"Pangeran, sejatinya aku mengetahui siapa dirimu. Engkau adalah putra mahkota dari Prabu Mandrakeyswara, Prabu Mandrapati. Saudara seperguruanku dahulu." Begawan Bagaspati memulai pembicaraan empat mata dengan Narasoma.
"Aku juga tahu, engkau tentu akan malu memiliki mertua yang berwujud menakutkan sepertiku. Sebagai pewaris tahta Mandaraka, pasti tidak ingin kehormatan Pangeran ternoda karena beristrikan putri dari bangsa raksasa jelek." Lanjut Begawan Bagaspati.
"Kembang flamboyan yang sedang merekah adalah putriku Setyowati. Lebah yang berhasrat mengisap sari sang flamboyan adalah dirimu. Sementara seekor ular berbisa yang melilit dan menjaga flamboyan adalah diriku." suara sang Begawan kini terdengar mulai lirih. Sebentar ia menghela nafas, lalu menatap kembali ke arah Narasoma yang hanya menundukkan kepala.
"Jawaban dari akhir cangkrimanmu adalah ular berbisa itu harus disingkirkan. Aku rela melepaskan sukma, demi putri semata wayangku, Pangeran!" Tutup sang Begawan.
Narasoma gemetaran.
"Kini kita hanya berdua. Tak ada seorangpun yang melihat kita. Segera lakukan apa yang menjadi jawabanku tadi. Akhiri hidup gurumu yang sudah renta ini!" Perintah Begawan Bagaspati.
Tubuh putra mahkota Mandaraka semakin menggigil.
Perlahan tangannya mencabut sebuah pusaka yang terselip di pinggang. Ditatapnya sosok raksasa tua di hadapannya dengan penuh rasa bersalah dan ketakutan. Pertapa tua yang sebenarnya sebentar lagi akan menjadi mertuanya.
"Segera tancapkan pusakamu di dadaku, Pangeran Narasoma!" Tegas Begawan Bagaspati.
"Jangan tunda lagi, selagi Setyowati tidak mengetahui!" sang Begawan sedikit membentak, ketika ia melihat Narasoma hanya gemetaran memegang pusakanya.
Narasoma memejamkan mata. Dihunjamkannya sebilah keris berlekuk tujuh tepat di dada sang pertapa.
Tidak mempan!
Dada Begawan Bagaspati tidak tergores sedikitpun. Justru sebaliknya, sebuah cahaya merah terpancar dari dada sang pertapa. Secepat kilat sinarnya menyambar tubuh Narasoma hingga terdorong jauh ke sudut bilik.
Begawan Bagaspati buru-buru meraih tubuh muridnya. Lalu membantunya bangun dan duduk kembali.
"Maafkan, Pangeran. Aku lupa kalau dalam tubuhku masih menyatu Ajian Candra Birawa!" Jelas sang Begawan.
"Wujud dari Ajian Candra Birawa ini adalah sosok makhluk kerdil. Ia akan keluar jika tubuhku tersakiti. Jumlahnya kian banyak kalau musuh semakin gencar menyerangnya." Lanjut Begawan Bagaspati.
Pangeran Narasoma masih memegangi dadanya yang terasa sakit terkena sambaran cahaya merah dari Ajian Candra Birawa.
"Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku sudah terlanjur menyanggupi meminang putrimu Setyowati!" jawab Narasoma.
"Akan kulepaskan Ajian Candra Birawa dari tubuhku. Bukan iyu saja, ilmu kadigdayan ini juga akan kuwariskan kepadamu." Ucap Begawan Bagaspati.
"Benarkah?" Jawab Narasoma.
"Benar Pangeran Narasoma, bersiaplah!"
"Ngger, keluarlah. Menyatulah pada tubuh bendaramu yang baru. Pangeran Narasoma!" Ucap Begawan Bagaspati. Seperti memanggil kepada seseorang.
Terpancar kembali sinar merah dari dada Begawan Bagaspati. Cahayanya menyeruak keluar lalu berubah wujud menjadi sesosok makhluk kerdil.
"Aku tidak mau ikut bendaraku yang baru ini!" Ucap sosok kecil menakutkan itu.
"Dia tidak sepertimu, Begawan. Jauh dari sifat lelaku tapa brata dan tirakat. Aku pasti tersiksa hidup dalam tubuhnya!" lanjut Candra Birawa.
"Ketahuilah Pangeran, sifat dari Candra Birawa adalah kebalikan dari tubuh yang dihuninya. Jika kita kenyang, ia akan lapar. Kalau kita bersenang-senang, ia akan susah. Apakah engkau siap menjalani hidup dengan penuh kesabaran? Banyak prihatin dan berpuasa?" Tanya Begawan Bagaspati kepada Narasoma.
"Aku siap, demi memiliki ajian ini!" jawab Narasoma.
"Baiklah, aku titip putriku Setyowati kepadamu. Jagalah perasaannya. Dia sangat sejati mencintaimu. Pesanku hanya satu, jangan sesekali menduakan ketulusan kasihnya. Aku tahu, setelah ini engkau akan menjadi raja di Mandaraka. Syah-syah saja jika Pangeran Narasoma ingin mengambil selir lagi. Tapi kumohon engkau mengabulkan permintaanku ini!" Pesan sang Begawan.
"Aku berjanji akan menjaga Setyowati, raga dan perasaannya!" jawab Narasoma.
Begawan Bagaspati pun memberikan ajian pamungkasnya kepada sang menantu.
Seketika tubuhnya lenyap tak berbekas. Melesat terbang ke alam sunyaruri. Menyusul sang istri tercinta. Dewi Darmastuti, seorang bidadari yang telah pergi ke Suralaya setelah melahirkan Endang Pujawati, nama kecil Dewi Setyowati.
Sejak itulah, peringai Narasoma berubah. Ia menjadi kesatria yang penuh dengan lelaku tapa brata dan tirakat. Lebih sering mendekatkan diri untuk memuja Sang Pecipta.
*****
Narasoma memboyong Dewi Setyowati pulang ke Mandaraka. Kedatangannya disambut dengan sukacita oleh seluruh kerabat istana. Terutama ibunya, Dewi Tejawati dan adik kinasihnya. Dewi Madrim.
Tak lama setelah berkumpul lagi dengan keluarganya, ayah Narasoma, Prabu Mandrapati mangkat.
Sang putra mahkota pun dinobatkan sebagai raja baru di Mandaraka. Setelah naik tahta, Narasoma bergelar Prabu Salyapati. Dikenal dengan panggilan Prabu Salya.
Dari pernikahannya dengan sang permaisuri Dewi Setyowati, ia dikaruniai lima orang anak.
Putri sulungnya bernama Dewi Erawati, ketika dewasa dipersunting oleh Prabu Baladewa, raja di Negeri Mandura (kakak Prabu Kresna).
Putri kedua adalah Dewi Surtikanti. Ia diperistri oleh Karna Basusena, putra Dewi Kunti dan Bethara Surya yang menjadi Adipati di Awangga.
Putri ketiga, Dewi Banowati yang kelak menjadi permaisuri di Astina setelah diperistri oleh Prabu Duryudana.
Putra keempat Burisrawa. Dalam Bharatayuda ia mati terbunuh oleh Bima Kunting, Setyaki. Seorang Senopati Dwarawati yang berkoalisi dengan pasukan Pandawa. Baca ceritanya
Putra bungsunya bernama Rukmarata. Sejatinya ia adalah kesatria yang netral dalam Bharatayuda. Namun karena telah menelikung, ia mati oleh amukan Resi Seta.
Sementara adik Narasoma, Dewi Madrim dipersunting oleh seorang kesatria yang sedang mengembara.
Pengembara itu taklain adalah Prabu Pandudewanata, raja Astina. Kelak Prabu Pandu dan Dewi Madrimdikarunia dua putra kembar. Nakula dan Sadewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
BHARATAYUDA JAYA BINANGUN
Historical FictionCerita perang saudara antara Pandawa dan Kurawa, versi wayang purwa.