2. Persekongkolan Jahat

22 0 0
                                    



Anak muda itu gembira, karena hari ini adalah hari yang selalu ditunggunya dan juga dinanti kebanyakan karyawan yakni gajian. Meski gajinya tidak sebesar pegawai di perusahaan multi nasional, bagi Zul berapapun nikmat yang diberikan Tuhan harus disyukuri dulu.

Zul yakin, kegembiraan bagi seorang buruh, sama dengan kegembiraan seorang Pimpinan perusahaan multinasional ketika menerima bayaran. Bedanya hanya ketika membuka isinya saja dan membelanjakannya. Tapi itulah warna hidup, ada yang diatas ada yang dibawah, yang penting baginya dinikmati saja.

Hari ini Majalah Mabrur terbit bertepatan dengan waktu pembayaran gaji. Sebagai karyawan, Zul menerima gaji setiap awal bulan. Karena media baru, penghitungan gaji didasarkan dengan gaji pokok ditambah honor yang nilainya dihitung dari jumlah halaman yang ditulis. Anak muda itu merasa tulisannya bulan lalu cukup banyak, sehingga ia akan membawa uang yang cukup banyak. Dia bahkan berani menjanjikan pada keponakannya untuk membelikan sepatu dan tas baru, karena begitu yakin dengan hasil yang didapat. Selain itu, Zul juga berencana membeli sepatu baru sebagai ganti sepatu satu-satunya yang sudah disol dua kali.

Tak seperti lazimnya perusahaan besar, dimana gaji bulanan ditransfer melalui bank. Karena perusahaan baru dan masih terbilang kecil dengan karyawan hanya belasan, maka pembayaran gaji dilakukan secara tradisional yakni dibayar tunai. Zul begitu bersemangat ketika namanya dipanggil bagian keuangan.

Namun Zul heran ketika amplop yang diberikan begitu tipis. Anak muda itu berharap meski tipis, tapi jumlahnya sesuai dengan perkiraannya. Ia pun segera membuka isinya. Anak muda tu kaget, ternyata jumlahnya sangat kecil, jauh dari apa yang ada di pikirannya. Padahal tulisannya paling banyak jumlah halamannya dibanding 3 temannya yang lain. Anak muda itu sudah menghitung bakal menerima uang yang banyak. Pada majalah edisi terakhir separuh halaman merupakan tulisannya.

Anak muda itu mendadak lemas lalu merebahkan tubuh di kursi ruangannya. Dia membayangkan betapa keponakannya akan kecewa bila janjinya tidak ia penuhi. Dengan uang ditangan, jangankan untuk membelikan keperluan keponakan, untuk biaya hidupnya sebulan pun sangat berat. Zul teringat akan pepatah kuno, yang mengatakan "jangan menjanjikan sesuatu yang belum kamu miliki."

Harun datang menghampiri, Zul kuatir laki-laki kurus itu akan menambah beban hatinya lantaran sindirannya beberapa waktu lalu. Ternyata tidak, Harun sepertinya tahu apa yang dirasakannya.

"Meski kecil semoga berkah ya mas...." Harun ikut prihatin.

"Iya kenapa jadi begini ya Run....." ujar Zul tak bisa memendam kecewanya.

Harun sebagai desain grafis sudah tahu tulisan Zul edisi lalu cukup dominan.

"Gusti Allah tidak tidur .......mas temui pak As saja" saran Harun melangkah pergi.

Zul pun bangkit berjalan lunglai menuju ruangan Pak Asnawi, sang Pimred untuk meminta penjelasan. Anak muda itu menemui pria setengah baya itu di ruangannya. Tak lama kemudian, Pak As pun memanggil bagian keuangan untuk melihat rekap gaji karyawan. Pak As menggelengkan kepalanya melihat gaji Zul ternyata dibawah 3 koleganya.

Rona muka sang Anak muda berubah memerah mendengar kabar dari bagian keuangan bahwa teman-temannya mendapat honor lebih banyak. Zul merasa diberlakukan tidak adil. Pak Asnawi juga merasa heran, laki-laki berambut tipis itu, berjanji akan membicarakan masalah ini dengan pak Waluyo pemilik Majalah Mabrur.

****

Esoknya Zul menemui ketiga temannya di kantin. Anak muda mengusulkan agar honor diberikan sesuai jatah tulisan. Namun ketiga temannya keberatan.

"Kamu sih terlalu rajin, kerjakan saja jatahmu 6 halaman, kalau kurang ya majalahnya yang ditipisan" celutuk Fadoli sinis.

"Iya kayak kita, mau nulis berapa halaman pun honornya sama, ngapain nulis banyak," tambah Bondi.

Yang lebih menyesakkan kata-kata Rizal.

"Lu, kalau iri sama kita bilang saja, jangan minta diubah skemanya pakai berdasarkan jumlah tulisan segala."

Zul diam. Malas dia meladeni tiga temannya, karena hanya debat kosong yang tak berujung. Hanya membuang waktu tanpa hasil yang jelas, apalagi mereka bertiga sepertinya sudah kompak.

****

Sore itu, Zul masih di kantor, sementara teman-teman yang lain sudah pulang. Ruangan Harun juga kosong. Tumben biasanya Harun paling akhir pulangnya. Tiba-tiba pak As muncul dan memanggil anak muda itu ke ruangannya. Pak As melepas kaca mata minusnya sebelum berbicara. Dia baru saja menemui pak Wal.

"Begini Zul, kemarin teman-temanmu bertiga menghadap pak Wal, mereka minta diadakan tunjangan uang transport. Kata pak Wal, dananya tidak ada. Kata mereka, kamu setuju dananya menggunakan uang kelebihan dari tulisanmu,"

Ha, Zul terkejut tidak mengira teman-temannya setega itu. Anak muda itu sama sekali tidak dimintai pendapat teman-teman tentang uang transport. Apalagi jika uang itu menggunakan haknya, pasti ia akan menolak.

"Bondi menunjukkan sms-mu ke pak Wal, katanya kamu oke dengan keputusan mereka bertiga," ujar pak As.

Zul diam mengurut dada. Ia pun menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Pak As pun menyadari kelicikan ke-3 temannya, dan merasa kasihan dengan anak muda itu.

"Nanti kita jelaskan semua ke pak Wal, Saya akan membantumu," kata pak As.

"Tidak usah pak, biarkan saja. Doakan saja saya mendapat ganti dari tempat yang lain. Saya ikhlas, pak" ujar Zul.

Pak As mengelus punggung Zul sambil menggelengkan kepala. Sebenarnya sebagai wartawan senior gaji pak As di perusahaan itu juga dibawah standar dibanding ketika masih menjadi redaktur di sebuah majalah nasional. Baginya inilah tantangan untuk membesarkan sebuah perusahaan baru. Dia juga beharap kelak jika majalah ini berkembang, maka kesejahteraan karyawan pun akan meningkat.

***

Setelah senja lewat, Zul pulang meski gerimis masih menghadang. Di kamar kos, ia merebahkan tubuhnya. Anak muda itu ingin melupakan kejadian siang itu di kantor. Baginya hari itu bukan harinya. Tapi dia tidak mau mengatakan bahwa itu hari yang sial. Dalam kamusnya semua hari itu baik, tidak ada yang buruk. Yang buruk adalah respon kita yang negatif jika mendapat musibah. Meski gulana, Zul ingin tetap memelihara prasangka baik, khususnya kepada sang Maha Kuasa. Baginya setiap peristiwa itu ada pelajaran yang bisa diambil.

Kumandang adzan Maghrib terdengar lantang. Zul bergegas mandi dan mengambil wudlu memenuhi panggilan-Nya shalat berjamaah di musola yangk tidak jauh dengan kosnya. Seperti biasa setiap ba'da Maghrib, Zul membaca Qur'an. Biasanya ia membaca mushab berurutan di kos. Tapi karena sedang mengaji di musola, si Anak muda membuka mushab secara acak. Mana yang dibuka itulah yang ia baca. Subhanallah, Zul membuka surat al Baqaroh ayat 197, yang artinya.

Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumkan, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang bertakwa.

-o-


Senandung Bukit CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang