Dua Belas

629 80 10
                                    

"Sudah selesai ...,"

Rasa sakit di kepalaku tak kunjung membaik, malah rasanya semakin memburuk. Aku harus segera keluar dari gudang ini. Aku nggak mau terus terkurung di dalam sini sampai pagi menyapa. Kalau aku bisa keluar, langsung saja kubunuh Ertha. Bisa-bisanya dia mempermainkanku seperti ini.

Aku memandang jendela yang sudah aku ceritakan bagaimana kondisinya. Berharap aku bisa menemukan celah kecil di sana agar aku bisa keluar.

"Mungkin jika aku pecahkan jendelanya aku bisa keluar," pikirku sambil memandangi benda yang aku maksud.

Yang benar saja? Aku tidak akan bisa keluar lewat jendela. Jendelanya terlalu kecil. Kalau pun muat, suara pecahannya akan mengganggu tetangga.

"Aku bisa menunggu sebentar."

***

"Fel ... Feli ...,"

Seseorang memanggilku. Aku mengerjap beberapa kali untuk melihat siapa yang ada di depanku. Dia menggoyang-goyangkan pundakku beberapa kali sampai aku benar-benar tersadar.

"Ada apa?" tanyaku pada orang yang memanggilku, yang tak salah lagi adalah Ertha.

Dia menghela napas panjang lalu membuang muka dariku. "Nggak seharusnya kamu membiarkan tamu kelaparan di pagi hari. Dan nggak sewajarnya kamu tidur di sini. Cepat keluar," ucapnya sambil berjalan keluar.

Aku menatapnya jengkel. "Masa bodo. Mau kamu mati kelaparan juga bukan urusanku. kalau kamu memang lapar seharusnya kamu tidak mengurungku semalaman di sini, bodoh."

Dia tidak menghiraukanku. Dia membiarkan pintu dapur menganga lebar.

Saat aku masuk, Ertha sudah duduk manis di meja makan. Tapi ada yang aneh di sini, bercak merah apa yang aku injak sekarang? Ini tidak basah, sudah kering, bercaknya menyambung sampai ke lorong.

Aku menatap heran. "Apa yang terjadi semalam? Kau harusnya tahu karena kau yang ada di sini."

Ertha memainkan sendok di tangannya. "Yah ... hanya masalah kecil, kau tidak perlu memikirkannya. Aku sudah tuntaskan semalam," jawab Ertha.

"Aku tidak mengerti maksudmu."

"Simpel saja, mayat di kamarmu sudah kukubur semalam," jawab Ertha lagi.

"Bagaimana caranya?"

"Tarik saja mayatnya ke belakang, lalu kubur. Mudah, kan?"

Mataku membelalak besar. Jadi, bercak jalan darah ini, bekas mayat itu? Dia menariknya? Itu tidak mungkin. Itu hal yang mengerikan, menarik mayat tanpa kepala?

"Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Harusnya kau berterima kasih padaku dengan cara yang baik dan benar. Buatkan tamumu sebuah makanan yang lezat," perintah Ertha.

Aku berjalan tunggang-langang ke kulkas, berharap bisa menemukan sesuatu yang cepat dimasak. Aku tidak mengerti semua ini. Aku tidak mengerti dengan permainan Ertha. Aku memang tidak seharusnya mengikuti tata cara permainan miliknya.

Anak seumurannya seharusnya bermain boneka atau berlarian di luar rumah bersama anak-anak yang lain. Tapi dia malah seperti ini, bermain permainan yang benar-benar tidak masuk akal. Kau mengerti maksudku, kan?

Aku hanya mendapati 3 butir telur. Yah ... nggak masalah kalau aku memasak ini, kan? Lagi pun, bagus juga buat pertembuhan anak kecil.

***

Aku meletakan segelas teh hangat dan sepiring nasi dengan taburan telur orak-arik di hadapannya. Hanya itu yang dapat ku buat.

Ertha bermuka cemberut. "Kau bilang kemarin sore akan masak ayam? Kenapa sekarang malah telurnya?"

Aku memukul meja kuat-kuat. "Harusnya kau sedikit bersyukur aku masih mau membuatkan sarapan untukmu. Cepat makan! Jangan banyak omel. Kepalaku pusing," seruku sambil memegangi cangkir tehku.

Ertha tidak menghiraukan perkataanku. Dia menciduk sesendok nasi lalu memakannya dengan terpaksa.

Aku tersenyum tipis. "Aku mau menenangkan diri sebentar di loteng. Kalau sudah selesai kau bisa menghampiriku di sana. Tangga menuju ke loteng ada di ujung lorong yang dekat kamarku," kataku pelan. Lalu beranjak pergi dari tempat itu.

Sepanjang jalan aku hanya melihat bercak di sana-sini. Tidak bisa membayangkan bagaimana Ertha melakukannya. Apa dia melakukannya bersama si psikopat itu?

Aku menaiki tangga satu persatu perlahan-lahan, takut kalau tiba-tiba aku tergelincir ke bawah dan memperburuk kepalaku.

Aku duduk di salah satu kursi di antara rak-rak buku. Di sini tempat yang dulu, dulu, menjadi tempat aku bercanda dengan ayah. Dulu. Aku meletakan secangkir teh ke meja, memandangi wajah kusutku yang terpantul di permukaan teh.

"Aku memang bodoh. Seharusnya aku sejak awal tidak harus mempercayai anak itu. Dia membuat kepalaku hancur. Ah ...."

"Sedang membicarakanku ya?" suara anak itu membuat aku terpanjat kaget.

Aku menoleh ke belakang. "Ya. Omong-omong kau cepat sekali makannya?"

Ertha melangkah, tapi bukan mendekatiku, tapi mendekati rak buku di depanku. "Makan? Aku malah memuntahkannya tadi," jawab Ertha ringan, seringan ia mengayunkan kayu ke kepalaku.

Apa yang dia bilang barusan? Memuntahkannya?

"Hei, seharusnya kau tidak melakukan itu, anak kecil. Kalau lambungmu marah bagaimana?" aku terkekeh.

Dia memandangku sinis, lalu duduk di kursi yang ada di seberangku. "Kubilang, ya, aku sudah tidak kuat lagi."

"Maksudmu?"

"Kau akan tahu nanti."

"Feli! Feli! Feli!" panggil seseorang dari luar. Kalau di tebak dari gaya bicaranya, dia adalah Tiffany.

"Aku lupa!" seruku sambil beranjak berdiri.

Aku sudah melupakan sesuatu. Aku sudah bilang kalau akan menemui sepupuku di cafe dekat halte jam 9. Apa aku terlambat?

Aku berlari menuju tangga. Tapi...

Bruk!

Seseorang mendorongku hingga aku terjatuh dari tangga ke lantai paling bawah di ujung tangga. Aku hanya bisa melihat samar-samar Tiffany membuka pintu rumahku lalu berlari mendekatiku. Lalu...

Gelap.

***

Halo. Terima kasih sudah sempat baca ^^

Vote dan komentar dibutuhkan untuk kelanjutan cerita.




Psychopath ChildTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang