangi silau di gurun pasir." ujarnya lalu mengembalikan kotak eye shadow itu pada Tara.

"Ketampanan ku bisa runtuh nih pakai yang beginian," ujar Kinos sambil mengusap matanya juga dengan eye shadow tersebut.

"Ketampananmu tidak dibutuhkan di sini." tandas Kayes. Tara hanya terkikik tertahan mendengarnya.

"AHH MATAKU!!" Tara tiba-tiba saja mengucek matanya yang berair karna terkena pasir. Angin tiba-tiba berhembus kencang. Menerbangkan pasir-pasir halus ke angkasa. Kayes memandang sekeliling. Lalu memakainya masker yang ia punya.

"Sepertinya akan ada badai pasir, pakai kain atau apa saja, ikatkan pada kepala agar mata dan telinga terlindungi. Juga mulut dan hidung." Kayes mengingatkan. Kinos tersenyum sinis.

"Kau keliatannya tau semua yang akan terjadi," serunya. Kayes diam saja tak menghiraukan.
Cia bergegas membuka ranselnya, mencari sesuatu yang bisa ia jadikan pelindung kepala dan masker. Jangankan itu ia bahkan tidak menemukan baju kaos atau apapun yang bisa ia pakai. Ranselnya hanya penuh dengan short jeans dan barang-barang tidak penting lainnya. Sepertinya saat ia memasukkan barang-barang dalam ranselnya, otaknya memang sedang dalam keadaan nggak bener.
Kayes melihatnya kebingungan. Pria itu lalu duduk dan membuka ranselnya.

"Aku pakai jaket aja.."ujarnya lirih. Pria itu membantunya mengobok-obok isi ranselnya.

"Siapa tau ada yang terlewat saat kau mencari. Ini sa... " Pria itu mengeluarkan sebuah benda berbentuk segitiga berenda miliknya, dan belum lagi pria itu selesai bicara, Cia langsung menyambarnya dengan kecepatan cahaya. Lalu menarik ranselnya ke dalam pelukannya. Wajahnya merona seketika.

"TERLEWAT GIMANA, RANSEL KECIL BEGINI!!! ME-MESUM!! " Bentak Cia. Kayes tercengang menatap Cia bak singa yang sedang mengamuk. Baru ia sadar ternyata benda tadi, adalah ...

'Sial!' rutuk Kayes.

"Waaaaw, Rabbit. Seumur ini kamu masih pake yang bergambar kelinci.. " celetuk Tara mengejek. Tara dan Kinos tertawa kecil.

"Oww oww, kamu semakin membuatku tertarik aja Cia. Kamu memang berbeda dari gadis-gadis yang pernah aku temui.." sambung Kinos menggoda . Ia berhenti tertawa ketika mata tajam milik Kayes menatapnya yang seakan ingin menelannya bulat-bulat. Kayes lalu membuka syal yang ada di lehernya dan memberikannya pada Cia.

"Eng... Trus kamu pakai apa ?" Cia menjadi kikuk. Setelah ia membentak Kayes, pria itu malah berbaik hati memberi syal miliknya padanya.

"Aku gampanglah." ujar pria itu sambil membantunya mengancing ranselnya. Saat Cia akan menggendong ranselnya, Kayes menahannya.

"Dengarkan, saat gurun mulai melahap, lepas ransel kalian dan gunakan untuk melindungi diri kalian, seperti ini.." ujar Kayes sembari mengangkat ransel Cia dan menempelkan ransel itu di depan wajahnya. Ketiganya mengangguk mengerti.

"Ayo bergegas, aku berharap kita tidak terkena gurun pasir itu." ujarnya lalu mulai melangkahkan kakinya dan diikuti yang lain.

Angin semakin menerbangkan pasir-pasir ke segala arah. Jauh di belakang sana, tampak pasir setinggi gunung bergumpal-gumpal melahap apa saja yang ada di depannya.

"Kita berlindung di belakang bukit pasir itu aja!" teriak Kinos sambil tetap berlari sekuat tenaga. Di depan mereka nampak bukit pasir yang cukup besar.

"Jangan!!! Angin bisa meruntuhkan bukit pasir ! Kecuali kau memang mau terkubur di situ ! " tukas Kayes. Cia dan Tara nampak kesusahan berlari mengikuti langkah-langkah besar kedua pria di depan mereka.
Cia merasa kakinya seakan berat untuk berlari melangkah.

"Ayo cepat !!" teriak Kinos, tangan pria itu sudah melingkar dipergelangan tangannya dan menariknya. Langkahnya menjadi ringan karna itu.

"Kakak !!! " teriak Tara sambil terus berlari.

Mereka terus saja berlari sekencang mungkin menghindari. Gumpalan pasir yang tampak seperti tembok itu kini hanya berjarak beberapa meter dari mereka.
Tara yang sudah mulai kelelahan kemudian jatuh tersungkur. Dan saat mencoba bangkit, pergelangan kakinya terkilir.

"Kakak!!! Tolong !!!" teriaknya sekuat mungkin. Mereka bertiga yang sudah jauh di depan terpaksa kembali untuk membantunya. Kinos lalu berjongkok, membantu Tara berdiri. Tiba-tiba saja Kayes mendorong mereka bertiga jatuh di atas pasir.

"GUNAKAN RANSEL KALIAN !!" teriak Kayes.

Gumpalan pasir beserta angin kencang dengan kecepatan 16 km per jam itu seketika melahap mereka dengan murka. Detik itu juga pasir dan debu halus itu mengaburkan pandangan. Sekeliling menjadi berkabut. Tidak ada apapun yang bisa dilihat.
Tara dan Kinos membuka ransel mereka dan membuat perlindungan di depan wajahnya masing-masing sambil berpegangan. Sementara Cia tengah sibuk dengan pengait strap ransel yang berada di depan dadanya, pengait tersebut malah tidak bisa dibuka. Berkali-kali ia mencoba. Dari pandangannya yang tidak begitu jelas, Kayes tiba-tiba saja sudah berada di hadapannya. Menghentak pengait itu dengan keras, tetapi tetap tidak bisa terbuka. Kayes lalu mengambil pisau lipatnya dan memutuskan gelang tali penghubung tersebut. Bergegas Cia membuka ranselnya dan berlindung dibaliknya. Sementara Kayes di sebelahnya siap siaga sesekali memperhatikan mereka, jangan sampai terpisah.
Diam-diam diperhatikannya pria itu dari balik bulu matanya yang memicing diantara kabut debu yang bertebaran. Ia merasa tenang dan damai. Benar sebuah kata-kata dari novel yang pernah ia baca

"Tempat paling tenang justru berada tepat di pusat pusaran badai".

Dipejamkannya matanya, ketenangan menghinggapinya. Semua yang terjadi bagaikan slide show di otaknya. Pertengkaran orang tuanya. Kemarahannya. Hingga perjalanan di gurun pasir tak berujung ini. Ia mulai mengikhlaskannya. Menerima jika takdirnya memang harus seperti ini. Benaknya mulai memaafkan orang tuanya, jika pada akhirnya orang tuanya harus berpisah. Ia melepaskan semua yang tertahan di hatinya, agar ia tidak merasa sesak. Melepaskannya di sini.

***
Tiga jam berlalu...

Badai pasir mereda meninggalkan mereka jauh di belakang. Mereka bangkit bagaikan mummy yang muncul dari permukaan pasir. Satu persatu mereka berdiri mengibaskan pasir-pasir yang menumpuk ditubuh mereka.

"Kalian baik-baik saja ?" tanya Kayes. Kinos dan Tara hanya bisa mengangguk karna masih shock setelah badai pasir yang serasa menenggelamkan mereka dalam sekejap.
Kayes tersentak. Mencari sosok lain yang membuat jantungnya berdetak tidak karuan beberapa hari ini, dan tidak menemukannya. Cia.

"Kemana si rabbit ??!! " Tara juga terkejut.

"CIAAAA !!! " Teriak Kinos. Pria itu juga kaget.

Kayes berlari, ketika matanya menangkap ransel Cia yang tergeletak tidak jauh dari situ. Namun hanya ranselnya. Gadis itu menghilang.

***

ELs Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang