Belantara Maningsraya.
Malam semakin kelam. Rasa sakit hati akibat hinaan Prabu Duryadana yang mengatakan pendeta Durna tidak memberikan sumbangsih apapun terhadap Astina, membuat sang Panglima Perang Kurawa meninggalkan pesanggrahan Bulupitu.
Dengan perasaan terhina, Durna terus berjalan menembus gelapnya hutan rimba. Langkahnya semakin jauh meninggalkan Kuru Setra. Hingga ia sampai di tengah belantara Maningsraya.
Berhentilah sang pendeta di sebuah pohon trembesi yang rindang. Segera ia melakukan tapa brata. Merenungi segala tingkah lakunya selama beberapa hari ini.
Dalam keheningan Maningsraya, seluruh indera duniawi senopati tua itu dimatikan. Matanya terpejam, pendengarannya ia buntukan. Pikirannya hanya tertuju ke alam kesunyian. Sukma pendeta Durna pun perlahan melepaskan diri dari raga. Terbang menembus dimensi lain. Menemui gurunya yang telah lama abadi di alam Sunyaruri. Ramaparasu.
Sang guru terkejut. Bambang Kumbayana (nama kecil pendeta Durna) yang dahulu semasa muda gagah nan perkasa, kini datang dengan terlunta-lunta. Langkahnya sempoyongan, tangannya menggapai-gapai setiap benda yang bisa dijadikan pegangan. Menggambarkan raga Durna di Arcapada (dunia) sedang meratapi nasib. Memohon pertolongan kepada Ramaparasu.
"Sembah bhakti hamba haturkan kepadamu, guru." ucap Bambang Kumbayana.
"Kumbayana, ada apa gerangan engkau menemuiku?" tanya Ramaparasu.
"Hamba sedang terpuruk di Arcapada, guru." Bambang Kumbayana memulai ceritanya.
"Saat ini sedang terjadi perang besar di Kuru Setra. Hamba berada pada pilihan yang sulit. Baik Pandawa maupun Kurawa yang bertikai, sama-sama murid kinasih hamba." Lanjutnya.
"Sebagai seorang panglima perang Kurawa, hamba telah berusaha memberikan segala pengabdian terbaik untuk Astina. Namun, hingga hari ini belum ada setetes darahpun dari patriot Pandawa yang mengalir oleh senjata Kumbayana. Wajar kalau Duryudana menghancurkan harga diri hamba dengan menyebut sebagai senopati tak bernyali!" jelas Bambang Kumbayana.
"Apa yang kau ragukan? Segala kesaktian, kedigdayaan, ilmu kanuragan telah kuberikan kepadamu, Bambang Kumbayana." Jawab Ramaparasu.
"Hamba bimbang. Haruskah meneruskan peran sebagai panglima perang di kubu yang durjana? Mengangkat senjata untuk membunuh murid-murid kinasih hamba dari Pandawa?" ratap Bambang Kumbayana lagi.
"Lalu, apa yang sebenarnya kau inginkan?" tanya Ramaparasu lagi.
"Hamba merasa sudah tak sanggup menanggung peran ini. Ingin sekali rasanya Kumbayana menyusul guru ke Sunyaruri. Mengabdi selamanya kepadamu, guru. Damai dan abadi disini!" tutup sang panglima perang Kurawa.
"Dengarkan, Kumbayana. Jika memang tekadmu sudah bulat ingin menuju alam keabadian, janganlah engkau melakukannya dengan jalan yang salah. Keputusasaanmu hari ini, justru akan membuatmu dikenang sebagai pecundang oleh Kurawa dan Pandawa." Tutur Ramaparasu.
"Kembalilah ke Arcapada. Datangi lagi Kuru Setra. Tunjukkan bhaktimu sebagai seorang senopati. Angkat senjatamu, Kumbayana. Jika engkau mati disana, itulah jalan suci bagi kesatria untuk menuju alam yang abadi ini!" lanjut sang guru suci.
Sesaat Bambang Kumbayana termenung. Ia meresapi kata demi kata yang baru diucapkan gurunya.
"Baiklah, aku akan menjalani semua yang guru titahkan. Sembah bhakti Kumbayana untuk guru Ramaparasu." Bambang Kumbayana mencium tangan gurunya.
"Kubekali engkau dengan sehelai bulu merak. Pusaka ini akan membuat ragamu tak terlihat oleh siapapun, selama engkau tak berucap sepatah kata saat membawanya. Tuntaskan bhaktimu sebagai penglima perang!" tutup Ramaparasu.
Seketika melesatlah sukma Bambang Kumbayana kambali ke raganya.
Saat membuka mata, senopati Kurawa itu telah menemukan tekad dan harga dirinya kembali.
Bahwa hidup dan mati sudah digariskan oleh Dewata. Pembedanya adalah apakah kita akan mati dengan jalan pecundang? Atau kesatria sejati?
*****
Patih Sengkuni dan Aswatama gembira bukan main, ketika di perjalanan mereka dicegat oleh pendeta Durna.
"Kakang Durna, kemana saja dirimu?" sapa Sengkuni.
"Kami mencarimu kemana-mana. Kita sedang goyah, kedigdayaanmu sudah ditunggu-tunggu bala Kurawa, kakang!" lanjut sang patih.
Pendeta Durna tersenyum. Ia hanya menepuk-nepuk pundak putranya, Aswatama yang mendampingi patih Sengkuni mencarinya.
"Aswatama, untuk sementara peranmu akan kugantikan. Menyingkirlah dari barisan perang." ucap Durna.
"Kakang Sengkuni, sebelum matahari terbenam esok hari, aku akan membuat Kuru Setra banjir darah dan air mata Pandawa!" sesumbar sang panglima perang.
*****
Bethara Surya sudah kembali menyemburatkan sinarnya. Menerangi tanah perang yang beberapa hari ini sudah penuh dengan bau anyir darah. Aroma busuk ribuan mayat.
Kembalinya pendeta Durna di pesanggrahan Bulupitu membuat pasukan Kurawa kembali terbakar semangatnya.
Sangkala kembali ditiup. Genderang perang ditabuh bertalu-talu lagi. Panji kedua pasukan berkibar-kibar diterpa angin padang Kuru Setra.
Kengerian terjadi disana, ketika tanpa rupa berkelebatlah sebuah senjata Jayangkunang menyambar-nyambar setiap tubuh prajurit Pandawa. Sang senopati renta juga sedang menggunakan ajian Laring Merak (bulu merak) pemberian gurunya. Ramaparasu.
Jayangkunang, pusaka berwujud keris yang mampu mengeluarkan cahaya bagai kobaran api senantiasa menghanguskan apa pun yang disentuhnya. Gerakannya meliuk-liuk kesana kemari. Terkadang mematikan sinarnya, untuk mengelabuhi pasukan Pandawa.
Sesaat Jayangkunang diredupkan dan mati. Tidak terlihat keberadaannya. Namun sesaat kemudian pusaka milik Durna itu telah menyala kembali di tempat lain dan mengamuk lagi dengan kobaran api. Terus berpindah-pindah posisi. Tubuh pembawanya pun tak terlihat mata telanjang.
Bambang Kumbayana, sang pendeta dari padepokan Sokalima hari itu menjelma bak Dewa Kematian. Ribuan prajurit Amarta roboh oleh amukannya.
Para punggawa Kurawa bersorak kegirangan. Kembalinya panglima perang tua ke pesanggrahan Bulupitu bukan hanya memberikan kemenangan besar. Tetapi ia juga mampu mengembalikan harga dirinya sebagai kesatria yang sempat dicap pengecut oleh Duryudana.
Ya, hari itu sang senopati agung berhasil membuktikan bahwa ia tak bisa dianggap sebelah mata. Bambang Kumbayana tetaplah mahaguru yang sakti mandraguna.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
BHARATAYUDA JAYA BINANGUN
Historical FictionCerita perang saudara antara Pandawa dan Kurawa, versi wayang purwa.