24. Kelindan Asa, Rasa, dan Dia

8.9K 879 57
                                    

    Kopiku tinggal separuh.

    Aku tidak terlalu suka kopi sebenarnya. Tapi selama Dafa masih terpasung dalam penjara elit beraroma obat-obatan ini, aku harus mengonsumsi kopi hitam tiap petang agar bisa terjaga. Minimal memijit persendian Dafa yang tiba-tiba kram tengah malam. Atau mengganti kompresannya jika ia sudah mulai bergerak-gerak tak nyaman. Hingga mengambil baskom dan memijit tengkuknya saat ia tiba-tiba ingin muntah.

    Papa duduk di karpet depan TV sambil membaca surat kabar yang dibawa Kesya. Sarung yang dipakainya shalat maghrib bahkan belum dilipat—saking seriusnya. Sedang Mama masih melakukan rutinitasnya, melakukan perawatan agar tidak mengalami penuaan dini—kata Mama selalu.

    “Assalamualaikum epribadeh …!” Suara Kak Rio membuyarkan suasana khusyuk kami. Papa hanya menatap sekilas sambil menjawab salamnya, sedang Mama tak menggubris sama sekali. Maskernya bisa berkerut kalau ia bicara. Dan aku, kujawab dalam hati saja. Aku masih ngambek padanya.

    “Gimana keadaan loe, Bang? Udah baikan yeee?” ucap Kak Rio dengan intonasi tinggi sambil menepuk bahu kiri Dafa.

    “Bang?”

    Tangan Kak Rio terkibas di depan wajah Dafa. Aaaaaaakh … Kak Riooooo! Segera kuhampiri Kak Rio dengan tatapan siap menerkam sembari menghempaskan tangannya dari bahu Dafa.

    “Loe apaan sih? Nanti Kak Dafa bangun!” tegurku.

    “Lah? Dia tidur?” Kening Rio mengernyit sambil menatapku sekilas, lalu menatap ke arah Dafa lagi.

    “Nggak! Lagi bajak sawah!”

    “Loe sewot amat sih? Mana gue tau kalo dia lagi tidur.” Kak Rio kembali mengibaskan tangannya di depan wajah Dafa. “Eh, beneran tidur ding.”

    “Dasar katarak! Loe pas lulus SD nyogok, ya?! Bedain orang tidur sama bajak sawah aja nggak bisa!”

    “Mana gue tau kalau dia ternyata tidur.”

    “Itu namanya nocturnal lagophtalmos.”

    “Serem juga kalau tengah malam anjir.”

    “Orang cakep bebas. Nggak kayak loe, jelek!” Aku bersungut.

    “Sewot amaaat. Jadi makin nafsu gue buat ganggu lo.” Kak Rio tertawa sambil mencubit pipiku dengan gemes. Kugigit lengannya keras-keras hingga ia memekik.

    “Kanibal emaaang! Mama sama Papa pungut nih hewan pengerat di mana sih?”

    Dan kami dapat teguran dari Mama yang maskernya sudah mengerut-ngerut.

    Bisa nggak sih, Kak Rio aku ‘tukar tambah’ saja dengan salah satu asteroid yang ada di Galaxi Bima Sakti ini?

    “Akur sehari aja bisa gak sih?” ucap Mama yang membersihkan maskernya dengan tisu basah. “Kebanyakan nonton film ‘Tom and Jerry’ sih kalian.”

    “Gak ngeliat muka jelek Bels bermetamorfosis jadi makin jelek dalam sehari itu rasanya hampa banget, Ma ….”

    “Loe yang jelek!”

    “Rio, Bels …, kalian jangan ribut! Nanti Dafa bangun!” Akhirnya suara Papa muncul juga.

    Kuempaskan tubuhku pada kursi samping tempat tidur. Malas banget meladeni Kak Rio yang resenya stadium akhir.

    “Bels, loe masih marah sama gue ya?” Ih, Kak Rio ikutan duduk di sampingku. Sok ngerapiin selimut Dafa segala.

    “Tauk.”

Not Cinderella's Marriage✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang