15. Fragmen-Fragmen Bening yang Terhempas

8.7K 771 79
                                    

[Dafa]

    “Jangan datang ke rumah kalau kamu masih orang yang sama!”

    Ultimatum Bela padaku tiga hari lalu masih teramat segar. Sedangkan aku masih orang yang sama, masih Dafa yang tidak ingin berbagi masa lalu—yang tentu saja akan dilucuti oleh luka—pada Bela. Masih Dafa yang bersikukuh tidak akan membahasa apa pun yang berkaitan dengan masa lalu.

    “Assalamu‘alaikum, Bang. Dari mana saja?” Seorang laki-laki berambut spike dengan garis wajah mirip Bela menyambutku di depan pintu yang terkunci saat aku pulang dari kampus. Biasanya ia cengar-cengir, tapi kali ini wajahnya sedikit pias.

    “Bang, Bels keguguran,” ucap Rio tanpa menungguku menjawab salamnya.

    “Innalillah … kapan?”

    “Kemarin, Bang. Hape Bang Dafa nggak bisa dihubungi. Alhamdulillah Bels udah baik-baik aja, Bang. Udah dikuret. Tapi sekarang masih di rumah sakit. Bels kayaknya shock banget, Bang.”

    Ya Allah …. Kuusap wajahku dengan kasar. Kecewa, sedih, cemas ….

    Belum pantaskah aku jadi seorang ayah hingga nikmat-Mu itu Engkau ambil kembali, ya Allah?

    Tak ingin buang waktu, aku dan Rio bergegas ke rumah sakit. Gurat-gurat kesedihan menyambutku. Kehilangan harapan ketika harapan itu sudah ada di depan mata, rasanya … menghancurkan! Tapi janin dalam rahim Bela hanyalah titipan Allah yang bisa diambil lagi oleh pemiliknya kapan saja. Dan kapan saja itu, ternyata hari ini.

    “Bels, Dafa datang, Nak,” ucap Mama sambil mengusap puncak  kepala Bela yang berbalut kerudung. Sementara Papa menepuk punggungku untuk memberikan penguatan.

    Bels membuka mata. Sembap dan kuyu. Lalu mata kuyu itu bergerak-gerak dan berhenti saat bertatapan denganku. Aku menunduk. Malu. Merasa gagal melindungi. Pun merasa malu sebagai seorang suami dan calon ayah.

    “Suruh pulang!” desis Bela dengan gigi bergemeletuk. Bibir pucatnya bergetar.

    “Bels, Sayang ... Nak ....” Kali ini suara Papa, berusaha membujuk.

    “Aku nggak mau dijenguk siapa-siapa, Pa!” Intonasi Bels naik beberapa oktaf. Giginya masih bergemeletuk.

    “Dek ... maaf. Maafkan aku,” ucapku lirih sambil melangkah pelan ke tempat tidur.

    “PERGI!” Bela berteriak, diiringi sesenggukan yang menyayat hati.

    Tepukan Papa di punggungku membuat langkahku terhenti. Aku menoleh, dan Papa menyambut dengan gelengan.

    “Kita cerai aja,” ucap Bela gemetar.

    “Astaghfirullah, Bela. Kamu bilang apa, Nak?” Mama yang merespons.

    Aku tidak mampu berkata apa-apa. Lidahku kelu.

    “Aku udah pikirin matang-matang. Aku benar-benar nggak bisa bertahan dengan orang yang nggak mau memberikan kepercayaannya padaku. Aku capek pura-pura memahami kamu. Aku capek!” Bela menangis.

    “Aku minta maaf, Dek.”

    “Berhenti minta maaf kalau kamu akan mengulangnya lagi! Memaafkan itu capek.”

    “Astaghfirullah, Bela …  istighfar, Nak,” ucap Mama lagi.

    “Maaf, Dek.”

    “Aku bilang berenti minta maaf! Aku tau aku salah. Aku egois. Aku terlalu berambisi buat milikin kamu sampai-sampai menghalalkan segala cara. Berenti minta maaf, karena aku yang menjadi penyebab semua ini. Aku yang menjebak diriku ke dalam lembah ini. Aku yang harusnya minta maaf karena udah maksa kamu menjadi bagian dari hidup aku. Mencintai sendirian itu menyakitkan, Kak. Karena itu, aku melepas kamu hari ini. Sejak detik ini. Aku nyerah. Aku bebasin kamu!

Not Cinderella's Marriage✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang