22. Menyusun Puzzle yang Hampir Utuh

8.5K 798 65
                                    

[Bels]

Deskripsi cinta aku pada kamu tak butuh koma, apalagi spasi. Aku mencintai kamu hingga titik paragraf terakhir dalam lembaran naskah hidupku. Hingga titik yang setia mengakhiri kata ‘tamat’.

~*~

    Jam dinding berdetak. Menemani aku yang duduk bersila dengan kalem bersama sunyi. Suara cekikikan Vanilla bersama Mama dan Papa di ruang keluarga menyusup ke dalam rongga telingaku. Ruangan tempatku terpojok persis berada di sebelah ruangan mereka tertawa bahagia. Ruangan ini tempat favoritku, tempat Papa menyimpan koleksi-koleksi bukunya.

    Kubolak-balik buku “Liberalisasi Islam di Indonesia” karya Dr. Adian Husaini milik Dafa yang ikut nimbrung bersama buku-buku milik Papa. Sebenarnya, aku merindukan pemilik buku ini … sangat. Sejak pertengkaran beberapa belas jam lalu, batang hidung Dafa tak muncul juga. Kata Mbak Halimah, dia pergi dengan si Oni—sepeda bututnya. Pakai acara tidak bawa ponsel segala. Padahal biasanya dia akan membujukku kalau aku ngambek. Tapi kali ini tidak. Bahkan malah pergi dan tak kunjung pulang.

    Kenapa jadi dia yang ngambek sih? Menyebalkan!

    Dering nyaring ponsel metalik Dafa mengalihkan perhatianku. Baru saja hendak kuucapkan salam, seseorang yang entah siapa berteriak dari balik telepon sana, “Di mana elu, Buyuuung? Kenapa gak datang cuci darah? Gue kan sudah bilang, jangan berani bolos cuci darah!”

    Deg.

    Siapa sih? Pasti salah sambung deh. Tapi tak sempat kuucapkan padanya, cewek itu mengomel lagi. “Heh, Dafandra Adalvino, awas lo, ya! Kalo sampai 20 menit lo gak datang ke sini, gue yang akan bunuh lo!”

    Tanganku gemetar, spontan kujatuhkan ponsel Dafa hingga terurai di lantai. Baterai dan casing belakangnya berhambur di sekelilingku. Cuci darah, ya? Aku memang tidak pernah juara kelas saat sekolah. IPK-ku pun hanya kisaran 3,3. Bisa kuakui; aku bukan orang yang ditakdirkan untuk menjadi penyandang predikat cerdas. Tapi aku tahu, tidak mungkin seseorang cuci darah jika ia baik-baik saja.

    Kakiku tergerak ke kamar sambil menangis sesenggukan. Kuhiraukan teguran Mbak Halimah yang menanyakan ‘ada apa?’

    Cuci darah? Cuci darah? Cuci darah? Suara dengan nada setengah memekik dari balik telepon tadi terus terngiang dalam kepalaku. Dafa tidak datang cuci darah.

    Sial! Aku menikahi lelaki penyakitan.

    “Assalamu‘alaikum .…” Kututup wajah berhias air mataku dengan bantal saat suara Dafa terurai oleh angin dan membawanya hingga indera pendengaranku. Tak ada niat menjawab salamnya dengan suara yang kuyakini pasti serak. Setelah itu … hening. Dafa tidak minta maaf?

    Bodoh kamu, Bels! Masih mengharapkan dia?

    Kuturunkan bantal dari atas kepalaku. Dan yaks! Dafa masih di kamar, mondar-mandir kebingungan. Tangannya menggaruk kepala. Aku tahu itu bukan pertanda gatal, tapi frustrasi.

    “Cari hape?” Ah, pita suaraku .…

    Dafa menoleh ke arahku. “Iya. Kamu lihat, Dek?”

    Aku bangkit dari posisi baringku, duduk sambil bersandar pada bantal-bantal yang tersusun apik. Lalu kurogoh sakuku dan menyimpannya di nakas.

    “Ada yang nelepon. Kalau sampai 20 menit kamu nggak datang ke sana buat cuci darah, dia akan membunuh kamu,” ucapku sedatar dan sesantai mungkin. Kontras dengan jantungku yang memompa darah lebih cepat dari biasanya. Ritmenya tak beraturan dan tiap detakannya menimbulkan sensasi nyeri. Nyeri dalam artian sebenarnya.

Not Cinderella's Marriage✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang