-finalé.

45 2 6
                                    

Tak biasanya pagi itu cerah sekali.

Suara gaduh terdengar dari dalam kamarku. Berisik sekali.

Masih berbaring aku di atas hamparan kasur tipis semalam. Masih belum pula aku buka kedua mataku.

Tak lama, baru sepenuhnya aku sadar, kulirik sumber suara gemuruh itu. Sosok yang tinggi dan tak asing, seseorang yang kukenal.

"Mingyu?"

Mingyu menoleh. Kulihat Ia membuka laci lemari yang cukup tinggi di dekat meja belajarku.

Ia tersenyum.

"Sudah bangun? Aku belikan kau vinyl. Baru saja aku dapat dari tukang jualan keliling di depan."

"Lagu siapa?"

"Penyanyi Eropa. Atau Amerika? Siapa ya tadi?"

"Ya, ya, terserah kau saja."

Ia tertawa. Berjalan Ia perlahan ke arahku, menarik tanganku sambil mengajakku keluar.

Kulihat makanan sudah siap di atas meja. Kulihat semua itu satu-satu, dan kutatap lagi dia.

"Kau semua, yang buat?"

"Kau lupa memasak memang keahlianku?"

Aku menarik ujung-ujung bibirku.

"Kau memang berguna."

"Mengejek kau?"

Kutolehkan kepalaku ke seluruh penjuru ruangan. Kudapati tiada orang selain kami berdua. Saat aku tanya, ternyata Jeehan memang tidak sedang di rumah.

"Ia suruh aku kunjungi kau hari ini."

"Mengapa? Padahal kau baru saja sembuh?"

Ia angkat kedua bahunya, menggeleng tidak tahu.

Kulihat jendela yang masih tertutup di sisi rumah, dan segera kubuka jendela itu.

Cerah sekali hari ini.

Tidur berapa lama aku? Saat kulihat lagi jam di dinding, waktu sudah tunjukkan pukul delapan tepat.

Belum sempat aku kembali untuk kusantap makananku, kudengar telepon berdering.

Aneh.

Entahlah, firasat atau apa, namun, aneh saja rasanya dering telepon hari ini.

"Halo?"

"Ini kau?"

"Wonwoo kah?"

Kontan aku tersenyum. Hilang semua yang ada di pikiranku. Anganku tenggelam dalam suaranya.

"Apa kabarmu?"

"Kita baru bertemu beberapa hari belakangan."

Ia tertawa.

Senang sekali rasanya kudengar tawa itu.

"Maaf karena kau terima telepon ini,"

"Mengapa begitu?"

"Esok belum akhir pekan. Namun, aku harus sudah kembali ke asrama esok pagi-pagi buta."

...?

"Maaf aku tak bisa tepati janjiku untuk kita bertemu lagi sebelum aku benar-benar kembali ke sana. Maukah kau maafkan aku?"

Aku sempat terdiam untuk beberapa saat, sampai Ia panggil aku, walaupun lirih di ujung sana.

"Ah... ya... jangan, jangan begitu. Jangan meminta maaf..."

"Kau tak apa?"

Aku terdiam lagi, namun segera kuanggukkan kepalaku walaupun Ia tak tau.

"Ya, tak apa..."

precious encounter. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang