-part 2.

80 5 1
                                    

Aku tersentak.

Rumah hari ini begitu sunyi hingga suara dering telepon menderu ramai di seluruh penjuru rumah. Jeehan tidak di rumah, entah pergi kemana. Dia sudah pergi pagi-pagi buta.

Buru-buru aku menghampiri telepon dan mendapati suara di ujung telepon. Itu suara Seungcheol, memberitahu kalau ternyata Jeehan sedang bersamanya. Mereka pergi ke pusat kota, dan bisa pulang sewaktu-waktu. Namun, larut malam nanti. Katanya.

"Lagipula, hari ini calonmu akan mengunjungimu, kan?"

Aku menghela napas.

Setelah menutup telepon dan kembali duduk di ruang tengah, tak lama kemudian, aku mendengar suara bel pintu depan. Suara dari bel yang hanya diayunkan oleh orang asing yang jarang, atau hampir tidak pernah berkunjung ke rumahku.

Penasaran, aku berjalan setengah berlari ke pintu depan. Kubuka pintu itu perlahan, dan menemukan seseorang bertubuh tegap nan tinggi, berdiri tepat di depan pintu. Kedua matanya menatapku ragu dari balik kacamata yang sedikit mengembun itu. Walaupun kemudian, sedikit demi sedikit dia mulai menyimpulkan senyum.

Canggung. Mungkin bagiku.

Tapi juga tidak. Mungkin baginya.

Kami sudah duduk berhadapan di selasar, duduk di antara sebuah meja kecil yang kubawa dari ruang tengah.

Seperti orang yang bertemu pertama kali pada umumnya, kami berkenalan satu sama lain.

Aku memperhatikannya lagi. Dari ujung rambut hingga kakinya yang terbungkus kaus kaki. Rasanya jauh berbeda dari yang aku lihat di foto keluarga berukuran pas foto itu.

Wajahnya benar-benar tampan. Tubuhnya tinggi, jauh lebih tinggi dariku. Dia mengenakan kemeja putih dengan lengan panjang yang digulung, juga celana panjang. Sudah itu saja. Namun dengan gayanya yang begitu saja, sepertinya dia adalah orang tertampan yang kebetulan lewat di pekarangan rumahku ini. Mana ada tetanggaku yang terlihat sepertinya.

Aku bahkan tidak kuasa mengatakan kalau dia itu calon tunanganku kelak. Apakah aku pantas disandingkan seseorang yang selayak ini?

"Aku baru saja dari pusat kota,"

Katanya, setelah aku tanya dari mana dia.

"Apa yang kau lakukan di pusat kota pagi-pagi buta?"

"Menemani ayahku membeli obat. Aku juga biasa membeli buku-buku lama dari toko buku loak di seberang toko obat,"

Jelasnya senang sambil tersenyum.

"Kau suka membaca, ya?"

"Ya! Bagaimana denganmu?"

"Aku? Aku suka ma--makan..."

Wonwoo tertawa. Untuk pertama kalinya aku melihatnya tertawa. Aku suka melihat wajahnya saat tertawa, matanya akan menyipit dan pangkal hidungnya mengkerut.

"Kau lucu sekali."

Manis sekali.

"Terima kasih. Tapi, tidak, aku tentu bercanda. Aku... suka menulis beberapa karangan puisi."

Wajahnya merekah.

"Puisi?"

Karangan yang kutulis adalah berupa puisi-puisi pendek. Hampir semua karangan buatanku hanya tertulis sepanjang satu halaman, atau bahkan setengahnya. Namun, Wonwoo benar-benar penasaran dengan semua karangan yang aku tunjukkan.

Walaupun... Awalnya aku enggan untuk menunjukkannya. Saat dia membacanya, wajahnya kembali merekah.

"Indah sekali,"

Gumamnya.

Aku tidak percaya seseorang menyukai apa yang aku buat.

"Sebanyak ini tidak kau bukukan?"

"Siapa aku... Berani-beraninya membukukan karangan picisan itu,"

Aku melihatnya mengamati lagi tiga kertas puisi yang menarik perhatiannya. Dia berulang kali tersenyum dengan apa yang dibacanya.

"Kalau kau suka, kau bisa membawanya,"

Dia menatapku kaget.

"Karena mungkin dengan hanya melihat fotoku saja, akan sangat membosankan, jadi aku sarankan, bawalah karangan milikku, mana saja yang kau suka."

"Bolehkah?"

Aku mengangguk.

"Terima kasih. Aku akan menyimpannya dengan baik,"

Lalu, aku teringat sesuatu.

Aku mengambil dompetku dan mengambil secarik foto keluarganya. Aku mengadahkan kedua tanganku.

"Apa, kau punya, fotomu sendiri, yang lebih besar? Kau tidak mau aku melupakanmu, kan, apalagi kalau kau nanti akan kembali ke asrama!"

Dia tertawa lagi, lalu mengangguk. Dia juga mengeluarkan dompetnya, lalu memberikan pas foto nya. Menggunakan seragam sekolah lengkap yang sangat keren.

Jauh berbeda dengan seragam sekolahku. Pas foto milikku saja terlihat seperti orang yang sedang menahan sakit punggung. Sangat berbeda.

Benar-benar aneh kenapa pas foto ini tampak begitu tampan.

"Wah... Memangnya tidak apa, kalau aku menyimpan ini?"

Dia mengangguk.

"Tentu saja! Pastikan kau tidak menghilangkannya, sampai nanti, yang kau simpan, adalah foto kita berdua."

*

precious encounter. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang