-part 5.

44 3 3
                                    

Cuaca sangat buruk akhir-akhir ini. Aku sempat beberapa kali kehujanan dalam seminggu terakhir, jadi, aku rasa hari ini pula puncak tubuhku dapat menahan cuaca buruk ini.

Hari ini, Mingyu datang ke rumah. Lagi.
Mengurusi urusan yang sama, juga dengan Jeehan.

Namun, kali ini dia tidak datang dengan Wonwoo. Dia datang sendirian.

Aku tidak memiliki tenaga untuk melakukan apa-apa hari itu karena sakit. Aku paksa tubuhku untuk melakukan sesuatu pagi itu, termasuk memakan hidangan buatan Jeehan lagi untuk hari ini.

Kemudian, seharian aku berbaring di kamar, mencoba menutup mataku, saat tiba-tiba Jeehan menggeser pintu kamarku.

"Kau sudah makan, kan?"

Aku yang sedang berbaring membelakanginya, hanya mengangguk. Dan aku rasa dia mengerti.

"Kalau kau mau tidur, minum obat dulu. Itu akan membantumu terlelap lebih cepat. Sudah kusiapkan di ruang tengah. Bangunlah sebentar. Kalau kau diam terus, kapan akan sembuh?"

Omel Jeehan yang membuatku hanya mengangguk lagi, menggerakkan tubuhku dengan lemah. Jeehan memang menyebalkan kalau sudah mengomel begitu. Tapi, aku tidak akan membuat tubuhku lebih lelah lagi hanya dengan protes akan omelannya.

Dari kasurku, aku berjalan gontai menuju ruang tengah. Aku segera duduk dan meminum obat yang disediakan Jeehan.

Televisi di depan meja sedang menyala. Sebenarnya, mataku terlalu panas untuk menatap layar yang memancar, tapi aku akan lebih lelah kalau harus kembali ke kamar secepat itu, jadi aku memutuskan untuk diam sebentar disana, menonton televisi.

Aku mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahku. Telapak tangan orang itu menyentuh keningku, lalu dia berkata,

"Astaga, demamnya tinggi sekali!"

Ternyata itu Mingyu. Aku menghela napas, kemudian menepis tangannya yang masih di keningku.

Namun, dengan jemariku yang lemah, aku memegang tangannya yang dingin.

"Iya, aku tahu."

Ucapku.

Walaupun sorot mataku sedari tadi tertuju pada televisi, namun aku bisa merasakan Mingyu menatapku, dan tak membiarkan jemariku melepaskan tangannya yang jauh lebih besar dari tanganku itu.

Dia terus menatapku khawatir.

Namun, tiba-tiba dia berbicara lagi.

Mengatakan sesuatu yang aku yakin telah tertahan sejak dia bertemu lagi denganku.

"Baru beberapa tahun kutinggal, kau sudah mau menikah saja..."

Mataku jadi tidak fokus. Aku mengalihkan pandanganku dari televisi, dan malah menatap kosong ke bawah. Jemariku, mengelus lembut tangannya.

"Aku mau tanya,"

Ucapku lirih.

"Aku... Sudah lebih dewasa sekarang. Aku tidak akan marah, aku akan memahami ini. Tapi..."

Kali ini, aku menatap Mingyu, yang benar saja, sedang menatap kedua mataku.

"Kenapa... Waktu itu kau pergi tanpa pamit?"

"Ayolah, itu kan sudah–"

"Aku butuh jawaban, Kim Mingyu. Aku tidak mau lagi bertengkar denganmu. Kita bukan lagi kita yang dulu. Aku tidak bisa kau bohongi lagi..."

Mingyu yang awalnya akan mengelak lagi, akhirnya hanya menghela napas. Wajahnya tampak begitu tidak tega.

Kali ini, tidak lagi jemariku yang mengelus lembut tangannya. Melainkan, jemarinya yang menggenggam melindungi kepalan lemah tanganku. Digenggamnya erat, sambil sesekali ibu jarinya mengelus telapak tanganku.

"Kau tahu aku tidak akan pernah suka jauh darimu, kan? Aku tidak pernah mau meninggalkanmu. Aku juga selalu berpikir bahwa hal itu tidak akan terjadi, namun kenyataannya? Semua terjadi.

Aku takut kau menangis kalau kau tahu aku akan pergi... Tapi yang terjadi? Kita malah bertengkar dan aku harus melihatmu menangis sebelum aku benar-benar pergi..."

Jelasnya.

Aku bisa merasakan penyesalan dari ucapan Mingyu.

"Kau juga tahu aku hanya sayang padamu..."

Lanjutnya lirih. Menatap tangan kami yang masih saling menggenggam. Aku memejamkan mataku, lalu menggeleng.

"Aku juga, Mingyu, aku juga sayang padamu. Sangat, sayang, bahkan. Aku begitu menyesal kita bertengkar waktu itu, kau tahu? Betapa aku tidak menyangka kau akan merahasiakan hal sepenting itu dariku..."

Ungkapku. Seperti perasaan yang tiba-tiba terluap, semuanya.

"Kau bahkan tidak menghubungiku lagi sama sekali..."

Air mataku pun, rasanya ingin keluar dari bendungan kuat yang kutahan sejak tadi.

"Kim Mingyu, sayang, apa kau pikir beberapa tahun itu sebentar?"

Lanjutku, sambil menatapnya yang kali ini tertunduk.

Dia terdiam.

Hujan turun lagi yang membuat suasana semakin terasa menyedihkan. Kami masih saling terdiam, tak menyangka hari ini nyatanya begitu kelam.

Sampai tiba-tiba, suara lirihnya terdengar lagi,

"Aku... Maafkan aku..."

Aku menghela napas, menggeleng.

"Tidak... Jangan meminta maaf...

Sudah... Lupakan saja.

Aku akan istirahat."

Perlahan, aku melepaskan genggaman tangannya, yang rasanya susah untuk kulepaskan karena dia masih menggenggamnya erat.

Aku berdiri, kembali ke kamar, meninggalkannya terdiam, yang tak mengikuti langkahku.

Dan aku berbaring lemah kembali, sambil memejamkan mataku.

Namun, aku tidak sanggup untuk tidak menitikkan air mata kala itu.

*

precious encounter. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang