Part 8 (Ardiana)

2.1K 43 2
                                    

Hallo, ketemu lagi dengan Ardiana. Happy reading. :))



Aku berjalan dengan santai menuju kantor tempatku bekerja.
Saat sampai, seperti biasa Iren mengucapkan selamat pagi.
Aku hanya mengangguk membalas ucapannya. Menuju ruanganku di lantai lima.

Kalau kalian ingin tau apa yang terjadi antara aku dan Daniel setelah malam itu. Singkatnya, tidak ada.
Aku terbangun di kasur kamarnya dan dia tidur di sofa ruang televisinya.

Sebelum aku duduk, salah satu teman satu divisiku berbicara padaku.

"Ard, bu Mirna minta kamu ke ruangannya."

Aku hanya menghela nafas.
"Oke, makasih." Temanku hanya mengangguk lalu kembali ke mejanya.

Kali ini apalagi sih? Setidaknya hari ini aku datang tanpa terlambat, meskipun tanpa motor cantikku yang antik.

---

"To the poin saja ard, kamu ingat permintaanku minggu lalu, 'kan?"

Oh aku ingat. Pertemuan itu.

Seolah bisa membaca pikiranku, si bu kepala ini melanjutkan kalimatnya.

"Ya itu, dan saya berniat untuk membatalkan kamu yang pergi."

"Jadi maksud madam, saya tidak jadi menggantikan anda untuk pergi?"

"Ya."

"Oh baik kalau begitu saya undur diri dulu, madam. Pekerjaan saya masih banyak."

"lanjutkan pekerjaanmu."

...

Selepas keluar ruangan madam, aku berjalan menuju ruanganku, entah harus senang atau sedih karena pembatalan ini aku tak jadi mendapat bonus tapi aku senang tak usah bertemu dengan Daniel. Yah setidaknya aku tak perlu repot dan hidup jantungku jadi lebih lama. Sekarang aku malah kembali memikirkan kejadian semalam. Yah itu cukup ganjil. Tapi yasudah. Yang penting selamat dan Daniel tidak macam-macam padaku.

Saat berjalan, aku kembali berpapasan dengan Daniel. Laki-laki itu hanya tersenyum tenang yang ditujukan padaku.

Aku tak ambil pusing dengan tatapannya, yang aku pusingkan gara-gara ada dia aku lupa mengabari chelsea dua hari ini, dia ngambek padaku. Hm, setelah pulang kerja lebih baik aku kerumahnya saja dan memasakkan makan malam. Biasanya cara itu ampuh untuk membuat Chelsea tak marah lagi padaku.

---

Saat aku pulang, aku melihat jam di dinding. Ternyata sudah jam satu malam. Aku ketiduran di rumah Chelsea setelah memasak dan makan malam bersamanya, kalian tau rasa marahnya terkalahkan dengan rasa rindunya terhadap masakanku. Eeh sebentar tapi dia rindu aku juga kan?
Lalu kami bermesraan saling ledek yah dan menonton drama komedi bersama.

Diapartemenku ini tidak ada barang-barang mewah atau aneh, biar kusebutkan dari pintu masuk langsung mengarah ke ruang tengah dan hanya ada sofa panjang, meja yang dibawahnya dipenuhi majalah, dan televisi serta seperangkat alat perang lengkapku jika kalian ingin tau aku ini gamers. Ketularan Daniel tentunya.

Aku menyukai game apapun. Bahkan aku memiliki 2 ponsel android yang khusus untuk bermain game, awalnya aku tidak suka tapi karena Daniel yang mengenalkanku membuatku menyukai sekaligus memujanya ah sudahlah lanjut sedikit ke samping kanan disana ada meja dapur lengkap karena aku ini orang yang gemar memasak apapun keadaannya.

Di dekat sudut dapur ada pintu kamar mandi, setelah itu beralih ke pintu didekat televisi itu mengarah ke kamarku, tentu saja di dalam ada kasur ukurannya tidak terlalu besar untuk sendirian bahkan muat untuk dua orang.

Disudut ada lemari pakaian lengkap dengan lemari sepatu sekaligus dan meja rias untuk berdandan meskipun terlihat kosong. Dan tentu saja di dekat jendela seperangkat komputerku lengkap dengan Kaset game koleksiku yang cukup banyak.

Yah cukup penjelasannya, sekarang badanku pegal-pegal dan lengket.
Sebaiknya aku mandi dulu, setelah itu tidur.

---

"Jadi gimana?"

"Apanya?"

"Aku liat di bar malam itu, kamu ketemu pak Daniel yah?" Ucap Iren.

"Ya begitulah, kebetulan aku sedang terdesak dan dia datang menyelamatkanku" ucapku ragu menjelaskan secara spesifik padanya.

Wajah Iren semakin menampilkan mimik penasaran.
"Menyelamatkan dari apa?"

Aku memutar bola mataku bosan sebelum menjawab pertanyaannya.
"Ya ampun, cyn! Aku males ngomongnya, udahlah ya gitu ajah."

"Ah gak seru!" Ucapnya marah padaku.

"Ku telaktir makan siang yah?" Ucapku membujuknya agar tidak marah padaku, walaupun Iren kurus tapi jangan salah porsi makannya hampir menandingi kuli bangunan. Lebih banyak dari porsi makanku.

Saat kulihat wajahnya kembali, wajahnya berbinar seketika. Mungkin dipikirannya dia ingin menipiskan dompetku.

Huh dasar, cewek itu.

"Baiklah, tapi aku boleh memesan apapun kan?"

Nah 'kan, apa kubilang.

Akh menganggukkan kepalaku satu kali dan disambut cengiran tolol Iren. Lihat wajahnya berbinar sampai bulat seperti pizza keju kesukaannya.
Ah untung saja uangku banyak, karena aku ini orang yang irit.

"Giliran begini, seneng." Ucapku menoyor kepala cantiknya, untung saja dia cantik.

"Hehe, sampai ketemu nanti siang oke".

Ku satukan jari telunjuk dan ibu jariku membentuk lingkaran mengacukan kepada Iren tanda 'oke' sebelum bergegas kembali ke mesin fotocopy.

Saat pulang tadi, aku melihat seseorang yang mungkin mirip mantan Chelsea, yang ku tahu wajahnya dari foto yang Chelsea perlihatkan sebelum Chelsea membakar semua foto-fotonya. Namanya kalau tak salah Rudi?

Aku tak yakin, tapi kalau itu memang dia. Keparat sekali dia. Saat kulihat sepertinya ia tak mengingat Chelsea, ia terlihat senang-senang saja bersama kekasih barunya.
Dan kalau kulihat masih lebih cantik Chelsea ku tercinta.

Ah sudahlah, kalau kami bertemu kembali aku akan menghajarnya untuk Chelsea.

Saat ini, aku sedang menyetir motorku mengarah ke minimarket. Sepulang dari kantor.

Bahan-bahan persediaanku sudah habis dan harus kembali belanja, untuk makan malamku.

Bicara soal makan, tadi saat makan siang. Tentu saja aku tak lupa janjiku kepada Iren untuk mentelaktirnya.
Pesanannya sungguh membuatku membuka mulutku lebar sehingga rahangku terasa sakit karena terlalu lebar aku membuka mulutku karena apa? Tentu saja pesanan Iren yang luar biasa banyak. Dan baru kali ini aku mengeluarkan uang yang cukup banyak menurutku hanya untuk makan siang bersama Iren. Dia hanya menyengir tanpa dosa nya padaku.

Saat ku standarkan motorku, getaran di saku celana khakiku menandakan adanya pesan masuk, membuatku mengurungkan niat untuk melangkah memasuki minimarket.

'Hello lesbi''

Sialan, siapa ini? Kenapa isinya begini?
Lihat saja takkan ku balas. Ku anggap ini spam.

Saat akan melangkahkan kakiku kembali getaran handphone-ku kurasakan kembali.
Masih dari nomor yang sama.

'Ardiana, kita perlu bicara. Aku tunggu nanti malam jam delapan dilapangan basket sekolah kita dulu'.

Daniel.


Bersambung...

Hello Lesbi (Is Writing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang