Apocalypse

256 43 14
                                    

Pernahkah terpikirkan olehmu jika hidupmu akan berakhir lebih cepat dari yang kau kira?

Ketika bayang-bayang masa depan yang kau impikan kembali terngiang di pikiranmu.

Ketika dosa mu satu persatu mengudara, membuat hatimu terasa sesak oleh penyesalan.

Ketika hari penghakiman itu tiba, bisa kah kau mengelak?

Aku terduduk diam.

Memikirkan bagaimana cara agar aku, bisa memiliki akhir yang setidaknya sedikit bermakna.

Tidak. Aku tidak seperti yang kalian pikirkan.

Aku tidak bisa melihat masa depanku, ataupun masa depan orang lain. Aku bukan anak indigo.

Kali ini, tanpa menjadi seseorang yang memiliki kemampuan spesial pun, kau bisa memprediksi masa depanmu sendiri.

Semua orang harap-harap cemas menantikan hidupnya yang mungkin masih bisa tersisa.

Sebagian dari mereka, menangis sembari memanjatkan doa.

Ketika sudah seperti ini, apa yang kau harapkan?

Pengampunan dosa? Ataukah hidup lebih lama? Apakah mereka sedang memohon dan meminta diselamatkan oleh Tuhan?

Tidakkah mereka mengingat bahwa selama ini mereka melupakan Tuhannya?

Mengapa ketika semua ini telah terjadi, mereka lantas menuntut banyak?

Aku mempererat genggaman tanganku pada lelaki disampingku ketika kembali mendengar dentuman yang memekakkan telinga.

Seluruh orang yang ada di barak ikut berteriak, takut jika bongkahan besi berisi bahan peledak tersebut jatuh diatas tempat kami berlindung.

Tanpa terasa, air mataku mengalir.

Ini kah akhir hidupku?

Haruskah aku berhenti memikirkan masa depan ku?

Aku bahkan belum bertemu keluargaku di negeri Paman Sam!

Bolehkah aku menyalahkan takdir?

Mengapa aku dilahirkan di era seperti ini?

"Tiff,"

Kurasakan sebuah tangan yang hangat menghapus air mataku.

"Tenanglah, kau tidak sendiri."

Mendengarnya melontarkan kalimat seperti itu, yang disusul dengan tangannya yang menepuk punggungku secara berirama, aku tak kuasa menahan tangis.

Aku memeluk kedua kaki ku yang ditekuk, dan menenggelamkan wajahku di lutut.

Membiarkan lengan lelaki ini merengkuhku ke dalam dekapannya.

Hangat tubuhnya yang menjalar rasanya membuatku ingin memejamkan mata, sekedar untuk beristirahat sejenak. Atau jika boleh; selamanya. Kurasa aku mulai lelah dengan situasi ini.

"Kuatkan dirimu, Tiffany. Aku bersamamu."

Entah kalimat itu bekerja padaku atau tidak, namun rasanya salah besar jika aku berhenti berjuang pada titik ini.

Ya, untuk terakhir kali saja.

Untuk lelaki ini, teruslah berjuang, Hwang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 16, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tiffany's FicletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang