BHARATAYUDA DELAPAN - BANJARAN NARASOMA 2

866 28 2
                                    

Padepokan Argobelah, Flashback Masa Lalu Prabu Salya.

Bulan purnama perlahan menampakkan diri. Sinarnya yang temaram membelai setiap sudut Argobelah. Semilir angin kemarau ikut memadu cahaya Bethari Candra (Dewi Bulan) menerpa dedaunan pohon flamboyan yang tumbuh di halaman padepokan.

Kelopak bunga yang telah mekar sebagian jatuh ke tanah. Berwarna merah merekah.

Narasoma memungut sekuncup flamboyan. Di pegangya dengan posisi tangan tersembunyi dibelakang badannya.

Dari jarak sepuluh tombak, ia melihat Dewi Setyowati sedang berdendang di sudut serambi rumahnya. Entah kekuatan apa yang menyusupi Narasoma, hingga ia berani menghampiri putri sang Begawan.

"Setyowati, engkau lagi sendiri?" sapa Narasoma, lirih.

"Ah, Kakang Narasoma. Mengagetkanku saja. Iya aku lagi sendiri, ayahanda sedang tapa brata di biliknya. Mungkin sedang bertatap sukma dengan ibuku." Jelas Dewi Setyowati.

Istri dari Begawan Bagasptai adalah seorang bidadari, Dewi Darmastuti. Ia kembali ke Suralaya setelah melahirkan Dewi Setyowati.

"Bolehkah aku duduk di sebelahmu?" ucap Narasoma lagi.

"Iya, tentu saja boleh." Jawab Setyowati sambil tersenyum malu.

Senyuman yang kian membuat dada Narasoma bergemuruh tak karuan. Aliran darahnya seperti terpompa berlipat-lipat. Detak jantung sang putra mahkota Mandaraka naik turun tak beraturan.

"Setyowati, aku kemari hendak memberikan ini." Ia mengulurkan sekuncup kembang flamboyant.

"Ah ... " Setyowati menerimanya. Lagi-lagi menunduk malu.

Kini, keadaan menjadi terbalik. Dewi Setyowati yang ganti merasakan amburadulnya perasaan. Sukmanya terasa runtuh berkeping-keping oleh terjangan pesona Narasoma.

Bethari Candra semakin bersinar diatas Argobelah. Angin yang membelai dedaunan di halaman padepokan juga kian kencang. Kuncup-kuncup mekar flamboyan jatuh melayang-layang. Menimpa dua muda-mudi yang sedang berbalas kasih.

Sejak malam itu, putri Begawan Bagaspati senantiasa gelisah. Berhari-hari ia tak dapat tidur nyenyak. Setiap saat, ia sempatkan mencuri waktu untuk sekedar bisa melihat Narasoma yang sedang tekun ngangsu kawruh pada ayahnya.

*****

"Putriku Setyowati, beberapa hari ini ayah melihatmu seperti sedang sakit. Tingkah lakumu tidak seperti biasanya. Ada apa gerangan?" Tanya Begawan Bagaspati ketika ia sedang bercengkerama di serambi padepokan bersama putrinya.

"Aku baik-baik saja, ayahanda." Setyowati mengelak.

"Jangan bohong, sejatinya aku mengetahui apa yang sedang kau alami. Jujurlah pada ayahmu, Setyowati." Lanjut sang Begawan.

Dewi Setyowati hanya menunduk. Perasaannya masih tidak menentu. Antara menyembunyikan malu dengan keinginan untuk memohon pertolongan kepada ayahnya. Tentang rasa yang akhir-akhir ini mengusik ketenangan tidurnya.

"Iya ayahanda, aku sedang bimbang." Setyowati memberanikan diri.

"Hemmm ... ceritakanlah putriku." Jawab Begawan Bagaspati.

"Sejak kedatangan kakang Narasoma di padepokan kita, ia telah mengusik ketenangan hidupku. Ia telah membuat putrimu ini tak bisa tidur dan tak enak makan." Lanjut Setyowati.

"Aku menderita dengan pesona kakang Narasoma, ayahanda. Ia telah merebut hatiku." Tutupnya.

"Engkau tidak salah, putriku. Usiamu memang telah memasuki masa itu. Masa dimana dirimu butuh pendamping hidup." Hibur sang ayah.

"Panggil Narasoma kemari!" Ucap Begawan Bagaspati.

*****

Begawan Bagaspati duduk bersebelahan dengan Dewi Setyowati. Narasoma yang dipanggilnya duduk bersila dihadapan dua orang ayah dan anak itu. Sementara Dewi Setyowati hanya menunduk. Tak sanggup menatap Narasoma.

"Ada apa gerangan, guru memanggilku?" Tanya Narasoma sambil menghaturkan sembah. Tanda bhakti seorang murid kepada gurunya.

"Muridku Narasoma, putriku Setyowati ini sedang sakit. Aku membutuhkan pertolonganmu untuk mengobatinya." Ucap sang Begawan.

"Duh guruku, apakah pendengaranku sedang terganggu?" balas Narasoma.

"Guruku sang Begawan Bagaspati adalah seorang pertapa linuwih kadigdayan. Kalau hanya mengobati sakitnya Dewi Setyowati tentu semudah mengedipkan indra penglihatan. Kenapa harus memanggil muridmu yang tak bisa apa-apa ini?" Lanjut putra mahkota Mandaraka.

Begawan Bagaspati hanya tersenyum. Sebentar ia melirik ke arah putrinya yang terlihat semakin pucat pasih wajahnya. Meski warna merah kian merona di pipi Setyowati.

"Putriku ini dilanda sakit asmara. Derita itu dialaminya sejak bertemu denganmu di padepokan ini. Obatnya hanya ada pada dirimu. Ia bisa sembuh jika gemuruh hatinya teredam oleh balasan kasihmu, Narasoma." Jelas Begawan Bagaspati.

"Sebagai ayahnya, aku berharap putriku tidak bertepuk sebelah tangan. Semoga engkau mengabulkan permohonan gurumu ini." Tutup sang Begawan.

Mendengar ucapan pertapa tua berwujud raksasa dengan kesan merengek-rengek, tumbuh kembali sifat congkak dari Narasoma yang dulunya adalah seorang pemuda ugal-ugalan. Dimanja dengan gelimangan harta di istana Mandaraka.

"Guru, perkenankan muridmu ini mengajukan sebuah cangkriman terlebih dulu. Jika Begawan bisa memecahkannya, hari ini juga akan kupersunting Dewi Setyowati!" Tantang Narasoma.

"Silahkan sampaikan, apa Cangkrimanmu itu, Narasoma?" jawab Begawan Bagaspati.

"Sekuncup flamboyan sedang mekar di musim bunga. Warnanya yang merah merekah mengundang hasrat seekor lebah. Sang lebah yang sedang terpuruk kehabisan daya, sangat menginginkan bisa menghisap sari kembang flamboyan. Namun, seekor ular besar berbisa raksasa melilit pepohonan flamboyan untuk melindunginya, hingga di ujung tangkai bunganya." Ucap Narasoma dengan tersenyum kecil.

"Apa yang sebaiknya terjadi, agar sang lebah bisa menghisap sari kembang flamboyan?" Tutup Narasoma.

Begawan Bagaspati tersentak!

Sebagai seorang pertapa yang memiliki kedigdayaan dan mata batin tajam, ia dengan mudah memahami maksud Narasoma.

Sang Begawan juga tahu siapa sesungguhnya murid yang telah memikat hati putri semata wayangnya itu. Namun karena begitu besar sayangnya Bagaspati kepada Setyowati, ia pun menyanggupi tantangan Narasoma.

"Putriku Setyowati, siapkan segala sesaji dan upo karti upacara Pralaya. Sebentar lagi aku akan bertapa brata bersama murid kinasihku Narasoma ini!" Ucap Begawan Bagaspati.

Dewi Setyowati dengan polos dan lugunya segera menuruti permintaan ayahnya. Segala keperluan untuk upacara kematian ia siapkan di serambi padepokan.

Sementara BegawanBagaspati bersama dengan Narasoma memasuki bilik. Hanya berdua, tak ada seorangpun yang diperbolehkan mengikutinya.


BHARATAYUDA JAYA BINANGUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang