"Chae Won Eonni!" gadis yang membukakan pintu untukku memekik kencang.
Baru saja aku ingin membuka mulut untuk membalas sambutan antusiasnya, tapi tubuh lincahnya sudah lebih cepat menguasai tubuhku, kedua tangannya melingkari leherku, memelukku erat "Aigoo, aku sangat merindukanmu Eonni-chan!"
"Nado, boghosipoyo, Yoo Bi-ya," aku membalas pelukannya tak kalah erat.
Benar, aku sama merindukannya. Jika dihitung, sudah hampir dua belas bulan kami tidak saling bertemu dan hanya bertukar kabar melalui pesan atau telepon. Lee Yoo Bi adalah putri semata wayang Lee byeonhosa, pengacara keluarga sekaligus orang kepercayaan ayahku. Kami pertama kali bertemu saat..., chakaman, kusambung lagi nanti.
"Yaa, Yoo Bi-ya. Apa kita akan terus berpelukan seperti sekarang ini?" ucapku halus padanya sambil menepuk-nepuk lembut punggungnya dengan sebelah tanganku.
Seketika Yoo Bi melepaskan pelukannya kemudian menatapku cemberut, "Wae? Andwae?"
Tawaku hampir meledak saat melihat bibirnya yang kini mengerucut, mirip Daisy Duck.
"Tentu saja boleh, tapi di depan pintu?" tanyaku meminta pendapatnya, "kau tak kasihan padaku? Ini berat," pamerku menunjukkan barang bawaan di tangan kiriku sambil nyengir ke arahnya.
Wajah cemberutnya seketika menghilang, agaknya dia baru menyadari maksud pertanyaanku tadi.
"Kita bisa melanjutkannya di dalam jika kau memang masih belum puas memelukku," godaku.
"Mian," ia tersenyum malu-malu, dan entah bagaimana ceritanya tangan kecilnya sudah merebut bawaanku tadi, "kajja Eonni, banyak pekerjaan yang menanti."
Aku hanya bisa pasrah saat Yoo Bi menggandeng tanganku, mengajakku masuk ke dalam gedung tua bergaya Eropa yang memiliki dua lantai ini.
Gedung ini sedikit lebih besar dari yang kubayangkan saat melihatnya dari luar. Jendela kaca berukuran besar menghiasi hampir di seluruh bagian muka depan gedung ini. Pintu utamanya sangat indah, terbuat dari kaca bening tebal dan beraksen ornamen mozaik pada bagian pinggirannya. Kesan klasik gedung ini kentara sekali dari beberapa lampu kuno yang menggantung di langit-langit sudut ruangan, serta tangga kayu berpelitur yang berada di sisi kanan pintu utama, tangga yang menghubungkan lantai ini dengan lantai atas.
Aku berdiri di atas lantai granit berwarna cokelat dengan motif geometris sederhana, sekilas motifnya hampir mirip bunga. Dinding yang membatasi sisi gedung ini menjulang tinggi berwarna putih bersih bagai kanvas yang biasa kugunakan untuk melukis. Paduan yang serasi, memberikan kesan luas namun tidak melompong jika kita menilik meja barista yang sengaja ditempatkan di bagian tengah ruangan ini.
Ah, aku benar-benar jatuh cinta pada gedung ini. Tak sabar untuk segera menjadikan dinding putihnya sebagai media lukisku. Menumpahkan cat pada permukaannya, kemudian memolesnya dengan kuasku.
"Apa Eonni datang sendirian?"
"Ooh."
"Tidak diantar pacar?" tanya Yoo Bi tanpa melihatku, terlalu sibuk menyiapkan semua perlengkapan yang akan kami gunakan nanti.
"Whooaa! gedung ini ternyata besar juga, tidak kentara dari luar," ucapku dengan nada takjub, pura-pura takjub sebenarnya, "hmm, dari mana ya aku harus memulainya?"
Sengaja aku ingin mengalihkan pertanyaannya barusan. Aku terlalu malas menjawab pertanyaan semacam itu, pertanyaan yang tak pernah jauh-jauh dari bahasan mengenai pacar, kekasih, namja chingu atau terserah kalian menyebutnya apa. Pertanyaan yang selalu ditujukan orang-orang saat bertemu denganku. Karena hasilnya bukan mudah ditebak lagi, melainkan hampir rata-rata sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warm Winter
FanfictionSometimes you just need to be with the person who makes you smile even if it means waiting