-part 1.

190 4 3
                                    

Kosong.

Saat kubuka mata, terlihat dari jendela bahwa langit sudah berwarna biru.

Sudah pagi.

Aku bangkit dari lantai kayu yang dingin, melangkahkan kaki, dan kemudian menggeser pintu kayu yang suaranya cukup berisik di pagi sesunyi itu. Dan, meskipun langit berwarna biru, gerimis sedari tadi menyelimuti tanah. Udara, makin tebal kabutnya.

Aku berjalan melewati selasar panjang menuju ke ruang tengah. Kulihat seseorang sedang duduk disana.

Rambutnya panjang. Wajahnya begitu cerah dan manis di pagi yang masih muda itu. Dia duduk manis pula di dekat meja yang menjadi wadah alat merajutnya. Sambil meminum segelas teh panas.

Ya, dia senang merajut sesuatu, seperti jaket? Sweater? Entahlah. Yang kulihat hari ini, baru setengah jalan dari apa yang dikerjakannya.

Wanita ini, juga sangat suka teh. Yang tersaji di sampingnya itu, adalah secangkir panas teh hijau pahit yang uap putihnya masih terbang ke udara.

Namanya Jeehan. Kakak perempuanku.

"Kau sudah bangun?"

Aku mengangguk.

"Apakah Seungcheol tidak pulang?"

Tanyaku padanya.

"Dia akan pulang sore ini,"

Jawabnya.

Seungcheol adalah tunangannya. Seungcheol bekerja sebagai guru matematika di salah satu sekolah asrama terkenal di kota ini. Biasanya, bisa empat kali dia pulang dalam kurun waktu satu bulan. Namun, bulan berikutnya sampai hari ini, aku belum melihat lagi sekelebat mata lebar Seungcheol, yang biasa berjalan kesana kemari melewati selasar sambil tergopoh membawa kertas ujian matematika murid-muridnya.

"Berbicara tentang Seungcheol, aku jadi ingat sesuatu. Dia mengabariku bahwa calon tunanganmu akan menelepon sore ini."

Aku menghela napas.

"Pukul?"

"Entahlah, mana aku tahu? Tunggu saja, mungkin jam tiga sore?"

Calon tunangan... ya?

Iya, mereka semua menjodohkanku. Dan iya juga, bahwa aku masih sekolah. Bahkan, aku baru masuk sekolah menengah atas tahun ini. Entah apa yang menjadi pertimbangan mereka, dan apa yang terjadi di kepala orang-orang dewasa itu.

Calon yang dikatakan mereka itu, juga masih bersekolah. Bedanya, dia sudah akan lulus di tahun ini pula. Dia bersekolah di sekolah asrama terkenal itu, tempat Seungcheol bekerja.

Namanya, Jeon Wonwoo.

Belum pernah sekalipun aku bertemu dengannya. Aku hanya tahu wajahnya lewat foto. Itupun tidak begitu jelas, karena mereka yang menjodohkanku hanya memberikan foto keluarga berukuran pas foto.

Kecil sekali. Namun anggap saja aku sudah mengetahui wajahnya.

Pintu gerbang tiba-tiba terbuka. Dari ruang tengah, bisa terlihat Seungcheol setengah berlari mendekat ke arah kami menghindari hujan. Kami berdua menghampirinya.

Seungcheol tersenyum, mengulurkan tangannya untuk memberikanku sebungkus roti hangat berbentuk ikan yang dia beli di ujung jalan.

Sempat-sempatnya.

"Kalian belum pernah bertemu???"

Tanya Seungcheol kaget. Aku menggeleng.

Kami sedang duduk di ruang tengah sambil minum teh yang sama dengan Jeehan sebelumnya, serta merobek roti ikan yang masih sangat hangat.

"Kau dan Wonwoo benar-benar belum pernah bertemu? Aku kira ayah sudah menjodohkan kalian berbulan-bulan yang lalu?"

Lanjutnya, masih sambil tertegun.

"Ayolah, aku masih sekolah, aku belum ingin menikah! Lagipula, pertanyaan kalian aneh."

"Sungguh, bukannya kami ingin menghalangimu bersekolah,"

Kata Jeehan.

"Tapi, kau mau mengganggu gugat keputusan ayah?"

Aku berdecak mendengar ucapan mereka. Benar, tidak ada pilihan lain.

Mau tidak mau, saat hampir pukul tiga sore, aku sudah berdiri di dekat telepon rumah.

Kapan, dia akan telepon? Benar pukul tiga sore? Atau lebih sore lagi?

Ternyata, tepat pukul tiga sore, telepon sudah berdering. Benar kata Jeehan.

"Halo?"

Suaranya... Berat sekali. Ini pertama kali aku mendengar suaranya.

"Iya... Halo...?"

"Kau kah itu?"

Aku hanya berdehem merespon ucapannya.

"Iya. Ini aku, Wonwoo."

"Bagaimana kau tahu aku Wonwoo?"

Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku malah diam saja, sambil melihat sekeliling, mencari jawabanku.

"Pasti pak guru Choi ya? Ah... Sudah kuduga,"

"Ada apa kau menelepon?"

"Ah iya, kau benar. Aku akan memberi tahukan kau, kalau besok lusa sudah libur. Aku akan pulang. Seperti yang dikatakan Ibu, kita harus bertemu. Untuk itu, nanti aku akan mengunjungimu."

"Ke rumahku?"

"Ya,"

"Kau tidak... Keberatan?"

"Apa maksudmu? Tidak sama sekali!"

Aku terdiam lagi. Aku bingung harus merespon apa? Rasanya campur aduk. Haruskah aku cemas atau haruskah aku senang bahwa akhirnya kami akan bertemu?

Tapi sejujurnya, aku bahkan tidak merasakan apa-apa. Hanya... Betapa anehnya semua ini terjadi begitu saja.

"Kenapa diam saja? Kau tidak mau mengatakan sesuatu lagi padaku? Sebentar lagi akan kututup, sudah banyak yang mengantri di belakangku,"

"Wonwoo..."

"Ya?"

"Apa benar kau tidak keberatan?"

Aku mendengar tawa Wonwoo di ujung telepon.

"Baiklah. Aku akan menghubungimu lagi segera. Pastikan kau yang angkat teleponnya, ya? Aku tutup dulu."

"T-tunggu, Wonwoo--"

Tut. Tut. Tut.

*

precious encounter. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang