19. Aksara-Aksara Narasi Cinta

10.1K 827 116
                                    

[Dafa]

    Kelabu yang menguasai langit masih pengecut seperti hari-hari kemarin. Kehadirannya diapit oleh awan nimbostratus yang menghalangi matahari untuk menyapa bumi. Mereka paduan sempurna untuk membuat nelayan bernyali ciut tuk berlayar mencari ikan di awal malam.

    Kutahu, akan hujan untuk waktu yang entah hingga kapan.

    Aku bertopang dagu sambil memandang orang-orang yang berseliweran bersama derai-derai tawa dan suara yang mereka timbulkan di taman kampus. Sibuk dengan aktivitas masing-masing yang diliputi kepentingan dunia—seakan mereka akan hidup di dunia untuk selamanya. Berisik, tapi tak mengusikku. Saat ini, aku memiliki dunia sendiri. Kesepian di tengah keramaian. Paradoks yang harus diakui eksistensinya. Kuusap wajahku dengan kasar, bersama ingatan yang melambai-lambai ingin dikenang.

~*~

    “Apa ini?!” Bola mata hitam itu menatapku tajam dan penuh intimidasi. Aku bahkan tak bisa lupa sensasi ditatap seperti itu. Membuat jantung salah tingkah dan memompa darah lebih keras hingga menimbulkan dentuman keras di dada, seakan jantungku meronta ingin kabur untuk beberapa jeda.

    “Maaf.” Kutelan salivaku sambil menatap lelaki setengah baya yang tengah merobek kasar sebuah surat berkertas putih di depanku. “Saya sudah mempertimbangkan, Pak.”

    “Kamu dikontrak untuk bekerja selama setahun di sini!”

    “Saya mohon kebijaksanaan Bapak.”

    Pak Anggara menatap nyalang ke arahku. Bibirnya berkedut, dan mungkin giginya pun bergemeletuk di balik sana.

    “Kamu tahu kan, saya bukan orang yang bijaksana? Pilihan kamu cuma dua. Tetap melanjutkan kontrak, atau mengundurkan diri dan kembalikan semua gaji kamu selama bekerja pada saya.”

    “Itu dzalim, Pak!”

    “Ssssst! Sssst! Jangan bawa-bawa agama di sini! Saya bukan pecandu agama. Intinya, kamu mau tetap bekerja, atau kembalikan semua gaji kamu. Pilihannya hanya itu.”

    “Anda bisa mendapatkan pegawai yang berkualitas dengan uang yang Anda miliki. Bukannya mempertahankan pegawai tidak kompeten seperti saya hanya buang-buang uang?”

    Pak Anggara mendengkus. “Uang dicari memang untuk dibuang, kan? Bahkan membuang uang demi orang tidak berguna seperti kamu tidak akan membuat saya rugi dan menyesal.” Senyum Pak Anggara tercetak jelas dalam netraku. Bukan senyum tulus ataupun senyum yang menenangkan hati, tapi senyum yang akan membuat orang-orang—yang tak pernah mengenal beliau sebelumnya—merinding.

    “Saya rasa, Anda hanya tidak ingin melepaskan saya, Pak.” Aku ikut tersenyum, sedikit miring.

    “Seakan Anda punya dendam yang sangat besar pada saya.” Kulanjutkan kata-kataku.

    Pak Anggara tertawa. “Dendam saya pada kamu terpelihara. Sengaja saya sandra agar tidak melarikan diri.”

    Kami saling mentap. Lurus. Tanpa berkedip. Atmosfer yang tercipta di sekitar kami mendadak canggung, panas, tak terkendali.

    “Kamu telah membunuh putra saya dengan sangat kejam. Bagaimana cara saya meredam kebencian dan dendam itu pada kamu setelah semua yang telah kamu lakukan? Memisahkan seorang ayah dari anaknya? Ck. Kebijakan macam apa? Kasih sayang macam apa? Apa kasih sayang seperti itu yang diajarkan oleh agama kamu?”

    Aku menghela. “Maafkan saya, Pak,” ucapku lirih, tapi masih dapat terdengar, “saya tidak pernah membunuh putra Anda. Mungkin kesibukan membuat Anda amnesia, bahwa Anda sendirilah yang telah membuang putra Anda. Putra Anda masih ada di tempat itu, tidak pernah ke mana-mana, dan masih menunggu Anda berbalik mengulurkan tangan untuknya.”

Not Cinderella's Marriage✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang