Empat Belas

506 74 3
                                    

"Beneran, nih, lo baik-baik aja kalo gue tinggal di rumah sendirian?" tanya Tiffany sesekali kalau aku merengek minta diantar pulang ke rumah secepatnya.

Dia sendiri tahu kalau di rumahku sedang ada tamu -padahal aku tidak pernah menganggapnya sebagai seorang tamu- yang benar-benar membutuhkan kehadiranku sekarang. Bahkan dokter bilang aku sudah boleh pulang karena kondisiku beberapa jam terakhir ini tidak begitu buruk.

Aku hanya tidak ingin kalau Tiffany tahu aku sedang di incar seorang psikopat yang tidak jelas keberadaannya itu. Aku nggak mau sepupuku yang baik hati itu terlibat dalam permasalahan yang nggak jelas ujungnya ini. Lagi pun, kalau aku tidak segera kembali ke kediamanku, bisa saja Ertha membawa pergi semua harta benda di rumahku.

Kadang-kadang aku berpikir untuk tinggal bersama keluarga Tiffany, bukan, lebih tepatnya aku sering dipaksa untuk tinggal bersama mereka. Jujur saja aku memang menginginkannya tapi aku tidak ingin merepotkan mereka, ditambah cerita Tiffany kalau orang tuanya sering bertengkar karena masalah uang. Aku jadi enggan untuk tinggal bersamanya.

Mereka memang keluarga yang benar-benar kaya -bagiku. Punya rumah mewah, baju mewah, kendaraan mewah semua bisa dibilang mewah di depan mataku. Dengan senang hati, mereka memberi uang bulanan kepadaku yang yatim piatu ini. Tidak tanggung-tanggung, mereka memberiku uang 5 juta per bulan -kadang  lebih- yang itu benar-benar banyak buatku.

Tiffany bahkan merelakan uang jajannya  bulan ini untuk membayar semua administrasi rumah sakitku. Saat kutanya kenapa nggak memberi tahu orang tuamu saja, dia malah beralasan karena takut mereka akan terganggu. Bahkan saat sepupuku itu mencoba menelpon ayahnya, panggilannya tidak kunjung di jawab, katanya, handphone ayahnya sedang sibuk.

Dia juga bilang, sering sekali menelpon orang tuanya saat mereka sedang bertengkar, dia jadi trauma.

Tapi....

Dia tetap baik hati.

***

"Serius, nih, Fel?" tanyanya sambil terus menyetir mobil.

Aku mengangguk yakin sambil tersenyum lebar.

Tiffany menghela napas pasrah. "Oke deh kalo itu emang mau lo," ucapnya pelan lalu menghela napas lagi, lebih panjang. "Kalo ada apa-apa telepon gue aja, ya?"

"Iya-iya," jawabku santai.

Tiffany memberhentikan mobilnya perlahan di bahu jalan lalu memandangku lekat-lekat. Ekspresi Tiffany yang tidak biasa malah membuatku ngeri.

Beberapa detik dia hanya seperti itu lalu mulai membuka mulut, tapi menutupnya kembali. Dia beralih pada pedal gas di mobil lalu mulai menjalankan mobilnya kembali. Kukira ada sesuatu yang ingin disampaikannya.

Beberapa saat setelah ia menggerakan mobilnya lagi, dia mulai berbicara. "Gue cuman nggak pingin sesuatu yang buruk terjadi sama lo, terlebih soal tamu lo itu.  Kalo emang nggak bisa jaga diri mending lo tinggal sama gue," ujarnya.

Aku menunduk dalam-dalam. "Bukannya gue nggak mau tinggal sama lo, Fan. Gue nggak enak aja sama orang tua lo itu. Takutnya nanti malah nambah masalah."

"Hm ...," gumam Tiffany sambil mengangguk-angguk memberi kode kalau dia mengerti.

"Haha, lagian lo juga dah bener-bener nolongin gua. Itu aja cukup buat gue."

Tiffany menarik rem tangan lalu memandangku dengan senyum lebar. Aku melihat sekitar, ternyata, aku sudah sampai di depan rumahku yang benar-benar gelap, sepi, dan ... menyeramkan.

"Mau mampir nggak?" tawarku sebelum aku keluar mobil.

Sepupuku itu menggeleng cepat. "Nggak, deh. Lagian udah larut malem gini nanti malah gue dicariin orang tua gue," elak Tiffany sambil tertawa renyah.

"Makasih banget, ya. Gue nggak nyangka punya sepupu sebaik ini," sambungku sambil terus mengembangkan senyum lebar, mencoba memberi tahu padanya kalau aku sangat bahagia.

Dia mengedipkan sebelah matanya. "Oke, deh. gua cabut dulu ya! Dada!"

"Dada!" sahutku balik.

Betapa senangnya aku punya sepupu sebaik dirinya. Tapi merasa bersalah juga karena aku sudah banyak merepotkannya. Ditambah lagi, dia memberiku sebuah amplop yang isinya uang segepok banyaknya. Kata Tiffany, uang yang kupegang sekarang ini bukan uang bulanan seperti biasanya, ini uang hasil tabungan Tiffany selama satu tahun, dia mengumpulkannya untuk diberikan padaku. Dia berpesan agar aku menggunakannya untuk membeli ponsel agar aku bisa terus mengabarkan semua keadaanku.

Aku dengan bangganya membuka pintu rumahku. Aku memang benar-benar senang hari ini dan langsung ingin berencana akan membeli ponsel besok. Tapi, aku mendapat sebuah kejutan aneh lagi dari Ertha.

Dengan tangan kecilnya itu, dia memegang sebuah pisau yang biasa digunakan para koki untuk memotong daging. Kuharap kau mengerti maksudku.

Ertha menyeringai lebar. "Oh, sudah pulang."

***

Hai :D
Maaf lho buat yang udah nunggu lama sekali *mengkhayal

Terima kasih yang masih pantengin sampe sini. Kalau  saran atau kritik tinggalin aja di komen :D
Jangan lupa votenya ya~!



Psychopath ChildTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang