Aku bukannya tak tahu jika sorot mata setajam elang miliknya sejak tadi menelitiku, seolah hendak mengulitiku hidup-hidup. Sengaja kubiarkan. Bahkan jika ia hendak mencabikku dengan pisau belati yang mungkin saja ia sembunyikan di balik punggungnya sekalipun, aku tak akan berontak. Aku tahu dengan pasti. Orang ini tak akan mampu melakukannya. Tubuhnya habis dihantam lejar, terlalu hilang tenaga sebab aku sudah lebih dulu mencekiknya, dengan sangat kuat.
"Kau pikir apa yang sedang kau lakukan?"
Tepat di menit ke sepuluh semenjak ia menyeretku ke tempat ini, akhirnya ia buka suara.
"Memangnya apa yang kulakukan?" kutatap balik matanya, "bukankah bisa lihat sendiri? Aku tak melakukan apapun selain memainkan bola berayun ini," jawabku santai kemudian kembali melempar pandangan pada benda yang sedari tadi sengaja kumainkan untuk membunuh rasa bosan.
Dengusan napasnya terdengar tak berapa lama setelah itu. Entah karena ia tak puas dengan jawaban yang kuberi, atau memang sebal karena tanpa seizinnya lancang kusentuh mainan kesayangannya.
Ngomong-ngomong, ada yang kusuka dari benda ini. Newton's cradle namanya, pernah dengar? Benda ini mengingatkanku akan hubungan timbal balik. Bahwa aksi akan menyebabkan reaksi, pun sebaliknya, reaksi dipengaruhi oleh aksi. Saat kalian menarik sejumlah pendulum dari satu sisi kemudian kalian melepaskannya kembali, maka jumlah yang sama akan terlempar di sisi lainnya. Geraknya harmonis, sebelum akhirnya benar-benar berhenti untuk bisa kuayun lagi. Benda ini mengajariku tentang pentingnya sebuah ketenangan. Benda ini menyadarkanku bahwa....
"Kenapa kau melakukannya?"
Cih. Orang ini benar-benar. Entah ia bebal, tak mau dengar atau tak percaya padaku.
Kuangkat kepalaku agar bisa melihatnya. Sorot matanya masih sama, ekspresi wajahnya juga. Sengaja aku tak langsung menjawab dan hanya menatapnya, tajam.
"Apa jawabanku masih kurang jelas?" kembali kubuang pandanganku, hendak memainkan pendulum favoritnya lagi.
"Berhenti bermain-main."
Aku tak tahu, orang ini bisa membaca isi kepalaku atau memang terbaca dari gerak-gerikku, yang pasti ia berhasil membuatku menuruti perintahnya, menghentikanku tepat sebelum aku berhasil merealisasikan apa yang akan kulakukan.
"Aku serius. Aku tak melakukan apa-apa," kutatap legam manik matanya untuk menjeda kalimatku, "selain hanya ingin membuat Abeoji sebal."
Harus kuakui, ada kepuasan tersendiri saat bisa melihat muka kesalnya. Aku tak pernah tahu sebelumnya jika bersenang-senang dengannya akan semudah ini. Dan aku harus berterima kasih pada sahabatnya yang telah membantuku. Jika bukan karena ayah Moon Chae Won, aku tak akan pernah bisa, barang sebentar merasa berhasil menjatuhkannya.
Ia menatapku tenang, sama sekali tidak teprovokasi dengan ucapanku.
"Simpan gurauanmu untuk saat ini, Song Joong Ki. Kau tahu betul maksud pertanyaanku."
Sial. Orang ini bukan musuh yang mudah untuk dikelabuhi, lawan yang sukar untuk dijatuhkan.
Kenapa Song Joong Ki melakukannya?Kenapa Song Joong Ki repot-repot meminta Pemilik Taesan Group untuk menerimanya bekerja?
Kenapa tidak meminta pada ayahnya saja? Ah salah. Bahkan tanpa perlu meminta, Song Joong Ki akan tetap mewarisi perusahaan ayahnya. Dia itu kan Pewaris Tunggal Song Corp.
Lalu, kartu apa sebenarnya yang hendak orang itu mainkan?
Sama seperti ayahku saat ini, pasti isi kepala kalian tak jauh-jauh dari deretan pertanyaan yang baru saja kusebut kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Warm Winter
FanfictionSometimes you just need to be with the person who makes you smile even if it means waiting