Delapan Belas

432 63 7
                                    

Kaki kiriku rasanya tidak keruan. Aku dipaksa harus berjalan cepat, padahal itu sangat tidak memungkinkan bagiku. Apalagi sewaktu menaiki tangga, setengah mati rasanya. Mungkin, beberapa saraf di paha kiriku sudah putus dan tak dapat menyatu kembali.

Aku terjatuh setelah menaiki anak tangga ke delapan, untung kaki kananku dapat menyeimbangkan. Sebelum kembali melangkah, aku menatap Ertha sejenak. Ia hanya tersenyum keji sedangkan aku ingin menangis sebanyak air di samudra.

Aku menghela napas kuat ketika sampai di akhir anak tangga. Ruangan perpustakaan milik ayahku gelap, senyap, dan terasa begitu asing bagiku. Jendelanya menganga lebar membiarkan cahaya temaram masuk memenuhi ruangan ini. Seseorang dengan wajah yang tertutup rambut panjangnya menunduk lemas tanpa bereaksi sedikit pun.

"Apakah dia 'orang itu'?" pikirku dalam hati.

Hatiku berdegup kencang ketika aku mempertajam pengelihatanku. Semakin membuatku panik akan semua hal ini.

Orang yang sedang duduk di sudut sana bukanlah 'orang itu'.

Aku ....

Mengenalnya ....

Dia ....

Ini tidak mungkin terjadi. Pasti ini mimpi.

"Tiffany!" seruku seraya menyeret kaki kiriku melangkah mendekati sepupuku yang malang itu.

Tiffany terikat di salah satu bangku perpustakaan ayahku. Wajahnya tertunduk lemas, matanya menitikkan air mata, mulutnya hanya diam tak menanggapi seruanku, di pipinya ada sedikit goresan yang mengeluarkan darah merah miliknya.

Sepupuku itu menatapku dengan tatapan kosong. "Fe ...."

Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ada Tiffany di sini?

"Ertha!" panggilku dengan bibir yang bergetar. Aku tidak bisa mengatur emosi dan ketukan napasku. "A-apa maksudnya semua ini? Kenapa sepupuku bisa berada di sini?" tanyaku tergesa-gesa.

Ertha nyengir lebar kemudian mempersilakan aku untuk duduk dan menikmati apa yang nanti akan ia katakan. "Santai saja. Jangan buat ini sebagai sebuah beban. Pikir saja ini sebagai bonus atas kehadiranku di sini," ucapnya.

Aku terus menatap Tiffany yang terlihat tak berdaya. Aku duduk di seberang sepupuku itu yang dipisahkan dengan sebuah meja panjang, sedangkan Ertha ada di antara kami.

"Kan aku sudah bilang sebelumnya, akan ada satu orang lain," sambung Ertha.

"Jadi yang kau maksud itu ... Tiffany?" tebakku.

Ertha mengangguk mantap. "Memang siapa lagi?"

Aku mengernyit. "Kukira ...," aku terhenti.

"Kau kira yang kumaksud adalah 'orang itu', kan?" sentak Ertha di sela-sela jeda kalimatku yang terhenti.

Aku mengangguk lemas.

Dengan anggukanku itu, Ertha tertawa puas selama beberapa detik lamanya, dia menyeka air matanya. Bukan air mata kesedihan, tapi air mata kebahagiaan. "Ah, Feli ternyata bukan orang yang peka terhadap sesuatu, ya?"

"Tiffany ... apa kau tahu sesuatu?" tanyaku.

Tidak ada sahutan darinya.

Ertha beranjak berdiri. Suara kursi yang menggesek lantai yang memekakan telinga itu menggema ke seluruh penjuru ruangan. Ertha melangkah perlahan namun pasti ke arahku. Tangan mungilnya membelai rambutku sambil tersenyum. Senyumannya itu membuat mataku ingin keluar saja daripada harus menatapnya lebih lama. Anak itu mengikatkan tangan dan kakiku ke kursi kemudian setelah itu, merangkul leherku.

"Ini menyenangkan!" serunya seperti anak kecil kebanyakan. Ia melirikku dari samping. "Apa kita sudah siap untuk bermain?" tanyanya.

"Tidak sebelum kau menjelaskan semua ini," aku menentang.

Ertha melepaskan rangkulannya lalu kembali ke tempatnya semula dengan raut wajah kesal. "Baiklah, baiklah. Akan kuturuti permintaanmu, Kak Feli."

"Fel ...," desah Tiffany lemah.

Aku langsung menatap sepupuku itu cemas. "Apa kau baik-baik saja?"

"Tidak juga," sahutnya.

"Ayolah, jangan mengulur waktu. Atau aku tidak akan menjelaskan semua ini!" ancam Ertha.

"Aku akan mendengarkannya. Cepat jelaskan," pintaku.

Ertha tersenyum. "Dari mana aku harus menjelaskan, ya? Aku juga bingung," Ia tertawa lagi.

"Dari perempuan yang mati di kamarku beberapa waktu lalu. Apa kau ada di balik semua itu, Ertha?" tanyaku.

"Seorang perempuan mati di kamarmu, Feli?" kata Tiffany bersemangat, bukan, melainkan penasaran.

Aku menagguk.

"Tentu saja aku ada di balik itu semua. Karena ...," ia memberi jeda. "AKU YANG MEMBUNUHNYA," sambungnya dengan ringisan jahat.

Aku membelalak. "Kau ... jujur?"

Dengan bangganya Ertha mengakui itu.

"Aku sungguh tidak mengerti," keluh Tiffany. "Sudah kubilang kepadamu saat di rumah sakit, Fel, anak kecil di rumahmu itu aneh."

"Aku tidak pernah menganggapnya seperti itu, Sepupuku," kataku kaku.

"Terima kasih kau sudah menganggapku aneh Tiffany. Ternyata sepupumu itu lebih peka daripada dirimu, Kak Feli."

"Lalu, siapa 'orang itu' sebenarnya?" aku kembali bertanya.

"Aku," jawab anak itu.

"Apa?!" hentakku. "Ja-jadi, se-selama ini, kau hanya ... mencoba mengincarku?"

"Tentu saja," jawabnya. "Bukan mengincar, sih, lebih tepatnya, aku hanya ingin bersenang-senang bersamamu. Itu saja cukup bagiku," sambung Ertha. Dia kembali berdiri dan mendekatiku lagi. "Oh, ayo lah, aku sudah tidak sabar lagi untuk bermain bersama kalian."

Jantungku berdegup tidak beraturan ketika Ertha memegangi garpu yang masih tertancap di paha kiriku.

Dan ...

CRAT...

Aku menahan rasa sakitnya ketika Ertha mencoba menarik garpu yang masih tertancap itu. Aku mencoba untuk tidak menjerit. Anak itu mengulanginya lagi.

"Cukup kuat juga, biar kulepaskan."

"A!" aku menjerit kesakitan. Dengan kuatnya Ertha menarik garpu itu. Beberapa percikan darah mendarat di wajahku ketika garpu itu berhasil lepas dari pahaku. Rasa sakit yang kurasakan  semakin memburuk.

"Kita akan bermain dengan ini," ucap Ertha. "Sebuah permainan yang menyenangkan, biasanya dimainkan dengan pisau, tetapi ... aku menggunakan garpu supaya lebih menyenangkan, ya, kan?"

"Permainan apa itu?" tanyaku.

"Knife game song."

Knife game song? 

Aku ...

Pernah mendengarnya ...

Dan tak mau ...

Mendengarnya lagi. CUKUP!

***

Terima kasih yang sudah mendukung saya :D YEY!

Jangan lupa vote dan komen, ya! Masih berlanjut... Sampai jumpa part yang akan datang.


Psychopath ChildTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang