Dua Puluh

1.5K 127 8
                                    

"JANGAN!"

Aku berteriak sekuat yang kubisa, terasa sekali kalau pita suaraku sepertinya putus. Mataku hanya menitikkan air mata ketika kulihat Ertha sedang mencoba menancapkan garpu yang ia pegang ke mata Tiffany.

Tapi sepupuku itu berhasil mengelak serangan Anak Brengsek menggunakan tangannya yang masih mengucurkan darah. Tiffany memandangi Ertha geram kemudian dengan cepat ia mendorongnya jatuh ke lantai.

"Sebenarnya apa maumu?" tanya sepupuku itu santai. Santai sesantai-santainya, dia terlihat tidak panik sedikit pun.

Sedangkan aku hanya bisa membeku, membiarkan keringat dingin menyusuri pipiku. Dadaku rasanya sesak sekali, kepalaku terasa pening, lututku gemetaran, dan aku tak tahu harus berbuat apa.

Bodohnya aku. Kenapa aku bisa seperti ini? (salahin yang buat cerita sono :V)

Ertha bangkit kemudian membersihkan celananya. "Mauku? Ayo lah, sedari awal aku sudah memberi tahu kalian apa mauku. Atau jangan-jangan, kalian tidak mendengarkan keinginanku?"

"Pembunuh sepertimu seharusnya pergi ke neraka!" umpatku. Padahal aku tahu itu tidak ada artinya dan tidak akan mempengaruhi hasrat membunuh Ertha. Tapi hanya itu yang aku bisa lakukan. Menjerit, menjerit, dan menangis.

"Aku?"

"Iya! Kamu! Bocah sialan!" lagi-lagi aku hanya bisa mencemooh. "Sebenarnya apa yang orang tuamu didik kepadamu? Atau mereka juga sepertimu? Atau mereka sekarang sedang dipenjara karena kasus pembunuhan berantai? Dan kau ikut-ikutan pekerjaan mereka?"

Ertha tertawa melengking tinggi. "Aku tidak punya orang tua. Mereka membuangku dan terus-terusan menggunjingku sebagai anak terkutuk. Yah, mau bagaimana lagi, aku sudah tidak kuat, jadi, kubunuh saja mereka," kata Ertha dengan bangganya.

"Dasar anak tidak tahu diuntung!" lagi-lagi, aku tidak bisa mengendalikan egoku sendiri. "Kau seharusnya bersyukur masih memiliki orang tua, tapi kenapa kau malah membunuh mereka?! Aku bahkan menginginkan orang tuaku hidup kembali dan menemani hari-hariku. Kau memang anak terkutuk!"

Anak itu lagi-lagi tertawa padahal dari perkataanku tidak ada yang sama sekali patut ditertawakan. "Jadi, kau ingin bertemu keluargamu lagi?" tanyanya.

"Tentu saja!"

"Biar aku mengabulkannya. Tidak perlu susah-susah menghidupkan mereka lagi, aku cukup membunuhmu dan kau bisa bertemu mereka di surga, kan?" komentar Ertha.

Ertha meraih garpunya yang sempat terlempar jauh dari tempat ia terjatuh. "Biarku jelaskan. Jadi, kepala yang kau lihat di dalam koperku itu adalah kepala orang tuaku dan satu korban yang kau saksikan kematiannya."

"BOCAH SIALAN!" Aku memberontak sambil berusaha melepaskan tanganku yang terikat dengan tali yang sangat kencang.

"Oh, sabar-sabar. Aku akan segera membunuhmu agar kau bisa bertemu dengan orang tuamu. Tetapi tunggu dulu, aku ingin bersenang-senang dengan sepupumu yang cantik ini, Feli," ucap Ertha sambil membelai pipi Tiffany --menjijikkan.

Tiffany hanya memandangi Ertha dengan sorot mata yang begitu tajam. Ah, entah imajinasiku atau sepupuku itu memang punya bola mata berwarna merah. "Apa maumu, hah?" tanya Tiffany masih dalam keadaan yang begitu tenang.

"Bermain denganmu," jawab Bocah Sialan.

Aku menggesek-gesekkan tali yang mengikat tanganku dengan kuat, berharap talinya akan putus dan aku dapat menghentikan Ertha agar ia tidak mengulangi hal yang dia perbuat, yaitu, menancapkan garpu yang ia pegang ke mata Tiffany.

Tebakkanku benar, Ertha sudah bersiap-siap dengan garpunya. Dia tersenyum psikopat seraya mengayunkan tangannya ke atas. Beberapa detik kemudian, dia melempar ayunannya itu ke arah mata Tiffany.

Aku menghela napas lega saat melihat Tiffany dapat mengelak serangan Ertha. "Kau harus belajar menjadi psikopat yang baik."

Namun, aku bisa melihat ada beberapa luka lebam di wajah Tiffany, juga lengan atasnya. "Kau terluka Tiffany? Mukamu lebam sekali," tanyaku sedikit panik.

Sepupuku itu memandangiku sejenak. "Aku dipukul Bocah Sialan ini saat hendak mengunjungimu lagi, dia menarikku paksa keluar mobil dan langsung memukuliku hingga aku lemas. Kau tidak sadar itu?"

Aku menggeleng.

Tetapi, percakapan antara aku dan Tiffany barusan membuka kesempatan Ertha untuk melukai Tiffany. Dan ....

CRAT

Hal buruk ini terulang kembali.

***

Nyahahahaha :V *ketawagakjelas

Nggak tahu harus bilang apa, adegannya aku nggak bisa buat yang jos, er, maksudnya yang sadis. Ah, bodo amat.

Yang masih mau lanjutannya vote dan komentar, yo? Kalo nggak,  aku ngambek. :V








Psychopath ChildTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang